Untuk bumi yang lestari

Kabar Baru| 08 November 2025

Perdagangan Karbon: Komoditas atau Komitmen Iklim?

Karbon hutan menjadi “komoditas” untuk menarik investasi dan pencitraan di forum global. Tepatkah paradigma ini?

PERDAGANGAN karbon menjadi primadona di Konferensi Perubahan Iklim (COP30) di Belém, Brasil, pada 10–21 November. Di Paviliun Indonesia, yang resmi dibuka pada hari pertama konferensi, Kementerian Lingkungan Hidup menyiapkan forum khusus untuk mempertemukan calon penjual dan pembeli kredit karbon.

Narasi yang mengemuka di forum itu adalah menyelamatkan hutan sambil memperoleh pemasukan dari jual-beli penyerapan karbon. Di balik narasi itu tersimpan tanda tanya besar: apakah perdagangan karbon benar-benar untuk menurunkan emisi atau sekadar memindahkan angka di atas kertas?

Perdagangan karbon sejatinya hanya satu dari sekian instrumen mitigasi dalam Paris Agreement, perjanjian global yang menargetkan agar suhu bumi tak naik lebih dari 1,50 Celcius dibandingkan masa praindustri 1870. Jika ambang batas itu terlampaui, para ilmuwan memperingatkan dunia akan menghadapi kekacauan ekosistem: hilangnya 8 persen spesies, mencairnya es di kutub yang memicu naiknya permukaan laut, serta makin seringnya gelombang panas, kekeringan panjang, dan banjir bandang. 

“Narasi yang paling terang-benderang hari ini adalah jual karbon, selamatkan hutan, dan dapat duit. Padahal sektor energi —terutama PLTU batu bara— masih menjadi penyumbang emisi terbesar,” ujar Torry Kuswardono, Koordinator Sekretariat Aliansi Rakyat untuk Keadilan Iklim (ARUKI), dalam Diskusi Nexus Tiga Krisis Planet pada Jumat, 7 November 2025.

Menurut Torry, fokus kebijakan iklim Indonesia masih berat sebelah: sektor energi yang menjadi sumber emisi utama justru belum tersentuh secara serius, sementara hutan jadi “komoditas” baru untuk menarik investasi dan pencitraan di forum global.

Mitigasi iklim mencegah kenaikan suhu bumi akan dilakukan melalui kerja sama melalui mekanisme pasar (salah satunya perdagangan karbon) dan nonpasar. Salah satu mekanisme nonpasar adalah proyek Forest Carbon Partnership Facility (FCPF) untuk mengurangi emisi dari deforestasi dan degradasi hutan di Kalimantan Timur.

“Jika berhasil menurunkan emisi sebesar 122 juta ton setara CO2, akan ada result based payment dari Bank Dunia sebesar US$ 110 juta,” kata Riko Wahyudi, peneliti Research Center for Climate Change Universitas Indonesia.

Insentif ini diberikan karena Indonesia berhasil menurunkan emisi emisi yang dicatat sebagai pencapaian target iklim Indonesia Namun, jika menggunakan mekanisme perdagangan karbon, emisi tidak dicatat sebagai pencapaian target, karena emisi yang dicegah “ditukar” dengan emisi yang dijual.

Dalam perdagangan karbon ada dua istilah yang sering tumpang tindih: carbon offset dan perdagangan karbon berdasarkan ambang batas (cap and trade). Offset karbon adalah mekanisme kompensasi. Misalnya, sebuah perusahaan penerbangan tidak bisa menurunkan emisinya secara langsung, maka ia membeli “kredit karbon” dari proyek rehabilitasi hutan. Kredit itu dihitung berdasarkan berapa banyak karbon yang bisa diserap proyek tersebut. Dengan membeli offset, perusahaan dianggap “menebus” emisi yang dihasilkannya.

Sementara perdagangan karbon berdasarkan batas (cap and trade) bersifat wajib. Pemerintah menetapkan batas atas emisi (cap) untuk sektor tertentu — misalnya pembangkit listrik. Jika satu pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) mampu menekan emisi di bawah batas itu, kelebihannya bisa dijual ke PLTU lain yang masih memproduksi emisi berlebih dari batas itu. Dalam praktiknya, pasar karbon di Indonesia lebih banyak berbasis offset.

Sektor hutan dan lahan menjadi ujung tombak karena mudah “dijual” sebagai penyerap karbon. Menurut Torry Kuswardono, skema ini menjadi ironi karena pemerintah berjanji melindungi 12 juta hektare hutan lewat pasar karbon tapi di sisi lain, Indonsia kehilangan hutan karena deforestasi yang direncakan untuk proyek-proyek raksasa seperti proyek strategis nasional.

Menurut Torry, merujuk IPCC, panel ilmuwan untuk perubahan iklim di PBB, sudah menyatakan bahwa hutan tidak bisa diandalkan sebagai reset emisi terus menerus. Jika terlalu kering, bisa terbakar, jika terlalu basah karbonnya larut dan hilang. "Jadi stok karbon itu bisa lenyap dalam satu musim kering ekstrem," kata Torry.

Ia menambahkan, proses penyerapan karbon di hutan tidak instan. Menurut Torry, tidak bisa diasumsikan bahwa setiap ton CO₂ yang diproduksi penduduk bumi bisa langsung diserap hutan saat itu juga. Selama jeda itu, gas rumah kaca yang tetap menumpuk di atmosfer. Penumpukan gas rumah kaca ini yang membuat suhu bumi semakin naik.

Problem terbesar dari pasar karbon, kata Torry, terletak pada integritas datanya. Banyak proyek karbon offset melebih-lebihkan penyerapan emisinya. Studi internasional menunjukkan, over-crediting bisa mencapai 30-100%. "Artinya klaim penurunan emisi dua kali lipat dari yang sebenarnya terjadi,” kata dia.

Investigasi The Guardian (2023–2024) menemukan sekitar 90% kredit REDD+ (Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation) tidak mewakili pengurangan emisi nyata. Selain itu, pasar karbon membuka peluang moral hazard. Ketika harga kredit karbon murah, perusahaan lebih memilih membeli kredit daripada benar-benar berinvestasi dalam teknologi bersih untuk menurunkan produksi emisi. Akibatnya, fase transisi energi dan dekarbonisasi makin lambat.

Jika tujuan akhirnya adalah menahan kenaikan suhu global di bawah 1,5°C, kata Riko Wahyudi, cara terbaik adalah menurunkan produksi emisi dari sumbernya. Karena itu jika mitigasi iklim fokus pada penyerapan emisi, pencegahan gas rumah kaca dari sektor energi tak akan terjadi. 

Masalah lain adalah tata kelola. Sistem pengukuran dan verifikasi emisi (measurement, reporting, verification; MRV)) di Indonesia belum transparan. Data antar lembaga sering tidak sinkron, sementara mekanisme akuntabilitas publik masih minim.

“Bahkan baseline emisi di sektor kehutanan masih jadi perdebatan,” kata Riko. “Jika baseline-nya belum solid, bagaimana kita mau menjual kredit karbon ke luar negeri?” Kondisi ini rentan menimbulkan pencatatan ganda, di mana satu penurunan emisi diklaim dua kali, oleh proyek dan oleh pemerintah.

Selain aspek teknis, pasar karbon juga punya dampak sosial. Proyek offset di wilayah hutan sering bersinggungan dengan masyarakat adat dan petani lokal. Banyak kasus komunitas kehilangan akses ke lahan tradisional karena wilayah tradisional mereka masuk area proyek karbon. “Kalau tidak diatur dengan baik, pasar karbon bisa jadi bentuk baru kolonialisme ekologis,” kata Torry. “Hutan kita dijaga bukan untuk rakyat, tapi untuk kompensasi polusi negara lain.”

Di tingkat global, sistem perdagangan karbon telah lebih matang di kawasan seperti Uni Eropa. Tapi sistem itu dibangun di atas infrastruktur data yang kuat dan mekanisme sanksi yang tegas. Pelaku usaha yang melanggar batas emisi harus membayar lebih mahal.

Menurut Riko, mekanisme pasar karbon Indonesia belum ditopang oleh regulasi dan aturan teknis yang solid. Batas emisi dalam perdagangan karbon cap and trade belum ditetapkan sehingga perdagangan karbon dalam negeri belum terjadi.

Ikuti percakapan tentang perdagangan karbon di tautan ini

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Redaksi

Topik :

Bagikan

Komentar



Artikel Lain