TEMUAN sekelompok pegiat lingkungan menguatkan dugaan bahwa banjir bandang dan longsor yang melanda Provinsi Aceh berkaitan erat dengan deforestasi. Sehari sebelum banjir menerjang Beutong Ateuh pada 26 November 2025, tim Apel Green Aceh menemukan tumpukan gelondongan kayu—sekitar 30 meter kubik—di Desa Babah Suak, kawasan yang berbatasan dengan hutan lindung penghubung Ekosistem Leuser dan Ulu Masen.
Direktur Apel Green Aceh, Syukur Tadu, mengatakan temuan kayu meranti di medan yang sulit dijangkau kendaraan itu bukan yang pertama. “Awal tahun ini kami menemukan tumpukan kayu serupa di Desa Blang Puuk, Nagan Raya,” ujarnya.
Data HAkA memperkuat dugaan itu. Kabupaten Nagan Raya, yang membawahi Beutong Ateuh, kehilangan 5.127 hektare tutupan hutan sepanjang 2018–2024. Puncaknya terjadi pada 2024, ketika 1.052 hektare hutan hilang hanya dalam setahun.
Akhir November 2025 memang menjadi lembar kelam bagi warga Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat. Hujan deras yang turun tanpa henti selama beberapa hari mengakibatkan banjir bandang dan longsor menenggelamkan desa, merusak fasilitas publik, serta memutus akses listrik, jalan, dan komunikasi.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) pada 6 Desember 2025, mencatat skala kerusakan yang belum pernah terjadi dalam satu dekade terakhir: 914 orang meninggal dan 389 lainnya masih hilang di tiga provinsi. Aceh mencatat korban tewas terbanyak dengan 359 jiwa, disusul Sumatera Utara 329 jiwa, dan Sumatera Barat 226 jiwa.
Direktur Eksekutif Forest Watch Indonesia (FWI), Mufti Barri, menyebut bencana akhir November itu sebagai akumulasi kerusakan hutan menahun di Sumatera. “Dosa masa lalu selalu dijadikan alasan pemerintah untuk lepas dari tanggung jawab. Alih-alih memperbaiki kondisi lingkungan hari ini, mereka sibuk menyalahkan yang terjadi kemarin,” katanya.
FWI mencatat Provinsi Aceh kehilangan sekitar 177 ribu hektare hutan—setara 2,5 kali luas Singapura—dalam tujuh tahun terakhir. Sepanjang 2024 saja, 16 ribu hektare hutan alam hilang. “Deforestasi itu nyata. Ini bukan istilah politis yang bisa ditawar dengan perdebatan metodologis atau mengubah definisinya,” ujar Mufti.
Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) menambahkan, ekspansi industri ekstraktif memperparah deforestasi ugal-ugalan di Aceh. Berdasarkan analisis citra satelit Global Forest Watch, Aceh kehilangan 860 ribu hektare tutupan pohon sepanjang 2021–2024. JATAM mencatat empat izin kehutanan dengan total konsesi 207.177 hektare masih terpasang di Aceh, termasuk milik PT Tusam Hutani Lestari—perusahaan HTI yang dikaitkan dengan Presiden Prabowo Subianto—seluas 97.300 hektare.
Aceh juga dibebani izin tambang yang menumpuk. Data Kementerian ESDM menyebut ada 31 izin tambang aktif dengan luas konsesi 156.741 hektare. Angka itu belum termasuk pertambangan emas ilegal (PETI) seluas 3.500 hektare, di mana lebih dari 2.300 hektare berada di Ekosistem Leuser.
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) menghitung deforestasi di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat sepanjang 2016–2024 mencapai 1,4 juta hektare. Manajer Kampanye Hutan dan Kebun WALHI, Uli Arta Siagian, mendorong pemerintah segera mengevaluasi seluruh perizinan, terutama di kawasan genting seperti hutan, gambut, dan hulu DAS. WALHI juga menuntut pencabutan izin serta penagihan tanggung jawab pemulihan kepada korporasi yang merusak ekosistem penting.
WALHI mendesak revisi RTRW seluruh provinsi di Sumatera dengan menempatkan batas ekosistem sebagai zona lindung permanen yang tak bisa diutak-atik demi investasi ekstraktif.
DAS Rusak, Kampung Hilang
Sekitar 85 persen kampung di Beutong Ateuh hilang setelah banjir bandang menggerus kecamatan kecil di Nagan Raya itu. Wilayah pertanian subur itu kini porak-poranda. Kampung berubah menjadi aliran sungai baru, akses jalan putus, dan warga terisolasi. Bantuan hanya bisa dikirim lewat kabel yang dibentangkan di atas DAS Krueng Beutong yang kini terpecah menjadi tiga jalur.
“Krueng Beutong dulu memberi ikan, air bersih, dan hasil kebun. Kini airnya keruh, merusak mata pencaharian dan meretakkan budaya turun-temurun,” kata Syukur Tadu.
Kerusakan hulu DAS akibat tambang legal maupun ilegal juga terjadi di Aceh dan Sumatera Barat. Bahkan proyek energi yang diklaim bersih, seperti PLTA North Sumatera Hydro Energy (NSHE) di Batang Toru, turut dikaitkan dengan banjir yang terjadi di wilayah itu.
Menurut Uli, pemulihan ekologis hulu DAS sebagai strategi adaptasi iklim harus segera dimulai. Restorasi skala bentang alam menjadi kunci, melalui penanaman vegetasi asli, rehabilitasi tutupan tanah, dan rekoneksi koridor satwa yang terputus oleh aktivitas tambang, energi, dan perkebunan.
Ikuti percakapan tentang deforestasi di tautan ini
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.
Redaksi
Topik :