Untuk bumi yang lestari

Surat dari Darmaga| 13 Februari 2023

Korupsi dan Kerusakan Lingkungan Hidup

Ada korelasi antara indeks korupsi dan kerusakan lingkungan hidup. Melemah menjelang tahun politik.

Korupsi lingkungan hidup

SECARA umum korupsi adalah penyalahgunaan kekuasaan untuk kepentingan pribadi. Tentu saja definisi itu dapat melahirkan berbagai bentuk pengertian dan penjabaran. Karena itu, dalam setiap publikasi mengenai korupsi perlu ada catatan atau batasan serta tujuannya.

Dalam artikel ini saya mengemukakan dua tinjauan mengenai korupsi dan lingkungan hidup. Dengan sifat yang serupa, korupsi menentukan dan ditentukan oleh kondisi yang dirasakan oleh masyarakat. Keduanya rentan dan sering kali mudah diabaikan atau dikorbankan oleh para pelakunya demi mendapat manfaat ekonomi maupun politik.

Transparency International (TI) mempublikasikan indeks korupsi 180 negara pada awal tahun ini dengan memakai persepsi pebisnis dan ahli. Sumber informasinya berasal dari pandangan pejabat eksekutif, legislatif, yudikatif, polisi dan tentara/militer dengan basis pertanyaan yang meminta penilaian mereka terhadap perilaku penggunaan jabatan untuk keuntungan pribadi.

Agregasi pendapat mereka melahirkan persepsi mengenai seberapa besar korupsi di suatu negara. Transparency International menggunakan beberapa indikator penting, antara lain korupsi dalam sistem politik. Korupsi jenis ini bisa berupa konflik kepentingan antara politisi dan pelaku usaha, termasuk pembayaran ekstra atau suap dalam hubungan kerja mereka. Selain itu korupsi umumnya terjadi di jajaran eksekutif, dari eselon tertinggi hingga terendah, maupun anggota legislatif berupa suap untuk mempengaruhi pembuatan regulasi.

Basis lain kajian indeks persepsi korupsi Transparency International adalah jumlah pejabat publik yang dituntut dan dihukum serta keberhasilan pemerintah memberantas korupsi. Juga prosedur dan akuntabilitas penggunaan dana publik, termasuk kemungkinan penyalahgunaan sumber daya publik, profesionalisme penyelenggara negara, bekerjanya badan audit yang independen maupun risiko individu/perusahaan berhadapan dengan suap atau praktik korupsi lainnya dalam menjalankan bisnis.

Berdasarkan pendekatan itu, indeks korupsi Indonesia pada 2022 sebagai berikut:

Pertama, indeks korupsi turun dari 38 menjadi 34. Tertinggi Denmark (90), terendah Yaman (16). Pada 1995, indeks korupsi Indonesia mendekati indeks Yaman saat ini, yaitu 19. Pada akhir periode pertama pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (2004-2009), indeks korupsi naik sebesar 26 dan naik lagi menjadi 32 pada akhir periode kedua pemerintahannya (2009-2014). Di akhir pemerintahan periode pertama Presiden Joko Widodo (2019), penerusnya, naik menjadi 38, tapi turun menjadi 34 pada 2022. 

Di antara negara-negara ASEAN, indeks persepsi korupsi Indonesia berada di bawah Singapura (83), Malaysia (47), Timor Leste (42), Vietnam (42) dan Thailand (36), tapi masih di atas Filipina (33), Laos (31), Kamboja (24) dan Myanmar (23).

Transparency International menyebut korupsi menyebabkan terjadinya konflik sosial, sehingga turut menjadi akar persoalan sulitnya mewujudkan integrasi antar kelompok masyarakat. Oleh karena itu, korupsi berupa pengalihan dana publik untuk kepentingan pribadi, pemberian pengaruh yang tidak proporsional terhadap kebijakan pada sektor-sektor tertentu mengikis kepercayaan publik terhadap kapasitas dan kesediaan negara menegakkan kebijakan.

Selain itu korupsi juga memperlemah peran lembaga keamanan dan penegakan hukum dalam mendeteksi ancaman. Dalam kondisi begitu, secara tidak langsung korupsi memberi insentif bagi kelompok garis keras memicu konflik sosial.

Kedua, analisis Transparency International menyebut bahwa indikator ekonomi Indonesia mendapatkan tantangan besar. Penyebabnya perusahaan yang sedang menerapkan sistem antikorupsi menghadapi kebijakan negara yang melonggarkan kemudahan berinvestasi dengan melonggarkan upaya pencegahan korupsi.

Indikator politik tidak mengalami perbaikan signifikan. Korupsi politik masih marak. Suap, gratifikasi, hingga konflik kepentingan antara politisi, pejabat publik, dan pelaku usaha lazim terjadi. Bersamaan dengan itu, indikator penegakan hukum antikorupsi belum efektif mencegah dan memberantas korupsi, karena masih adanya praktik korupsi di lembaga penegakan hukum. Dalam kondisi seperti itu, pemerintah perlu menjamin kebebasan sipil dan ruang aspirasi publik dalam pencegahan korupsi, pembentukan regulasi hingga implementasi kebijakan pembangunan.

Bersamaan dengan telaah indeks korupsi Transparency International itu, indeks kinerja lingkungan (environment performance index/EPI) pada 2022 secara global juga turun. Penelitian di Universitas Yale dan Columbia, Amerika Serikat, menunjukkan sebagian besar negara tidak bisa mencapai tujuan net-zero atau keseimbangan produksi emisi gas rumah kaca dan penyerapannya, termasuk Amerika Serikat.

Memberi peringkat 180 negara melalui 40 indikator kinerja yang mencakup perubahan iklim, kesehatan lingkungan masyarakat, dan vitalitas ekosistem, EPI menghasilkan analisis tentang tren keberlanjutan tingkat negara. Indeks ini juga menjadi penilaian kinerja tingkat global dan nasional pada isu keberlanjutan termasuk polusi udara dan air, pengelolaan limbah, perlindungan keanekaragaman hayati dan habitat, serta transisi menuju masa depan penggunaan energi bersih.

Beberapa indikator seperti tata kelola yang baik, komitmen terhadap perbaikan kebijakan serta investasi lingkungan, memisahkan negara-negara yang bergerak menuju masa depan yang berkelanjutan dengan negara-negara yang mengabaikannya. Negara dengan skor tinggi memiliki program melindungi kesehatan masyarakat, melestarikan sumber daya alam, dan mengurangi emisi gas rumah kaca.

Peringkat kinerja lingkungan hidup 2022 berkorelasi dengan peringkat korupsi. Negara dengan korupsi yang rendah memiliki peringkat lingkungan yang bagus. Denmark yang memiliki indeks persepsi korupsi tinggi muncul sebagai negara paling berkelanjutan di dunia. Mempertahankan peringkat pertama sejak 2020, nilai tertinggi Denmark mencerminkan kinerja yang kuat di banyak masalah, dengan kepemimpinan dalam kebijakan perubahan iklim serta pertanian berkelanjutan. 

Untuk negara-negara di ASEAN, urutan indeks lingkungan dari yang tertinggi sampai yang terendah adalah Singapura (51), Thailand (38), Timor Leste (35), Malaysia (35), Laos (31), Kamboja (30), Filipina (29), Indonesia (28), Vietnam (20) dan Myanmar (20). Indeks ini tidak terlalu konsisten dengan urutan indeks korupsi, kecuali untuk yang tertinggi, yaitu Singapura dan terendah Myanmar.

Indonesia mempunyai indeks lingkungan lebih rendah daripada Laos, Kamboja, dan Filipina, tetapi indeks korupsinya lebih tinggi. Malaysia, Thailand dan Timor Leste memiliki peringkat pengendalian korupsi lebih baik daripada Indonesia juga memiliki peringkat lingkungan hidup yang lebih bagus.

Dengan melihat posisi indeks korupsi dan peringkat lingkungan hidup negara-negara ASEAN itu, kita bisa melihat bahwa kinerja pemerintahan yang utama adalah pengendalian kerusakan lingkungan hidup, terutama yang disebabkan oleh korupsi, yang juga menyebabkan kerusakan sumber daya alam yang lebih luas. 

Menggabungkan indeks korupsi dan peringkat lingkungan hidup, posisi Indonesia sudah dalam tahap mengkhawatirkan. Perhatian pemerintah pusat dan daerah terhadap pencegahan korupsi tampak semakin menurun. Apalagi menjelang pemilihan presiden seperti saat ini.

Seperti umumnya periode menjelang pemilihan umum, indeks korupsi dan peringkat lingkungan hidup tak menjadi perhatian para politikus. Akibatnya, kerusakan lingkungan hidup yang naik berkorelasi dengan meningkatnya korupsi.

Diskusi tentang korupsi di tautan ini

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Guru Besar Kebijakan Kehutanan pada Fakultas Kehutanan dan Lingkungan serta fellow pada Center for Transdiciplinary and Sustainability Sciences, IPB.

Topik :

Bagikan

Komentar



Artikel Lain