SETIAP hubungan antar manusia, khususnya dalam pemanfaatan sumber daya alam, selalu menimbulkan kesalingterkaitan (interdependence). Kesalingterkaitan antar manusia tersebut membutuhkan kelembagaan yang merupakan olah pikir manusia (human mental process) untuk menata hubungan-hubungan antar sesamanya agar hubungan-hubungan tersebut lebih dapat diprediksi dan tidak saling merugikan.
Kelembagaan yang dimaksud itu merupakan aturan main (rules of the game) yang dapat berupa norma, adat istiadat dan sopan santun (informal institutions) serta kebijakan, peraturan dan perundang-undangan (formal institutions).
Sebagai hasil olah pikir manusia, kelembagaan bersifat dinamis. Perkembangan pemikiran dan teknologi, tuntutan lingkungan (meningkatnya populasi, kelangkaan sumber daya dan bencana), kemanfaatan aturan main tersebut, dan faktor-faktor sosial-politik sangat memungkinkan suatu kelembagaan disempurnakan, diubah secara radikal dan ditinggalkan sama sekali.
Oleh karenanya perubahan kelembagaan (institutional change), dalam artian perubahan tata aturan main yang diciptakan oleh manusia dalam menata hubungan-hubungannya, menjadi sebuah keniscayaan.
Perubahan kelembagaan bisa menghasilkan kondisi yang lebih baik dan dapat pula menghasilkan kondisi yang lebih buruk bagi suatu komunitas. Bahkan sering kali terjadi pula bahwa perubahan kelembagaan akan menghasilkan perbaikan kelembagaan untuk kelompok tertentu, namun menjadi kemunduran kelembagaan bagi kelompok yang lain.
Perubahan kelembagaan ada yang sifatnya gradual dengan memperbaiki aturan main yang sudah tidak sesuai dengan tuntutan masyarakat baik dalam bidang sosial, politik, ekonomi maupun lingkungan. Ada pula yang bersifat radikal dengan membongkar seluruh tata aturan main untuk digantikan dengan tata aturan main yang baru.
Tampaknya sebagian masyarakat cenderung lebih suka pada model gradual daripada perubahan radikal. Ada beberapa penjelas mengapa hal demikian terjadi. Pertama, kelembagaan yang disusun umumnya dipengaruhi oleh praktik masa lalu dan saat ini untuk mengatasi masalah akan datang. Dalam kondisi demikian aturan main masih dipengaruhi oleh norma, standar, persepsi, dan pengetahuan yang berlangsung di masa lalu dan saat ini.
Sementara perubahan radikal mengusung ide baru yang kadang masih asing pada arena cara berpikir konvensional, sementara risiko-risiko perubahan dikalkulasi secara berlebihan (over valued) sebagai implikasi dominannya masyarakat yang pada umumnya tidak suka akan risiko (risk averter). Kedua, kelembagaan merupakan produk negosiasi dari banyak pihak.
Masing-masing kelompok memiliki kepentingan, dan pada banyak kejadian kelompok utama, yang biasanya sebagai penikmat kondisi status quo lebih terorganisasi, memiliki kekuasaan dan dana, justru lebih banyak terakomodasi kepentingannya. Terakhir, kelompok-kelompok utama dalam pengambilan keputusan pada dasarnya terdiri dari politisi, birokrat dan pengusaha, di mana masyarakat umumnya berada pada lingkar luar (periphery).
Perubahan kelembagaan secara radikal akan mengurangi bahkan menghilangkan otoritas politik yang telah ada dan mengganggu sistem patronase yang telah dibangun. Oleh karenanya segala bentuk perubahan yang tidak mendukung agenda politik politisi pendukung kelompok utama dan yang mengganggu sistem patronase politisi-birokrasi-pengusaha akan ditolak dengan berbagai alasan.
Adalah sebuah keniscayaan dalam dinamika pengelolaan sumber daya alam, termasuk hutan, mengubah kelembagaan (aturan main) sebagai mana yang diwacanakan akhir-akhir ini untuk merevisi UU 41/1999 tentang Kehutanan.
Dalam kaitan itu kehati-hatian perlu dilakukan, mengingat tingginya pertarungan kepentingan di tengah karakter masyarakat yang cenderung tidak suka risiko dan kentalnya sistem patronase politik. Tampaknya perubahan kelembagaan perlu diarahkan untuk berpihak kepada kepentingan publik secara luas yang pada hakikatnya sebagai pemilik kawasan hutan, ketimbang hanya diorientasikan pada kelompok dominan tertentu.
Perubahan harus benar-benar membawa perbaikan sosial, lingkungan dan ekonomi bangsa, tidak sekedar perubahan kalimat dalam pasal-pasal yang bermakna sama.
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Guru Besar Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University
Topik :