Untuk bumi yang lestari

Kabar Baru| 31 Oktober 2025

Studi: Wilayah Sakral Masyarakat Adat Pusat Konservasi Perairan

Masyarakat adat memiliki kearifan lokal untuk melindungi wilayah perairan sejak lama. Pusat konservasi.

Wilayah perairan memiliki nilai penting bagi budaya dan alam (foto: Unsplash.com/hakammagdea)

DENGAN ribuan sungai yang mengalir dan laut yang begitu luas, wilayah perairan menjadi fondasi penting keberlanjutan Indonesia. Sungai dan laut tak hanya krusial bagi keanekaragaman hayati, juga menjadi sumber pangan, air, dan mata pencarian.

Menurut studi yang dipublikasikan di Aquatic Conservation: Marine and Freshwater Ecosystem, wilayah perairan sakral yang dilindungi oleh tradisi masyarakat adat berperan penting dalam konservasi perairan dan ikan di Indonesia.

Ada puluhan ribu pulau di Indonesia, di mana praktik tradisional dan adat bersinggungan dengan upaya konservasi. Banyak wilayah perairan yang dihormati oleh masyarakat sebagai tempat bersemayam roh atau dewa. Sehingga, wilayah tersebut menjadi kawasan lindung bagi spesies ikan asli.

Namun, banyak wilayah sakral belum diakui dan tak masuk dalam kerangka nasional pelestarian keanekaragaman hayati maupun warisan budaya.

Sebagai contoh, beberapa sungai di Kuningan, Jawa Barat, seperti Cibulan, Cigugur, Darma Loka, Linggarjati, dan Pasawahan, menjadi habitat asli ikan ikan soro (Neolissochilus soro). Di Jawa Timur, situs air seperti Rambut Monte di Blitar adalah rumah bagi ikan sengkaring, atau dikenal juga sebagai “ikan dewa”. Di Gua Ngerong, Tuban, menjadi habitat ikan tawes (Barbonymus gonionotus).

Wilayah perairan yang disakralkan menjadi situs penting bagi ikan asli untuk pemijahan dan pembesaran. Wilayah tersebut melindungi mereka dari polusi, degradasi habitat, dan penangkapan berlebih. 

Wilayah yang disakralkan menjadi minim campur tangan manusia, walhasil punya kualitas air lebih baik dan stabilitas ekologi. Komunitas adat membantu mempertahankan populasi ikan dan ekosistem perairan. Sekaligus menunjukkan bahwa praktik budaya tradisional dapat berperan langsung dalam konservasi lingkungan.

Tak hanya sungai, di laut juga serupa. Contohnya sistem adat sasi di Indonesia Timur, Maluku dan Papua, dan lubuk larangan di Sumatera. Kedua sistem adat tersebut melindungi perikanan melalui larangan musiman, zona larangan tangkap, dan aturan berbasis adat.

Saat ini, Indonesia mengelola lebih dari 36 juta hektare kawasan lindung di bawah kerangka hukum seperti taman nasional, cagar alam, dan taman hutan raya. Namun, konservasi perairan tawar masih terbatas dalam kategori tersebut. Seringkali hanya ada di taman yang lebih besar dan tak memiliki perlindungan spesifik untuk perairan air tawar.

Beberapa situs perairan sakral sudah terdokumentasi secara lokal dan memiliki pengakuan di tingkat nasional. Namun, para peneliti memperkirakan jumlah sebenarnya jauh lebih banyak dibanding yang saat ini telah diinventarisasi dan diakui di tingkat nasional. Tanpa pengakuan hukum, situs perairan sakral hanya tinggal menunggu waktu sampai dilupakan dan rusak oleh perkembangan zaman.

Keberadaan situs perairan sakral menunjukkan bahwa perlindungan ekosistem telah dilakukan oleh masyarakat sejak lama. Masyarakat adat dari dulu telah memiliki cara tersendiri dalam melindungi sumber daya alam.

Dalam konteks nasional, perlindungan ekosistem tak hanya berasal dari kebijakan negara atau pendekatan ilmiah, tetapi juga dari praktik sosial yang hidup dalam masyarakat. Dengan begitu, negara bisa membangun pendekatan konservasi yang lebih inklusif dan kontekstual, yang tak mengesampingkan nilai-nilai lokal.

Maka dari itu, pengakuan formal dan integrasi wilayah perairan sakral ke dalam langkah konservasi nasional akan memberi manfaat baik keanekaragaman hayati dan warisan budaya. Salah satu strategi potensial adalah lewat kerangka kerja Kawasan Ekosistem Esensial (KEE).

Kerangka ini mengakui kawasan yang penting secara budaya dan ekologis di luar kawasan konservasi formal karena keanekaragaman hayatinya, serta dikelola secara kolaboratif oleh komunitas lokal, lembaga keagamaan, dan instansi pemerintah. Dengan begitu wilayah perairan sakral bisa terpetakan, tercatat, dan diakui secara nasional.

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Alumnus Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB

Topik :

Bagikan

Komentar



Artikel Lain