
DUA bulan lalu, masyarakat Indonesia dibuat “horeg” (heboh). Bukan oleh sound horeg, tapi oleh usulan seorang anggota Komisi VI Dewan Perwakilan Rakyat. Namanya Nasim Khan dari Partai Kebangkitan Bangsa daerah pemilihan Jawa Timur III, yang meliputi Banyuwangi, Situbondo, dan Bondowoso. Ia usul agar PT Kereta Api Indonesia menyediakan satu gerbong khusus untuk tempat merokok di kereta jarak jauh.
Usulan itu disampaikan pada acara Rapat Dengar Pendapat Umum dengan Direktur Utama KAI. Sontak usulan menjadi topik trending di media sosial. Warganet umumnya tak setuju dengan usulan itu. Mereka menolak karena asap rokok bisa mengganggu bukan perokok. Sebetulnya bukan itu saja, usulan itu menyalahi regulasi.
Menurut Undang-Undang Nomor 17/2023 tentang Kesehatan, PP 28/2024 tentang Kesehatan, dan puluhan peraturan daerah menyatakan angkutan umum adalah kawasan tanpa rokok secara mutlak. Artinya angkutan umum tidak boleh menyediakan area merokok. Karena itu angkutan umum juga terlarang menayangkan iklan dan promosi rokok.
Secara empirik dan sosiologis, usulan itu juga mengandung paradoks. Selama ini manajemen PT KAI menjadi pionir angkutan umum yang menerapkan KTR. Manajemen KAI konsisten menegakkan aturan bagi penumpang yang terbukti merokok di dalam kereta api dengan ancaman menurunkannya di stasiun terdekat.
Beberapa kecelakaan transportasi massal, baik laut maupun udara, juga dipicu oleh penumpang yang merokok. Kapal Tampomas II tenggelam pada 1981 yang menewaskan 431 orang akibat penumpang yang merokok yang apinya menyambar area mesin kapal. Juga kecelakaan pesawat pada 1973 di Spanyol (terkenal dengan “Tragedi Varig”) yang menewaskan 125 penumpang juga dipicu penumpang yang merokok di dalam toilet pesawat.
Sebaliknya, ada banyak manfaat larangan merokok di angkutan publik.
Pertama, untuk menciptakan rasa nyaman dan aman bagi penumpang. Banyak studi ilmiah yang membuktikan bahwa rokok lebih berbahay bagi perokok pasif. Hasil uji partikel asap rokok oleh Smoke Free Jakarta (2013) terhadap 88 gedung di Jakarta menunjukkan, kadar partikel sangat halus (PM2.5), di seluruh lokasi yang terdapat kegiatan merokok 7-8 kali melebihi ambang batas WHO yang seharusnya 25 mikrometer/m3. Di tempat hiburan bahkan mencapai lebih dari 10 kali lipat.
Kedua, kawasan tanpa rokok adalah instrumen mengurangi dampak merokok bagi lingkungan. Puntung dan bungkus rokok yang dibuang sembarangan akan mengotori lingkungan karena masuk kategori limbah berbahaya dan beracun. Apalagi industri rokok juga tak bertanggungjawab menarik puntung dan bungkus rokok dari pasaran. Padahal, UU Lingkungan Hidup telah memandatkan bahwa pabrik bertanggung jawab melakukan EPR (extended producer responsibility).
Ketiga, kawasan tanpa rokok juga menjadi instrumen memitigasi kebakaran moda angkutan umum. Di Jakarta, menurut data Dinas Kebakaran, selama kurun 2004-2009, kebakaran yang akibat puntung rokok sebanyak 761 kasus. Lainnya, 5.100 kasus kebakaran akibat listrik, disusul dengan kompor atau gas meledak sebanyak 1.067 kasus.
Keempat, kawasan tanpa rokok bermanfaat sebagai pengendalian konsumsi bagi perokok. Banyak diaspora Indonesia yang berhenti merokok karena sulitnya mencari tempat merokok di tempat-tempat umum, ditambah harga rokok yang super mahal. Misalnya, Singapura, yang bahkan sudah melarang rokok elektronik.
Kelima, kawasan tanpa rokok tidak menurunkan konsumen. Setelah PT KAI melarang rokok di semua tempat, jumlah penumpang malah naik. Larangan merokok di kereta api yang sudah berjalan lebih dari 15 tahun sama sekali tidak membuat jumlah penumpang menyusut. Jumlah penumpang kereta api pada semester I 2025 mencapai 261,8 juta orang, naik 9,27 persen dibanding periode yang sama pada 2024.
Survei Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia pada 2014 terhadap konsumen hotel, menunjukkan 92 persen responden mendukung penerapan KTR secara ketat. Pengalaman Surabaya Plaza Hotel yang menerapkan secara konsisten KTR menangguk keuntungan dengan tak ada penurunan bahkan menciptakan konsumen yang loyal.
Maka tak ada alasan yang cukup absah untuk menolak pemberlakuan KTR, khususnya di angkutan umum, tempat umum dan tempat kerja, khususnya hotel dan restoran. Atau bahkan tempat hiburan malam, seperti karaoke dan diskotek.
Jadi menyediakan gerbong khusus merokok tak aman dan mengganggu kenyamanan. Padahal, salah satu syarat angkutan publik adalah kenyamanan
Pada 2024, Badan Kebijakan Transportasi Kementerian Perhubungan pernah membahas Rancangan Peraturan Menteri Perhubungan (tentang infrastruktur perhubungan sebagai kawasan tanpa rokok. Namun, hingga kini peraturan tersebut tak jelas pembahasannya. Padahal, aturan ini justru akan mendorong publik makin nyaman memakai transportasi publik, salah satu cara jitu menurunkan emisi karbon sektor transportasi yang memicu pemanasan global.
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.

Pegiat perlindungan konsumen dan lingkungan hidup, anggota Asosiasi Pengamat Energi Indonesia (APEI), pendiri dan pengurus Komisi Nasional Pengendalian Tembakau, dan Ketua Pengurus Harian YLKI, 2015-2025
Topik :