Untuk bumi yang lestari

Surat dari Darmaga| 05 Juni 2023

Inovasi Kebijakan Restorasi Ekosistem

Kebijakan restorasi ekosistem berupa diskresi. Apa kabar setelah 20 tahun?

Restorasi ekosistem (Foto: Diolah dari FreePix)

AKUMULASI masalah pengusahaan hutan selama hampir setengah abad melahirkan sebagian besar usaha hutan alam produksi tidak berkelanjutan. Akibatnya ada perubahan pemanfaatan hutan alam produksi menjadi hutan tanaman industri dan restorasi ekosistem

Restorasi ekosistem merupakan diskresi kebijakan untuk merehabilitasi hutan yang rusak tapi pemanfaatannya dilakukan di kemudian hari atau yang populer disebut “jeda tebang”. Peraturan pertama Departemen Kehutanan dalam diskresi ekosistem adalah Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 159/Menhut-II/2004 tentang restorasi ekosistem di kawasan hutan produksi.

Kebijakan itu disebut diskresi karena istilah “restorasi ekosistem” tidak ada dalam peraturan-perundangan, namun dipandang penting agar hutan alam yang telah ditinggalkan oleh pengelolanya bisa kembali produktif dan bermanfaat, terutama hasil hutan bukan kayu.

Saat ini ada 16 izin usaha restorasi ekosistem seluas sekitar 600 ribu hektare. Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan pernah membuat klasifikasi usaha restorasi ekosistem, dari tujuan investasi produksi kayu, menjadi empat kategori: usaha berbasis konservasi; usaha berbasis peluang bisnis komersial termasuk dalam perdagangan karbon serta konservasi keanekaragaman hayati dan pengembangan sosial ekonomi masyarakat, atau mengusahakan ekowisata dan silvofishery pada hutan mangrove; usaha berbasis kegiatan “green project“melalui dana tanggung jawab sosial; dan usaha berbasis penyelamatan aset.


BACA LAPORAN UTAMA:


Paradigma restorasi hutan yang pada awalnya hanya jeda tebang dalam pengusahaan hutan alam, membuat restorasi ekosistem sebagai jenis usaha biaya tinggi (cost center). Nilai investasi untuk 16 perusahaan selama ini diperkirakan lebih dari US$ 28 juta.

Sebab, dalam praktiknya, pengelolaan restorasi ekosistem serupa dengan pengelolaan hutan lainnya, masih terdapat persoalan konflik dan klaim penggunaan hutan/lahan, kebijakan pemerintah yang terlalu teknis dan tidak sesuai dengan kondisi lapangan, perubahan tata ruang, pembalakan liar, maupun rendahnya dukungan pemerintah daerah.

Menurut pengakuan beberapa pemegang izin restorasi ekosistem, sejauh ini restorasi ekosistem masih diposisikan sebagai pemegang izin komersial seperti usaha hutan alam (HPH) dan tanaman (HTI). Artinya diskresi kebijakan ini sejak awal pemberlakuannya pada 2004 masih terbatas mewadahi mekanisme izin, belum sampai pada perbedaan pelayanan karena posisinya yang khas.

Saat ini, klasifikasi perizinan berusaha pemanfaatan hutan restorasi ekosistem (PBPH-RE), memberi ruang inovasi yang lebih luas untuk melakukan multiusaha kehutanan. Substansi kebijakan baru ini diharapkan mengurangi beban administratif dengan memperluas ruang improvisasi sejalan dengan kondisi lapangan.

Pengalaman berkurangnya usaha hutan produksi dari hutan alam pada akhir 2022 yang hanya dikelola oleh 247 izin dari 567 izin pada 1991 atau 320 perusahaan yang manajemennya tidak lestari, mestinya mengubah kebijakan pengelolaan restorasi ekosistem sebagai respons terhadap kerusakan hutan secara fundamental.

Hal itu memerlukan penekanan pada implementasi kebijakan dan bukan hanya isi kebijakan saja, mengingat masih rendahnya indeks tata kelola pemerintahan yang berpengaruh terhadap pelaksanaan kebijakan. Pada 2022 indeks tata kelola Indonesia hanya 34, dari maksimum 90 (Denmark) dan minimum 16 (Yaman), menunjukkan ada persoalan pelaksanaan kebijakan. Bukan sekadar problem isi kebijakan. Dari 180 negara, Indonesia masuk kelompok 1/3 negara-negara dengan indeks terbawah. 

Indeks itu menunjukkan—atau membawa—konsekuensi sulitnya memahami hubungan kausal, misalnya antara penyebab kerusakan hutan dengan cara mengatasinya. Pengaruh kuat pelaksanaan kebijakan dapat melemahkan sistem pengawasan. Terkait dengan usaha kehutanan, hal itu secara empiris ditunjukkan antara lain oleh lebarnya gap antara isi laporan administrasi dengan kenyataannya di lapangan.

Dulu, dalam Peraturan Pemerintah Nomor 6/2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan serta Pemanfaatan Hutan, ada pasal 34 yang menyebut izin usaha restorasi ekosistem. Inisiatif itu secara empiris sebagai upaya mengisi kekosongan pengelolaan hutan untuk menghindari terjadinya akses terbuka, setelah banyak pengusaha hutan alam meninggalkan konsesinya.

Kondisi itu mendorong perubahan paradigma pengelolaan hutan produksi dari berbasis kayu menjadi berbasis ekosistem. Dalam praktiknya konsep ini kembali ke dalam pedoman-pedoman perencanaan dan pengelolaan hutan yang seragam, yang mempersempit ruang inovasi. Akibatnya, kebijakan itu masuk ke dalam perangkap pengaturan administrasi yang mengandung biaya transaksi tinggi.

Para pemegang izin konsesi restorasi ekosistem mengatakan isi dan pelaksanaan kebijakan, tata kelola dan sistem birokrasi termasuk hubungan antar lembaga di sekitar restorasi ekosistem, belum secara efektif mendukung implementasinya di lapangan. Untuk itu dengan adanya peluang baru multiusaha kehutanan, restorasi ekosistem memerlukan hal-hal berikut ini:

Pertama, PBPH-RE sebaiknya diarahkan menjadi perizinan berusaha yang terpisah dari usaha hutan alam lainnya. Soalnya, sifat usaha restorasi ekosistem lebih membangun aset baru yang memerlukan dukungan prasyarat yang kondusif daripada usaha komersial biasa.

Kedua, telaah dan penyempurnaan peraturan perizinan turunan undang-undang diharapkan cukup memberi ruang improvisasi dan mampu menjawab persoalan nyata di lapangan.

Ketiga, sinergi sistem tata kelola dan birokrasi perizinan kehutanan peemrintah pusat-daerah perlu ditingkatkan agar meretas biaya transaksi tinggi, melalui transparansi dan partisipasi publik. Peningkatan sistem perizinan dan pengendaliannya harus terbuka, antara lain, melalui sistem online dan membangun mekanisme pelaporan, apabila ada suap/pemerasan dalam pengurusan izin dan/atau pelaksanaan pemeriksaan atau pengendalian perizinan.

Keempat, perlu ada transformasi kinerja pengendalian izin dan birokrasinya dengan ukuran berdasarkan hasil akhir (outcome based) dan bukan prosedur kerja yang rigid (adminstration based).

Untuk konsesi restorasi yang terkait dengan konflik, perlu peran lintas sektor untuk melakukan percepatan penyelesaian konflik tenurial dengan menerapkan berbagai inovasi, sejalan dengan karakteristik klaim dan konflik di lapangan dan mentransformasikannya menjadi kemitraan pengelolaan hutan dan usahanya.

Dalam “Theories of Policy Learning: Agency, Structure and Change” (2015), John Grin dan Anne Loeber menulis perubahan kebijakan dapat ditinjau bukan saja aspek substansi kebijakannya, tetapi adanya proses belajar secara kolektif. Materi belajar itu sendiri bukan hanya yang terkait dengan hambatan pelaksanaan restorasi ekosistem, juga kegagalan manajemen lebih dari separuh hutan alam produksi.

Siapa yang harus belajar dari kegagalan itu? John Grin dan Anne Loeber mengajak kita melakukan pembelajaran secara kolektif. Membicarakan hambatan pengelolaan hutan bukan hanya soal-soal teknis pengelolaan hutan serta isi dan pelaksanaan regulasinya, tapi secara menyeluruh, termasuk bentuk-bentuk transaksi, tekanan, adanya kepentingan di luar pengelolaan hutan yang harus dilayani.

Tabir komunikasi dan keterbukaan informasi akibat rendahnya indeks tata kelola perlu segera diatasi. Karena tata kelola pemerintahan yang buruk menjadi salah satu akar masalahnya.

Ikuti percakapan tentang restorasi ekosistem di tautan ini

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Guru Besar Kebijakan Kehutanan pada Fakultas Kehutanan dan Lingkungan serta fellow pada Center for Transdiciplinary and Sustainability Sciences, IPB.

Topik :

Bagikan

Komentar



Artikel Lain