Untuk bumi yang lestari

Kabar Baru| 10 November 2025

Aspek Keadilan dalam Negosiasi Pendanaan Iklim COP30

Pendanaan iklim belum terlihat mengutamakan aspek keadilan. Baru pengumpulan dana.

SEPERTI Konferensi Tingkat Tinggi Perubahan Iklim tahun-tahun sebelumnya dalam tiga tahun terakhir, pendanaan iklim menjadi topik yang akan menjadi perhatian delegasi 197 negara. Tahun ini, KTT Perubahan Iklim atau COP30 di Belém, Brasil, pendanaan iklim jadi topik yang akan jadi debat baru karena dimotori tuan rumah.

Presiden Brasil Lula da Silva, dalam pertemuan dengan para kepala negara pada 6 November 2025, sudah mengajak mereka bergabung dalam TFFF atau Tropical Fund Forever Facility. Dalam pertemuan dengan Presiden Prabowo Subianto, Lula juga mengajak Indonesia menjadi motor inisiatif pendanaan ini.

Country Director Greenpeace untuk Indonesia Leonard Simanjuntak mengatakan menyarankan perubahan fundamental dalam pendanaan iklim agar memicu keadilan. Salah satunya tidak lagi meloloskan industri ekstraktif dan melanggengkan deforestasi secara terencana.

Leonard mengingatkan kembali pada dua kalimat kunci Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa- Bangsa (PBB) António Guterres dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Pemimpin COP30.  “Ini bukan sekadar tentang suhu. Ini tentang kelangsungan hidup manusia, hutan dan masa depan,” kata mantan Perdana Menteri Portugas ini.

Dalam KTT Pemimpin COP30, Guterres mengakui kegagalan negara-negara dalam menjaga komitmen kenaikan suhu global di bawah 1,5° Celsius. Menurutnya, dunia membutuhkan perubahan paradigma untuk membatasi besaran dan durasi lonjakan kenaikan suhu Bumi dan segera menurunkannya.

Dia mendesak komitmen pendanaan iklim sebesar US$ 1,3 triliun per tahun bagi negara-negara berkembang pada 2035 seperti yang telah disepakati di COP29 Baku, Azerbaijan. Menurut Guterres, negara-negara maju harus memimpin dalam penyediaan pendanaan iklim sebesar US$ 300 miliar per tahun. “Semua penyedia harus menunjukkan bahwa mereka akan berkontribusi untuk memenuhi tonggak US$ 300 miliar dan US$ 1,3 triliun. Sudah bukan waktunya lagi untuk negosiasi,” kata Guterres.

Direktur Eksekutif CELIOS Bhima Yudhistira Adhinegara menilai besaran pendanaan iklim terlalu kecil yang menandakan negara-negara maju belum serius membayar utang iklim kepada negara-negara berkembang. Sebaliknya, pada saat yang sama, industri ekstraktif yang merusak hutan justru diberi pendanaan lebih besar. “Bila praktik itu dilanggengkan, negara-negara berkembang seperti Indonesia akan melewatkan kesempatan emas untuk tumbuh secara berkelanjutan,” kata Bhima.

Ia menilai Indonesia selayaknya menuntut negara maju membayar utang iklim mereka selagi mendorong sumber pendanaan domestik bertransisi ke ekonomi restoratif. Katanya, kebijakan APBN dan bank domestik belum mempertimbangkan pentingnya transisi dari ekstraktif ke ekonomi restoratif, yang menciptakan Produk Domestik Bruto (PDB) hingga Rp 2.208 triliun dalam 25 tahun mendatang.

Bhima juga meminta pemerintah Indonesia bukan hanya duduk dalam negosiasi COP30 melainkan secara aktif menyuarakan reformasi lembaga keuangan internasional, termasuk Bank Dunia, Asian Development Bank dan New Development Bank agar tak lagi mengucurkan pinjaman ke perusahaan-perusahaan perusak lingkungan.

Inisiatif TFFF, menurut Bhima, bisa menjadi solusi riil yang dapat diadaptasi pemerintah Indonesia. Pendanaan senilai US$ 125 miliar itu mencakup skema results-based payments bagi negara hutan tropis yang menurunkan deforestasi. Sebanyak 20% dari dananya dialokasikan bagi masyarakat adat dan komunitas lokal.

Bukan hanya berdampak positif pada upaya konservasi hutan, Bhima melihat TFFF berpotensi menurunkan emisi karbon signifikan sekaligus menggerakkan ekonomi masyarakat adat penjaga hutan. “Kondisi tersebut hanya dapat terjadi bila terjadi pelibatan masyarakat adat secara bermakna, bukan sekadar keputusan elite pemerintah dan mitra internasional,” katanya.

Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan Nadia Hadad menambahkan pemerintah memastikan pendanaan iklim yang diadvokasi secara global benar-benar mengalir sampai komunitas yang menjaga hutan dan ekosistem. ”Bukan hanya melalui proyek besar yang rawan greenwashing,” katanya.

Ikuti perkembangan tentang COP30 di tautan ini

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Redaksi

Topik :

Bagikan

Komentar



Artikel Lain