Untuk bumi yang lestari

Kabar Baru| 14 November 2025

Mitigasi Bencana Hujan Mikroplastik

Mikroplastik dalam hujan mencerminkan gaya hidup kita. Lima transformasi mitigasi.

Hujan deras

KINI, ketika hujan, para orang tua bisa jadi menambahkan larangan agar anak-anak mereka tak hujan-hujanan. Dulu orang tua kita khawatir jika main hujan kita akan sakit flu atau demam. Kini mungkin akan ditambahkan: jangan main hujan nanti terpapar mikroplastik.

Mikroplastik adalah partikel plastik berukuran kurang dari 5 milimeter hingga satu mikrometer. Ukuran sangat kecil namun susah terurai di alam. Peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional menemukan bahwa hujan di Indonesia mengandung mikroplastik, setidaknya temuan di 18 kota: Jakarta Pusat, Jakarta Selatan, Bandung, Semarang, Kupang, Denpasar, Jambi, Surabaya, Palembang dan Pontianak.

Tahun lalu studi Cornell University juga mengungkapkan Indonesia adalah salah satu negara yang masyarakatnya paling banyak mengonsumsi mikroplastik. Studi di jurnal Environmental Science & Technology mengungkap Indonesia bersama Malaysia dan Filipina menduduki peringkat teratas dalam daftar konsumsi mikroplastik per kapita global. 

Dalam studi yang diterbitkan pada 24 April 2024 itu, para peneliti menemukan bahwa masyarakat Indonesia mengonsumsi sekitar 15 gram mikroplastik per bulan. Jumlah konsumsi tersebut sebagian besar bersumber dari air, seperti makanan laut. Menurut para ahli, jumlah tersebut meningkat sebesar 59 kali lipat selama 1990 hingga 2018. Tak hanya itu, tingkat konsumsi mikroplastik masyarakat Indonesia mengalahkan penduduk Amerika Serikat yang "hanya" sekitar 2,4 gram per bulan. 

Jika pemicu hujan asam adalah emisi karbon, sumber hujan mikroplastik adalah industrialisasi dan gaya hidup modern, yang bergantung pada bahan berbasis plastik, terutama plastik sekali pakai. Bahkan sepotong teh celup pun, kandungan mikroplastiknya cukup tinggi. Atau segarnya “air pegunungan” pada sebuah botol air inmum dalam kemasan tak luput dari kontaminasi mikro plastik jenis PET, yang menjadi bahan baku botol AMDK.

Jangan salah, dalam sebatang rokok juga ada mikroplastik. Rokok dikemas dengan kertas dan ujungnya mengandung bahan plastik, khususnya rokok filter. Mikroplastik dari sebatang rokok akan menggelontor langsung ke dalam mulut saat dihisap, lalu masuk ke organ vital, terutama paru, lalu jantung, ginjal, dan seterusnya.

Produk yang dominan menghasilkan mikroplastik juga adalah kain/baju yang kita pakai sehari-hari. Saat baju tersebut dicuci, air kotor bekas cucian menghasilkan residu dan molekul mikroplastik. Molekul mikroplastik mengalir dari drainase rumah tangga, masuk ke sungai, dan masuk ke perairan di lautan; disantap oleh ikan, ikan itu masuk meja makan kita sebagai protein.

Himbauan Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin agar kita menggunakan masker saat hujan, adalah himbauan bagus. Tapi kita memerlukan mitigasi yang lebih signifikan dan makro.

Secara empirik ada beberapa langkah yang bisa menjadi instrumen untuk memerangi fenomena hujan mikroplastik, agar tidak bertransformasi menjadi bencana lingkungan dan bencana kesehatan yang mengerikan.

Pertama, bahan berbasis plastik. Industri AMDK dan minuman berpemanis harus didorong melakukan transformasi dalam kemasannya, dari kemasan plastik menjadi kemasan berupa kaca/beling. Industri AMDK tidak cukup mengganti kemasan plastik yang berlogo free BPA, yang ternyata belum bebas mikroplastik.

Memang ini sudah mulai dilakukan, tetapi masih dalam skala kecil/terbatas, seperti di hotel bintang 4-5, ataupun di restoran ternama. Industri AMDK dan berpemanis harus didorong bertransformasi. Kontribusi botol plastik bekas sangat signifikan, dan konsumsinya terus meningkat, seiring gaya hidup yang serba instan.

Saat ini, di seluruh Indonesia terdapat kisaran 1.200-an industri/perusahaan AMDK, dan lebih dari 2.100 merek beredar di pasaran. Transformasi dari botol plastik menjadi botol kaca, juga bermanfaat untuk mengurangi beban lingkungan (reduksi sampah). Atau, sebagai tahap awal, industri menghilangkan kemasan kecil sebagaimana kebijakan Pemerintah Provinsi.

Kedua, produk detergen. Industri detergen juga harus bertransformasi ke produk detergen yang lebih ramah lingkungan. Mungkin perlu mencontoh produk AC, dengan tanda bintang bagi produk AC yang hemat energi. Semakin tinggi bintangnya, semakin friendly untuk lingkungan. Produk detergen itulah yang menjadi penguat untuk merontokkan butiran sangat kecil pada kain/baju yang kita pakai. Namun hal ini harus paralel, agar bahan baku kain/baju bertransformasi bukan jenis bahan yang mampu menghasilkan mikro plastik lebih masif.

Ketiga, reduksi sampah plastik. Undang-Undang Lingkungan Hidup sudah mewajibkan extended producer responsibility (EPR). Mekanisme ini nyaris belum dilakukan oleh para produsen. Mereka masih mengandalkan para pemulung untuk memungut sampah kemasannya, yang memang menjadi sirkular ekonomi juga. Reduksi sampah ini juga sejatinya wajib dilakukan oleh industri rokok, baik untuk kemasan dan atau puntung rokoknya. Apalagi puntung rokok  masuk dalam kategori sampah limbah B3, yang artinya amat berbahaya bagi lingkungan, khususnya biota air.

Keempat, transformasi perilaku konsumen. Konsumen harus bertransformasi dalam konsumsi AMDK/MBDK, yakni menyiapkan/menyediakan tumbler/termos, yang bisa diisi ulang (refill). Atau pun wadah makanan untuk keperluan makan siang di kantor/kampus/sekolah, sehingga tidak harus membeli dengan kemasan yang menghasilkan sampah, yang mayoritas berjenis sampah unorganik.

Kelima, terapkan cukai untuk bahan baku berbasis plastik. Gagasan ini mati suri. Kementerian Keuangan mati angin karena derasnya penolakan kalangan industri. Mereka berdalih cukai plastik akan berdampak pada harga, sehingga konsumsinya menurun yang berakibat pada ekonomi secara keseluruhan. Padahal, tujuan cukai plastik untuk pengendalian sampah plastik dan produk makanan/minuman, khususnya untuk produk MBDK dan makanan tinggi lemak dan garam.

Pada akhirnya kita semua harus punya kesadaran tinggi, bahwa dampak mikro plastik bagi kesehatan sangat gamblang, mikroplastik destruktif bagi kesehatan manusia. Ahli kesehatan mencatat, setidaknya ada tujuh dampak merusak mikroplastik bagi kesehatan, mulai dari iritasi kulit, gangguan pencernaan, gangguan pernafasan, jantung koroner, stroke, kanker, dan lain-lain.

Data BPJS Kesehatan membuktikan, penyakit katastropik seperti jantung koroner, kanker, stroke, diabetes paling banyak ditanggung dalam sistem pembiayaan. Pengobatan penyakit jantung koroner pada 2024 menyedot anggaran Rp 22 triliun.

Ketua Peneliti BRIN terkait hujan mikroplastik menyebutkan bahwa hujan partikel plastik adalah refleksi dari perilaku manusia terhadap bumi. Langit Jakarta, dan kota lain di Indonesia, sebenarnya sedang memantulkan perilaku manusia di bawahnya.

Ikuti percakapan tentang mikroplastik di tautan ini

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Pegiat perlindungan konsumen dan lingkungan hidup, anggota Asosiasi Pengamat Energi Indonesia (APEI), pendiri dan pengurus Komisi Nasional Pengendalian Tembakau, dan Ketua Pengurus Harian YLKI, 2015-2025

Topik :

Bagikan

Komentar



Artikel Lain