
JALAN tol Mandara di Bali, yang panjangnya hanya 10,5 kilometer itu, acap disebut jalan tol terindah di Indonesia, bahkan di dunia. Bali telah menjadi mantra sakti yang amat kuat. Wajar jika puluhan juta orang “tersihir” untuk menyambangi Bali setiap tahun.
Data membuktikan total wisatawan yang berkunjung ke Bali pada 2024 mencapai 16,4 juta, naik 7,9% dari 15,2 juta pada 2023; terdiri atas wisatawan domestik sebanyak 10,1 juta dan wisatawan asing 6,33 juta. Jumlah wisatawan itu melebihi jumlah penduduk Bali sekitar 4,5 juta.
Salah satu cara untuk menjaga muruah pariwisata Bali adalah penetapannya sebagai green island sejak 2018. Secara alamiah Bali adalah pulau yang berwajah “green”. Namun jika tidak dimitigasi slogan ini hanya tinggal nama. Bali sudah mengalami fenomena over tourism.
Menurut hasil survei Indeks Kualitas Lingkungan Hidup (IKLH) 2024, Bali tidak termasuk kategori sebagai provinsi/pulau dengan 10 IKLH terbaik. Sepuluh besar kota di Indonesia dengan IKLH terbaik adalah: Tidore Kepulauan (80,26), Sungai Penuh (79,48), Sorong (79,09), Sabang (77,95), Padang (77,26), Baubau (77,2), Jayapura (75,5), Batu (74,43), Subulussalam (74,28), dan Kendari (73,45).
Pembangkit listrik
Pembangkit listrik di Pulau Bali hampir 100 persen pembangkit listrik yang berbasis energi fosil. Saat ini terdapat delapan instalasi pembangkit listrik di Pulau Bali. Dari delapan itu, hanya dua pembangkit listrik yang berbasis energi baru terbarukan, yakni PLTS Kayubihi (energi surya), dan PLTMH Muara Panji (mikro hidro).
Di sisi lain, sistem kelistrikan di Bali masih sangat bergantung pada sistem kelistrikan dari Pulau Jawa. Pada 2018-2019 energi listrik di Bali sudah memanfaatkan energi terbarukan sebesar 5,49 megawatt atau hanya 0,59% dari total pemakaian energi. Target penggunaan energi terbarukan pada 2025 sebesar 11% dari total pemakaian energi listriknya.
Sejatinya Bali kaya sumber energi baru dan terbarukan. Center For Community Based Renewable Energy (CORE) Universitas Udayana bersama Greenpeace Indonesia menemukan potensi energi surya di Bali paling tinggi, yaitu sekitar 98% dari total potensi energi terbarukan yang terdapat di Bali.
Potensi energi matahari di pusat kabupaten/kota di Bali berkisar antara 4,01-6,13 kWh/m²/hari dengan rata-rata 4,89 kWh/m²/hari. Bali memiliki iradiasi solar berkisar 1,490 hingga 1,776 kWh/m²/tahun, atau melebihi standar yang diberlakukan di Eropa untuk kelayakan proyek energi surya, yaitu 900 kWh/m²/tahun.
Penggunaan energi bersih di Bali selaras dengan Peraturan Gubernur Bali Nomor 45 tahun 2019 tentang Bali Energi Bersih, yang bertujuan meningkatkan kualitas potensi EBT, penyediaan energi bagi masyarakat yang belum memiliki akses energi, baik di tingkat rumah tangga, transportasi, pariwisata, dan bahkan pertanian.
Jika Provinsi Bali masih menggunakan energi fosil (PLTU), produksi emisi gas karbon (CO2) di Pulau Bali akan makin eskalatif. Sebagai contoh, PLTU Celukan Bawang, setiap hari membakar 5.200 ton batu bara.
Kendaraan pribadi
Jumlah kendaraan bermotor di Pulau Bali, menurut data BPS 2024, jumlahnya mencapai 5.278.984 unit, mayoritas sepeda motor sebanyak 4.526.734 unit, kendaraan pribadi roda empat 544.640 unit, kendaraan truk 188.199 unit, kendaraan bus 15.981 unit, dan mobil penumpang 544.640 unit.
Tingginya penggunaan kendaraan bermotor pribadi menghasilkan emisi gas buang yang signifikan. Apalagi mayoritas kendaraan bermotor tersebut belum menggunakan BBM standar Euro, yang lebih ramah lingkungan. Di sisi lain, fenomena penggunaan kendaraan listrik di Bali sejatinya menggembirakan. Pada September 2024, menurut Badan Penerimaan Daerah, terjadi lompatan dua kali lipat, menjadi 8.019 kendaraan listrik; yang terdiri atas kendaraan listrik roda empat (6.870 unit), dan kendaraan listrik roda dua (1.092 unit).
Menurut data PT PLN Wilayah Bali, jumlah SPKLU di Bali meningkat 285 persen. Merujuk analisa WRI (World Resources Institute) Indonesia, jika jumlah kendaraan listrik di Bali meningkat signifikan, yang kontribusi bisa mengurangi emisi karbon 43 persen.
Selain mendorong pertumbuhan dan penggunaan kendaraan listrik, yang tak kalah urgen adalah mewujudkan angkutan umum masal. Sebagai pulau wisata kelas dunia, Bali sama sekali tidak punya angkutan umum massal. Ada rencana membuat angkutan masal seperti LRT bahkan MRT, tetapi rencana ini mati suri.
Selain belum ada keberpihakan yang serius, juga terkendala masalah adat dan kultural di Bali. Sebaliknya, turis mancanegara makin gandrung menggunakan sepeda motor. Namun, di media sosial, kita acap melihat turis tak mematuhi aturan lalu lintas bahkan kelengkapan surat-surat berkendara.
Fenomena rokok
Prevalensi merokok di Pulau Bali, menurut Center for NCDs, Tobacco Control and Lung Health Universitas Udayana-Bali, mengacu pada hasil survei Kesehatan Nasional 2023, masih tergolong tinggi. Data menunjukkan 16% penduduk Bali berusia di atas 10 tahun merupakan perokok, dengan rata-rata konsumsi 12 batang per hari dan harga rata-rata Rp 21.800 per bungkus.
Lebih mengkhawatirkan lagi, 56% perokok di Bali memulai kebiasaan merokok di usia muda, antara usia 10-19 tahun. Prevalensi pengguna rokok elektronik di Bali sebesar 8,5%, menempatkan Bali di urutan kedua nasional di bawah Yogyakarta.
Tren ini perlu mendapat perhatian serius. Buntutnya menghasilkan emisi yang tinggi, bukan hanya asap, juga emisi dari kemasan/bungkus rokok, plus puntung rokok. Apalagi jika habit merokok di sembarang tempat, buang kemasan dan puntung rokok semau gue, berdampak potensi sampah makin besar.
Apalagi sampah puntung rokok merupakan limbah berbahaya dan beracun (B3), masuk ke sungai lalu ke pantai, masuk ke laut. Perlu upaya pengendalian konsumsi rokok di Bali, salah satunya mewujudkan smoke free tourism, seperti di banyak tempat wisata dunia.
Pengelolaan sampah
Masih tersisa persoalan krusial lain yang tak bisa dianggap sepele, yakni pengelolaan sampah (waste management). Sektor pariwisata berkontribusi paling banyak menghasilkan sampah, baik sampah organik dan atau sampah unorganik. Terbukti berdasar data Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN), timbunan sampah di Provinsi Bali pada 2024 mencapai 1,2 juta ton.
Kota Denpasar menjadi penyumbang terbesar dengan jumlah sampah sekitar 360 ribu ton, dengan sampah organik yang berasal dari sisa makanan dan ranting kayu mendominasi, mencapai 68,32 persen. Dan menurut catatan Institute for Essensial Services Reform (IESR), selama kurun waktu 2000-2024, timbunan sampah di Bali naik 30 persen, akibat kurangnya kesadaran masyarakat dalam mengelola sampah, plus lonjakan kenaikan wisatawan ke Bali.
Mitigasi, Transformasi
Jika Pulau Bali serius ingin mewujudkan green island, isu-isu tersebut harus segera dimitigasi, ditransformasikan, yakni transformasi penggunaan EBT, khususnya untuk pembangkit listrik. Sementara untuk sektor transportasi, tak ada pilihan lain yakni menginstalasi angkutan masal cepat, seperti LRT, monorail, atau bahkan MRT.
Juga pembatasan penggunaan kendaraan pribadi di ruas jalan tertentu, misalnya menerapkan ERP (Electronic Road Pricing), dan tarif parkir progresif. Jangan sampai Bali justru menyandang tagline baru yakni kemacetan.
Sementara untuk pengelolaan sampah, memang tidak ada satu solusi tunggal yang bisa menyelesaikan masalah sampah di Bali, bahkan di Indonesia. Butuh pendekatan yang terpadu dan menyeluruh, melibatkan semua pihak dari masyarakat, pemerintah, hingga industri.
Selain itu, perlu pula menanamkan pola pikir circular economy dan tanggung jawab pengelolaan sampah di masyarakat yang memahami bahwa pengolahan sampah di Indonesia berbiaya sangat mahal, mencapai US$ 100 per ton. Oleh karenanya pengurangan sampah di sisi hulu (sumber utama) adalah pilihan yang paling murah.
Untuk mewujudkan Bali hijau, muaranya adalah menurunkan produksi emisi karbon di Bali. Merujuk pada data Bappeda Provinsi Bali, produksi gas rumah kaca di Bali mengkhawatirkan. Menurut laporan Penyelenggara Inventarisasi Gas Rumah Kaca (IGRK) 2022, tingkat emisi gas rumah kaca di Bali mencapai angka 12.089,85 miliar gram setara CO2. Sektor energi merupakan sektor yang berkontribusi terbesar yakni 8.205,87 miliar gram setara CO2 (67,87%), disusul sektor limbah sebesar 3,872,41 miliar gram CO2 (32,03%), dan sektor pertanian sebesar 1.171,68 miliar gram setara CO2 (9,68%).
Tetapi menurut analisis World Resources Institute, emisi gas rumah kaca dari sektor transportasi di Bali berkontribusi 43% dari total emisi. Jumlah itu jauh lebih besar dibanding angka nasional yakni 16% dari sektor transportasi. Sektor sumber emisi tertinggi secara nasional adalah sektor energi yakni 49% dari pembangkit listrik dan industri.
Bali akan menjelma menjadi “pulau hijau” jika isu-isu krusial dimitigasi dengan serius. Yuk, selamatkan aspek ekologis Pulau Bali.
Ikuti percakapan tentang energi bersih di tautan ini
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.

Pegiat perlindungan konsumen dan lingkungan hidup, anggota Asosiasi Pengamat Energi Indonesia (APEI), pendiri dan pengurus Komisi Nasional Pengendalian Tembakau, dan Ketua Pengurus Harian YLKI, 2015-2025
Topik :