Untuk bumi yang lestari

Kabar Baru| 24 Juni 2025

Tata Kelola Taman Nasional untuk Ekowisata

Taman nasional bukan kawasan turisme massal. Ia ekoturisme.

Jembatan gantung (suspension bridge) Situ Gunung di Taman Nasional Gunung Gede-Pangrango (Foto: Dok. FD)

SAAT membuka pameran Indonesia Outdoor Festival 2025 pada 12 Juni 2025 di Jakarta International Convention Center Jakarta, Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni menegaskan bahwa wisata alam di taman nasional dan taman wisata alam bukan mass tourism, melainkan ecotourism atau ekoturisme yang memiliki tujuan konservasi yang saling memberikan manfaat bagi pengunjung dan alam itu sendiri.

Dalam taman nasional dikenal adanya pembagian zonasi. Zonasi taman nasional adalah zona inti, zona rimba, zona pemanfaatan, dan/atau zona lainnya sesuai dengan keperluan. Sementara zona lainnya adalah zona perlindungan bahari, zona tradisional, zona rehabilitasi, zona religi, budaya dan sejarah, dan/atau  zona khusus. Khusus ekoturisme taman nasional hanya diperbolehkan dan diizinkan di zona pemanfaatan. 

Taman nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi.

Taman nasional dipayungi UU Nomor 32/2024  tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, UU Nomor 41/1999 tentang Kehutanan, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28/2011 tentang Kawasan Suaka Alam (KSA) dan Kawasan Pelestarian Alam (KPA), Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Permen LHK) Nomor P.76/2015 tentang kriteria zona pengelolaan taman nasional dan blok pengelolaan cagar alam, suaka margasatwa, taman hutan raya dan taman wisata alam, Peraturan Dirjen Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem Nomor P.11/2016 tentang petunjuk teknis penyusunan rancangan zona pengelolaan atau blok pengelolaan kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam. 

Secara organisatoris, kawasan hutan konservasi luasnya 27,3 juta hektare atau 21,8% dari luas total hutan Indonesia. Pemangku wilayahnya jelas dan terstruktur dengan dukungan dana APBN.

Masalah fundamental kawasan konservasi adalah mudahnya kawasan suaka alam maupun kawasan pelestarian alam dibobol dan dijarah manusia. Ada kecenderungan kerusakan lingkungan dalam taman nasional semakin tahun makin bertambah besar dengan skala yang lebih luas. Ibarat seorang petinju yang sedang berlaga di atas ring, agar tidak jatuh dipukul lawan, petinju ini bertahan dan bersandar ditali ring sampai dengan ronde terakhir. 

Demikian halnya nasib taman nasional kita. Kasus-kasus yang terjadi di kawasan taman nasional menunjukkan kelemahan pengawasan. Umumnya kasus di taman nasional berupa pembalakan liar, pertambangan ilegal, perambahan, perburuan satwa liar, dan permukiman. Meskipun pengelola taman nasional mencoba menyelesaikan kasus-kasus tersebut, penanganannya masih bersifat parsial dan tidak permanen.

Beberapa kelemahan pengelolaan taman nasional:

Pertama, luas taman nasional tidak sebanding dengan jumlah petugas. Rata-rata luas taman nasional di atas 100 ribu hektare, bahkan ada taman nasional di atas 1 juta hektare. Sementara jagawana hanya 100-125 orang per taman nasional. Idealnya 1 petugas menjaga kawasan seluas 200-250 hektare. 

Kedua, tak ada kejelasan batasan antara zona inti, pemanfaatan, dan zona lainnya. Demikian juga pembagian blok perlindungan, blok pemanfaatan, dan blok lainnya pada kawasan pelestarian alam dan kawasan suaka alam selain taman nasional. Pembuatan tata batas antar zona maupun blok membutuhkan waktu yang lama dan biaya yang cukup besar.

Kementerian Kehutanan, sebagai otoritas penanggung jawab kawasan konservasi di Indonesia, sebaiknya mulai memikirkan dan mencari cara-cara lain yang lebih tepat untuk perlindungan,  pengamanan, pengawetan dan pemanfaatan jasa lingkungan sebagai sumber pendapatan ekonomi kawasan konservasi ini. Dukungan dana yang memadai entah dari APBN atau sumber lain sangat diperlukan dalam menjalankan tata kelola taman nasional yang baik dan ideal.

Pemerintah pusat perlu melibatkan pemerintah provinsi, kabupaten/kota dan masyarakat setempat dalam menjaga, mengamankan, dan mengawasi kawasan konservasi. Sebagai kompensasinya, masyarakat diberi kesempatan mengelola zona pemanfaatan/blok pemanfaatan untuk pariwisata dan rekreasi. Kawasan konservasi adalah aset nasional yang harus dipertahankan keberadaannya.

Ikuti percakapan tentang taman nasional di tautan ini

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Pernah bekerja di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan

Topik :

Bagikan

Komentar



Artikel Lain