Untuk bumi yang lestari

Kabar Baru| 28 Oktober 2025

Gen Z Menagih Tanggung Jawab Iklim

Kesadaran publik terhadap pentingnya perlindungan ekosistem dan keadilan lingkungan meningkat signifikan. Terutama di kalangan gen Z.

Aksi Draw The Line di Jakarta

ORANG muda hari ini tumbuh dalam dunia yang lebih panas, lebih polusi, dan lebih tidak pasti. Mereka sadar, mereka tidak lagi hidup pada masa ketika perubahan iklim hanya menjadi topik seminar atau perdebatan akademik. Bagi orang muda, krisis itu sudah hadir dan dirasakan: musim yang datang tidak menentu, banjir merendam kota, badai dan turbulensi, pun kebakaran hutan yang melahap paru-paru bumi.

Pada momentum Hari Sumpah Pemuda tahun ini, suara keresahan mereka bergema lebih lantang. Dalam Diskusi Dua-Mingguan Nexus Tiga Krisis Planet bertajuk “Gen Z Menagih Tanggung Jawab Iklim” (28/10), dua aktivis muda — Febriani Nainggolan, Campaign & Communication Staff Climate Rangers, dan Dian Irawati, Co-Founder Kawula17 — memaparkan hasil riset terbaru yang menyoroti meningkatnya kesadaran sekaligus kekecewaan Gen Z terhadap penanganan krisis iklim di Indonesia.

Riset Climate Rangers terhadap 382 responden Gen Z di Jakarta menunjukkan sebagian besar anak muda telah memahami bahwa apa yang mereka alami — cuaca ekstrem, banjir, polusi, hingga kekeringan — adalah akibat perubahan iklim. Namun, 95,5 persen di antaranya masih memandang krisis ini sebatas fenomena cuaca ekstrem, belum memahami kompleksitas dampaknya terhadap kesehatan fisik dan mental, ketahanan pangan, hingga infrastruktur.

“Anak yang lahir tahun 2020 akan mengalami dampak krisis iklim jauh lebih parah dibandingkan generasi kakeknya — tujuh kali lebih sering menghadapi gelombang panas, tiga kali lebih sering mengalami kekeringan, dan dua kali lebih sering diterjang banjir besar,” ujar Febriani Nainggolan.

Ia menegaskan, tanggung jawab terbesar dalam mengatasi krisis iklim tetap berada di tangan pemerintah. Namun, 62,4 persen responden menilai pelibatan anak muda oleh pemerintah masih bersifat seremonial — sekadar undangan simbolis tanpa ruang bermakna dalam pengambilan keputusan.

“Orang muda sering hanya dijadikan pajangan di panggung kebijakan. Padahal, kitalah yang paling merasakan dampaknya,” tambah Febri.

Semakin Banyak Gen Z Menjadi Aktivis Lingkungan

Dian Irawati dari lembaga riset Kawula17 juga mengungkapkan hasil riset yang dilakukan oleh lembaganya. Dalam survei publik pada kuartal ketiga 2025 terhadap 404 responden, kata Dian, ada dua isu utama yang disoroti oleh masyarakat, yakni inefisiensi pengelolaan sampah (33%), dan kerusakan lingkungan akibat tambang (32%).

Meningkatnya perhatian terhadap isu-isu ini didorong oleh maraknya publikasi terkait hal-hal yang merusak alam Indonesia, seperti kasus di Raja Ampat yang memicu kampanye #SaveRajaAmpat, serta isu perampasan hutan adat (26%) yang turut mengemuka lewat kampanye #SavePulauPadar. “Tren ini menunjukkan, dalam dua tahun terakhir kesadaran publik semakin kuat terhadap pentingnya perlindungan ekosistem dan keadilan lingkungan di Indonesia,” katanya Dian.

Menurut Dian, survei terpisah terhadap 1.342 responden muda menunjukkan peningkatan signifikan dalam tingkat aktivisme. “Sebanyak 42 persen tergolong participant - naik dari yang sebelumnya hanya spectator - dan 35 persen activist. Artinya, semakin banyak anak muda yang tertarik dan terlibat dalam isu lingkungan, HAM, gender, dan antikorupsi,” jelas Dian.

Namun, Dian menyoroti bahwa anak muda sering dipandang sebagai beban, bukan pihak yang rentan dan harus dilindungi. “Padahal, anak muda adalah kelompok paling rentan terhadap dampak perubahan iklim. Sudah seharusnya mereka dilibatkan sebagai aktor karena ini menyangkut masa depan mereka,” ujarnya. 

Menuntut Kebijakan yang Lebih Ambisius

Febri menambahkan, dunia telah bersepakat dalam Perjanjian Paris untuk menahan kenaikan suhu global di bawah 1,5°C dibandingkan masa pra-industri. Namun, suhu bumi kini sudah naik 1,3°C. Bahkan dalam skenario paling optimistis, kenaikan bisa mencapai 1,9°C — melewati ambang batas aman.

“Kebijakan iklim Indonesia masih belum cukup ambisius. Emisi tetap meningkat, bahkan dengan bantuan sektor kehutanan,” tegas Febri. Melalui jaringan Climate Rangers di 32 provinsi, generasi muda Indonesia menyampaikan sejumlah tuntutan untuk mengatasi krisis iklim.

Untuk dunia, mereka menyerukan:

  • Kebijakan iklim yang adil dan ambisius
  • Transisi berkeadilan dan keadilan finansial
  • Pertanggungjawaban historis atas emisi masa lalu
  • Partisipasi bermakna orang muda

Sedangkan untuk Pemerintah Indonesia, tuntutannya meliputi:

  • Pengesahan kebijakan berkeadilan iklim
  • Penghentian solusi palsu yang merusak
  • Percepatan transisi energi berkeadilan
  • Pendanaan untuk solusi rakyat
  • Kebijakan yang berpihak pada keadilan lingkungan

Generasi Z tidak hanya menagih janji, tetapi juga menawarkan harapan. Mereka tumbuh dengan kesadaran bahwa masa depan bumi bergantung pada tindakan hari ini — bukan besok, bukan nanti. Dan pada hari Sumpah Pemuda, sumpah mereka jelas: menjaga bumi adalah bagian dari mencintai Indonesia.

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Redaksi

Topik :

Bagikan

Komentar



Artikel Lain