DI Konferensi Tingkat Tinggi Perubahan Iklim PBB ke-30 atau Conference of the Parties (COP) 30 di Belém, Brasil, pada 10-21 November 2025, delegasi pemerintah Indonesia akan mengenalkan banyak proyek karbon. Regulasinya sudah siap, yakni Peraturan Presiden Nomor 110/2025 yang membuka perdagangan karbon sukarela atau antar penjual dan pembeli secara langsung.
Menurut Laksmi Widyajayanti, Staf Ahli Bidang Sumber Daya Pangan, Sumber Daya Alam, Energi, dan Mutu Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup, yang menjadi penanggung jawab Paviliun Indonesia di COP 30, sudah ada 20 partisipan yang akan turut serta dalam forum “seller meet buyer”. “Ada tiga mekanisme, yaitu transaksi, komitmen, dan peminatan,” kata Laksmi pada 29 Oktober 2025.
Dalam forum itu ada 11 proyek karbon tersertifikasi yang akan dijajakan. Juga 15 proyek yang sedang dalam proses, dan 14 calon proyek. Laksmi berharap proyek-proyek itu menghasilkan total kredit karbon sebesar 90,10 juta unit karbon. “Dari 40 proyek itu, 21 sektor energi, 8 sektor lahan dan kehutanan, 11 proyek limbah,” katanya.
Kepala Biro Hubungan Masyarakat Kementerian Lingkungan Hidup Yulia Suryanti menambahkan forum SMB menjadi model awal "toko karbon" kepada pembeli karbon global. Saat ini, kata penanggung jawab SMB ini, sudah ada partisipan yang telah masuk ke skema SPEI (Sertifikasi Pengurangan Emisi dan Gas Rumah Kaca Indonesia).
Peraturan Presiden Nomor 110/2025 tentang Penyelenggaraan Instrumen Nilai Ekonomi Karbon dan Pengendalian Emisi Gas Rumah Kaca Nasional mengoreksi peraturan sebelumnya, Perpres 98/2021. Dalam Perpres lama, tak ada mekanisme perdagangan karbon di pasar sukarela. Semua pembeli karbon harus melalui tangan pemerintah karena pembelian akan dicatatkan dalam nationally determined contribution (NDC) atau kontribusi penurunan emisi pemerintah Indonesia.
Akibatnya, sejak dibuka pada 2023 pasar karbon Indonesia sepi pembeli. Bahkan ketika perdagangan internasional dibuka pada awal 2025, pembeli karbon internasional tak kunjung datang. Dengan skema pasar karbon sukarela, pemerintah berharap pembeli karbon internasional berminat membeli penurunan emisi dalam proyek-proyek di Indonesia.
Perbedaan pasar karbon sukarela dan pasar karbon wajib ada pada skema transaksinya. Pasar karbon wajib harus melalui persetujuan pemerintah, sementara sukarela antara pembeli dan penjual.
Pasar sukarela sebenarnya sudah terjadi di sektor lahan sejak pemerintahan memberlakukan konsesi restorasi ekosistem. Sebanyak 16 perusahaan yang mengelola hak pengusahaan hutan memelihara konsesi mereka lalu menjual penyerapan emisinya kepada pembeli luar negeri. Tak hanya perusahaan, masyarakat adat di Bujang Raba, Jambi, bahkan sudah bertransaksi dengan perusahaan di Eropa.
Pemerintah pusat juga sudah berdagang karbon dengan Norwegia dengan memakai skema REDD+, atau penurunan emisi melalui pencegahan deforestasi dan degradasi lahan. Harga karbon dengan pemerintah Norwegia US$ 5 per ton serapan emisi setara CO2.
Dengan mengadopsi voluntary carbon market, kata Menteri Lingkungan Hidup Hanif Faisol Nurorifiq, perdagangan karbon menjadi terintegrasi dengan pasar karbon nasional. Menurut Hanif, nilai ekonomi karbon hanya akan berarti jika diproses dan dijalankan secara transparan dan akuntabel. “Karena itu perlu integritas dalam perdagangan karbon ini,” katanya.
Selain mengadopsi pasar karbon sukarela, Perpres 110/2025 juga mengubah beberapa skema. Satuan penjualan karbon bukan lagi “setara CO2” melainkan unit karbon. Karena itu Sistem Registri Nasional yang mencatat penjualan dan pembelian karbon di Indonesia juga berubah menjadi Sistem Registri Unit Karbon (SRUK).
Dengan pembukaan pasar karbon sukarela, pemerintah berharap toko karbon Indonesia di COP30 mendatangkan minat pembeli internasional. Sejak enam bulan lalu Kementerian Luar Negeri juga membantu promosi perdagangan karbon ini. “Kami tak membuat target tapi sudah ada partisipan yang berminat,” kata Yulia Suryanti.
Ikuti percakapan tentang perdagangan karbon di tautan ini
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University
Topik :