
KETIKA rencana revisi Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan diumumkan akhir tahun lalu, banyak yang khawatir perubahan makin memicu deforestasi, memperkuat penguasaan negara atas kawasan hutan, dan menghapus masyarakat adat dari ruang hidup mereka sendiri.
UU Kehutanan disusun sebagai koreksi atas model pengelolaan hutan yang eksploitatif dan sentralistik pada era Orde Baru. Undang-undang ini datang di tengah semangat reformasi, membawa janji tata kelola yang lestari, berkeadilan, dan partisipatif. Namun setelah dua dekade, semangat tersebut tampaknya mulai dikhianati.
Dalam praktiknya, konsep “penguasaan negara atas hutan” menjadi dalih legal untuk melanjutkan praktik pemusatan kekuasaan, alih-alih membuka ruang bagi pengakuan hak-hak masyarakat adat.
Kini, dengan dalih harmonisasi peraturan perundang-undangan dan mendorong pemanfaatan kawasan hutan secara “optimal”, revisi UU Kehutanan membuka jalan bagi semakin meluasnya eksploitasi. Berbagai pasal dalam draf revisi memperlihatkan potensi pengurangan perlindungan terhadap kawasan hutan dan pelonggaran syarat dalam pemberian izin pemanfaatan.
Hal itu diperparah dengan ketentuan mengenai “penguasaan negara” yang tetap dijadikan fondasi utama, tanpa disertai penguatan mekanisme partisipatif dari komunitas adat dan lokal.
Dalam perspektif ekologi politik, fenomena ini bukan semata masalah teknis pengelolaan hutan. Ini adalah soal relasi kuasa: siapa yang berhak mengklaim, memutuskan, dan mengeksploitasi sumber daya alam. Negara, dalam hal ini, tidak netral. Ia terlibat dalam alokasi kepentingan melalui instrumen hukum.
Revisi UU Kehutanan memperlihatkan bagaimana negara dan aktor ekonomi besar—perusahaan tambang, sawit, hingga pengembang infrastruktur—menegosiasikan ulang kontrol atas ruang hidup, yang selama ini secara de facto dijaga oleh komunitas adat.
Data FWI menunjukkan pada 2000-2020, Indonesia telah kehilangan lebih dari 20 juta hektare tutupan hutan alam. Kehilangan itu tidak terjadi di “tanah tak bertuan”, tetapi banyak di dalam kawasan hutan negara. Ini menunjukkan bahwa status legal kawasan tidak otomatis melindungi ekosistem. Sebaliknya, penguasaan negara sering justru mempermudah transformasi hutan menjadi areal industri, karena berada dalam kewenangan administratif yang bisa dinegosiasikan.
Yang jadi soal, masyarakat adat yang telah lama hidup di dalam kawasan tersebut kerap tidak pernah diajak bicara. Prosedur formal seperti konsultasi publik atau analisis dampak lingkungan acap kali hanya menjadi formalitas. Dalam banyak kasus, tanah-tanah adat dilepaskan dari status hutan demi memberi ruang bagi konsesi tambang, perkebunan, dan proyek strategis nasional. Mekanisme persetujuan bebas, didahului, dan diinformasikan (free, prior, informed consent – FPIC) tidak dijalankan secara substansial, jika bukan diabaikan sepenuhnya.
Contohnya apa yang menimpa masyarakat Dayak Iban di Kalimantan Barat. Mereka memiliki sistem pengelolaan hutan tradisional yang disebut tembawang, yaitu lahan berpohon multiguna yang diwariskan secara turun-temurun.
Tembawang bukan hanya sumber pangan dan obat, tapi juga pusat budaya dan spiritualitas. Namun kawasan tembawang itu perlahan terdesak oleh ekspansi sawit yang didukung oleh izin pelepasan kawasan hutan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Proses konsultasi yang dilakukan tidak menjangkau warga secara utuh. Mereka diberi informasi yang terbatas, tanpa waktu yang cukup untuk mempertimbangkan, apalagi menolak.
Sementara di Papua, banyak wilayah adat digusur demi pembangunan infrastruktur dan tambang, dengan argumentasi bahwa masyarakat adat harus “dimodernisasi”. Bahasa seperti ini mengulangi logika kolonial yang merendahkan pengetahuan lokal dan menganggap modernisasi hanya bisa hadir lewat intervensi eksternal. Padahal, justru masyarakat adat terbukti menjadi pelindung hutan terbaik. Studi CIFOR, misalnya, menunjukkan bahwa wilayah adat di Amazon dan Asia Tenggara memiliki tingkat deforestasi yang jauh lebih rendah dibanding kawasan yang dikelola negara atau swasta.
Dalam draf revisi UU Kehutanan, hak masyarakat adat disebut secara terbatas, tanpa penjelasan mekanisme pengakuan dan perlindungan yang jelas. Ini bertolak belakang dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012 yang secara eksplisit menyatakan bahwa hutan adat bukan lagi bagian dari hutan negara. Sayangnya, sampai hari ini, implementasi putusan itu masih jauh dari ideal.
Proses pengakuan wilayah adat berlangsung lamban, terkendala tumpang tindih regulasi, dan minim keberpihakan politik di tingkat daerah. Yang lebih mengkhawatirkan, revisi ini berpotensi menghidupkan kembali semangat sentralisme Orde Baru dalam bentuk baru: penguasaan berbasis proyek. Negara tidak lagi tampil sebagai regulator, melainkan aktor aktif yang menjalin aliansi dengan pemilik modal besar untuk mengelola kawasan hutan demi “kepentingan nasional”. Kepentingan nasional ini, tentu saja, tidak didefinisikan dari bawah, melainkan dirumuskan dari pusat kekuasaan politik dan ekonomi.
Proses legislasi yang tengah berlangsung pun tidak mencerminkan prinsip partisipatif sebagaimana diatur UU Nomor 12 Tahun 2011. Draf revisi tidak dibuka secara luas untuk publik, forum konsultasi terbatas, dan banyak komunitas adat yang bahkan tidak tahu bahwa hak-hak mereka tengah dinegosiasikan di atas meja parlemen.
Hal ini semakin menegaskan bahwa revisi UU ini tidak berangkat dari kebutuhan akar rumput, melainkan dari agenda-agenda elite yang berkepentingan mengatur ulang tata kelola hutan sesuai logika investasi.
Mereka yang hidup di dalam dan dari hutan tidak pernah diminta menyusun draf revisi UU Kehutanan. Namun merekalah yang akan menanggung akibatnya. Jika ruang hidup mereka terus dipersempit oleh ketentuan hukum yang tidak adil, maka kita sedang menyaksikan bentuk rampasan yang dilegalkan atau legalized dispossession.
Sudah saatnya negara membalik logika penguasaan. Hutan bukan milik negara, melainkan bagian dari ekosistem kehidupan yang dijaga oleh komunitas lokal selama ratusan tahun. Negara seharusnya hadir sebagai fasilitator perlindungan dan pengakuan, bukan sebagai pemilik tunggal yang bisa menjual hutan demi kepentingan ekonomi jangka pendek.
Revisi UU Kehutanan harus meletakkan hak masyarakat adat sebagai fondasi, bukan sebagai catatan kaki. Tidak cukup hanya menyebut “hak” dalam satu pasal, tanpa mekanisme pengakuan dan perlindungan yang konkret. Tanpa itu, maka revisi ini akan menjadi dokumen yang mengabadikan ketimpangan, bukan memperbaikinya.
Kita harus bertanya ulang: siapa sebenarnya yang memiliki rimba kita? Apakah negara yang punya peta dan cap stempel? Ataukah masyarakat adat yang telah menenun hidupnya bersama pohon dan tanah selama ratusan tahun? Pertanyaan ini bukan hanya soal hukum, melainkan soal keadilan ekologis dan moral.
Ikuti percakapan tentang UU Kehutanan di tautan ini
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.

Penggagas Lingkar Studi Adiluhung dan anggota Kelompok Studi Pusaka AgroPol
Topik :