
DUNIA semakin jauh dari target menghentikan deforestasi pada 2030. Dalam laporan terbaru Forest Declaration Assessment (FDA) 2025, menyebutkan upaya global untuk menghentikan hilangnya hutan berada 63% di luar jalur atau dua pertiga lebih lambat dari target. Tahun 2024 menjadi catatan suram: 8,1 juta hektare hutan hilang secara permanen—setara setengah luas Inggris. Angka ini 3,1 juta hektare lebih tinggi dari batas maksimum yang masih dianggap sejalan dengan target nol deforestasi 2030.
Laporan ini menjadi peringatan keras menjelang pertemuan iklim dunia COP30 di Belem, Brasil, di mana hutan tropis akan menjadi topik utama pembahasan. “Setiap tahun, kesenjangan antara komitmen dan realitas makin lebar. Hutan adalah infrastruktur dasar bagi keberlangsungan hidup manusia. Kegagalan melindungi mereka berarti mempertaruhkan masa depan ekonomi dan iklim dunia,” ujar Erin Matson, penulis utama laporan FDA 2025.
Laporan ini disusun oleh koalisi organisasi masyarakat sipil dan lembaga riset yang menilai sejauh mana negara, perusahaan, dan investor menepati janji menghapus deforestasi dan memulihkan 350 juta hektare lahan terdegradasi pada 2030. Penilaian dilakukan dengan membandingkan tingkat kehilangan hutan terhadap baseline 2018–2020 serta menelusuri implementasi Deklarasi Glasgow (2021) dan Kerangka Keanekaragaman Hayati Kunming–Montreal (2022).
FDA mencatat bahwa 6,73 juta hektare hutan tropis hilang sepanjang 2024, sebagian besar akibat kebakaran besar di Amerika Latin, Asia, Afrika, dan Oseania. Kerugian ini melepaskan 3,1 miliar ton gas rumah kaca—setara 150% emisi tahunan sektor energi Amerika Serikat. Jika tren ini berlanjut, dunia diperkirakan akan gagal mencapai target perlindungan hutan karbon tinggi hingga 190% dari jalur yang seharusnya.
Degradasi hutan—kerusakan akibat kebakaran, pembalakan, atau pembukaan jalan—juga meningkat tajam, mencapai 8,8 juta hektare. Laju degradasi ini membuat dunia kini 234% melenceng dari target penghentian degradasi hutan. Di kawasan Amazon saja, emisi akibat kebakaran meningkat tujuh kali lipat dibanding dua tahun sebelumnya.
“Degradasi sering kali tidak terlihat karena tidak selalu diikuti hilangnya pohon secara total. Padahal, ini adalah tahap awal menuju deforestasi permanen,” ungkap salah satu peneliti FDA.
Laporan FDA menyoroti akar masalah yang lebih dalam: arus pendanaan global yang masih memihak industri perusak hutan. Setiap tahun, pembiayaan publik internasional untuk perlindungan hutan hanya mencapai USD 5,9 miliar—jauh dari kebutuhan ideal USD 117–299 miliar per tahun. Sebaliknya, subsidi untuk pertanian industri, pertambangan, dan logging yang merusak hutan mencapai USD 409 miliar per tahun. Artinya, dana untuk melindungi hutan hanya 1,4% dari insentif yang mendukung penghancurannya.
“Selama sistem ekonomi global masih memberi hadiah pada perusakan hutan, segala janji iklim hanya akan menjadi ilusi,” tegas laporan itu.
Namun, sejumlah inisiatif baru memberi harapan. Brasil, tuan rumah COP30, tengah mendorong Tropical Forest Forever Facility (TFFF) — mekanisme pendanaan jangka panjang untuk mempermudah investasi swasta di hutan tropis. Selain itu, Forest Finance Roadmap for Action yang diadopsi 34 negara di New York Climate Week juga menargetkan reformasi subsidi dan utang negara agar lebih sejalan dengan tujuan perlindungan hutan.
Indonesia: Dari Sukses Menjadi Alarm Baru
Dalam konteks Indonesia, laporan FDA menjadi cermin yang tajam. Setelah mencatat penurunan deforestasi signifikan pada 2017–2021 berkat moratorium sawit dan pengendalian kebakaran, tren kehilangan hutan kembali meningkat dalam tiga tahun terakhir.
“Kebijakan seperti Food and Energy Sovereignty Plan dan pelonggaran izin tambang menunjukkan arah berlawanan dengan komitmen hijau yang sering digaungkan pemerintah,” kata Hilman Afif, Juru Kampanye Yayasan Auriga Nusantara.
Indonesia pernah dipuji karena menurunkan deforestasi hingga 75% dibanding puncaknya pada 2015. Namun, capaian itu kini tergerus oleh kebijakan yang memberi ruang baru bagi pembukaan hutan. Contohnya, pembukaan 481 ribu hektare hutan di Merauke untuk proyek pangan dan energi menunjukkan bahwa ancaman terhadap hutan kini bukan lagi kelalaian, melainkan pilihan politik yang sadar.
Sementara itu, sektor pertanian permanen masih menyumbang 86% deforestasi global, sejalan dengan realitas di Indonesia di mana ekspansi sawit, kayu, dan hutan tanaman energi terus bergerak ke wilayah hutan alam. Di Gorontalo, misalnya, proyek hutan energi berkembang pesat karena dorongan pasar biomassa global. Ironisnya, ekspor biomassa dari Indonesia ke Jepang melonjak tajam antara 2021–2024, menunjukkan bahwa “energi hijau” di satu negara dapat dibangun di atas kerusakan ekologis negara lain.
Di sisi lain, ambisi tambang nikel yang disebut mendukung transisi energi dunia juga menimbulkan luka baru, terutama di kawasan timur Indonesia. “Transisi energi global gagal memutus ketergantungan terhadap praktik ekstraktif,” lanjut Hilman.
Keadilan Lingkungan dan Komitmen Hijau
Penegakan hukum yang timpang memperburuk krisis keadilan lingkungan. Petani kecil dan masyarakat adat lebih sering menjadi sasaran hukuman dibanding korporasi besar pelaku deforestasi. “Banyak komunitas yang mempertahankan hutan justru dikriminalisasi,” kata Timer Manurung, Ketua Yayasan Auriga Nusantara.
Menurutnya, deforestasi bukan semata akibat lemahnya tata kelola, tetapi hasil dari sistem ekonomi dan politik yang menempatkan hutan sebagai korban permanen ambisi global dan domestik. Negara-negara importir menuntut komoditas bebas deforestasi, namun menutup mata terhadap jejak kerusakan di negara produsen.
Indonesia kini berada di persimpangan sejarah: antara mempertahankan citra hijau di panggung internasional atau menegakkan perlindungan nyata bagi hutan dan masyarakat adat yang bergantung padanya. Dunia pun perlu bercermin—komitmen hijau yang dibangun di atas abu hutan tropis bukanlah solusi, melainkan pengkhianatan terhadap masa depan bumi.
Ikuti percakapan tentang deforestasi di tautan ini
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.

Redaksi
Topik :