Untuk bumi yang lestari

Kabar Baru| 10 November 2025

Masyarakat Sipil: Masyarakat Adat Bukan Angka Politis dan Alat Diplomasi

Kementerian Kehutanan akan mempercepat pengakuan hutan adat. Angkanya terlalu jauh dibanding data yang terdaftar.

Perempuan adat Papua dari suku Awyu membawa kapak saat menebang pohon sagu di Desa Yare, Boven Digoel, Papua Selatan. (Foto: Jurnasyanto Sukarno/Greenpeace)

PEMERINTAH berjanji akan mengakui 1,4 juta hektare hutan adat. Masyarakat sipil menuntut langkah yang lebih mendasar, yakni menghentikan perampasan hutan adat yang masih terus terjadi. Bagi masyarakat sipil, pengakuan tanpa perlindungan hanyalah seremonial di atas luka yang belum sembuh.

Desakan itu mencuat setelah Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni mengungkap target pemerintah mengakui hutan adat dalam empat tahun ke depan dalam United for Wildlife Global Summit dan High-Level Ministerial Roundtable di Rio de Janeiro, Brasil, pada 5 November 2025. Pemerintah, katanya, berambisi menetapkan 240 hutan adat seluas 3,9 juta hektare hingga 2029—sebuah komitmen yang disebut sebagai wujud kepedulian Presiden Prabowo Subianto terhadap lingkungan dan masyarakat yang selama ini termarjinalkan. 

Bagi organisasi masyarakat sipil, janji itu terdengar hampa selama perampasan wilayah adat masih menjadi wajah nyata pembangunan. “Percuma mengakui 1,4 juta hektare hutan adat, tetapi proyek-proyek raksasa mencaplok tanah ulayat yang jauh lebih luas dari angka itu,” kata Torry Kuswardono, Direktur Eksekutif Yayasan PIKUL sekaligus Koordinator Sekretariat Aliansi Rakyat untuk Keadilan Iklim (ARUKI).

Proyek-proyek besar yang disebut Torry mencakup food estate, hutan energi dan karbon, hingga industri ekstraktif. Di Merauke, Papua Selatan, Torry mencontohkan, proyek lumbung pangan yang masuk dalam daftar Proyek Strategis Nasional (PSN) menggusur hutan adat suku Yei dan Malind Anim. Di Halmahera Timur, Maluku Utara, warga Maba Sangaji yang menolak tambang justru dikriminalisasi.

Kepala Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) Kasmita Widodo menambahkan, tumpang-tindih antara wilayah adat dan kawasan konservasi turut memperkeruh persoalan. Banyak pemerintah daerah, katanya, enggan mengakui wilayah adat karena takut melanggar batas kawasan konservasi.

Ia mencontohkan kasus Colol di Manggarai Timur, Nusa Tenggara Timur—sebuah wilayah adat yang dikenal sebagai sentra kopi rakyat. Sebagian perkebunan dan kampung di Colol tumpang-tindih dengan kawasan Taman Wisata Alam Ruteng seluas lebih dari 32 ribu hektare. Ketiadaan pengakuan terhadap wilayah adat itu memicu konflik panjang, termasuk peristiwa tragis “Rabu Berdarah” pada 2004 yang menewaskan enam petani kopi, serta kriminalisasi terhadap Mikael Ane, tokoh adat setempat.

Pengakuan terhadap wilayah adat sejatinya bergantung pada keberanian pemerintah daerah menerbitkan peraturan daerah. Namun di sisi lain, wilayah konservasi berada di bawah kendali Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE) Kementerian Kehutanan. “Koordinasi di tingkat eselon I masih lemah,” kata Kasmita. “Rapat pimpinan lintas direktorat yang mestinya membahas ini belum pernah benar-benar terjadi.”

Bagi Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), target 1,4 juta hektare masih terlalu kecil dibandingkan wilayah adat sesungguhnya. Deputi Sekretaris Jenderal AMAN untuk Politik dan Hukum, Erasmus Cahyadi Terre, mengatakan saat ini terdapat 33 juta hektare wilayah adat yang telah teregistrasi di sistem BRWA. “Tanpa sistem kerja lintas kementerian dan perubahan regulasi yang selama ini menghambat, target itu akan sulit dicapai,” ujarnya.

Menurut Erasmus, pengakuan hutan adat harus disertai dengan penyelesaian konflik dan jaminan perlindungan terhadap masyarakat adat yang seumur hidup menjaga hutan mereka. Di Papua, hutan adat suku Yei dan Malind Anim kini menjadi sasaran proyek industri bioetanol. Hutan yang selama ini menjadi sumber kehidupan mereka kini dipandang sebagai lahan produksi energi.

Sejak era proyek Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) hingga PSN Pangan dan Energi yang meluas ke Boven Digoel dan Mappi, tak satu pun peraturan daerah tentang pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat terbit, kata Franky Samperante, Direktur Eksekutif Yayasan Pusaka Bentala Rakyat. Ia menambahkan, warga adat yang mempertahankan tanah ulayatnya justru sering dihadapkan pada pasal pidana.

“Pemerintah seharusnya berhenti menjadikan Masyarakat Adat sebagai ornamen diplomasi dan mulai menepati janji perlindungan yang nyata,” kata Franky.

Salah satu langkah mendesak untuk melindungi masyarakat adat dan ruang hidupnya, kata Franky, adalah mempercepat pembahasan dan pengesahan RUU Masyarakat Adat.

Ikuti percakapan tentang hutan adat di tautan ini

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Redaksi

Topik :

Bagikan

Komentar



Artikel Lain