Untuk bumi yang lestari

Kabar Baru| 11 Desember 2025

Masyarakat Pedalaman Tertekan Gaya Hidup Modern

Sebanyak 90% masyarakat adat hidup dalam tekanan gaya hidup modern. Persentuhan dengan dunia luar.

Hidup masyarakat adat sangat bergantung pada hutan dan alam di sekitarnya (foto: unsplash.com/Azzedine Rouichi)

DI Hutan Amazon, hidup sebuah suku yang tak terjamah dunia luar. Mereka adalah suku adat Matis. Selama ratusan tahun, mereka hidup damai di dalam hutan Amazon. Suatu ketika, hidup seorang perempuan suku Matis hancur ketika anak, suami, dan keluarganya hilang akibat sebuah penyakit.

Penyakit itu datang sejak sekelompok penebang dan penambang liar masuk dan menginterupsi kehidupan masyarakat Matis pada 1970-an. Bersama dengan kedatangan mereka penyakit dunia modern yang tak pernah ditemui suku Matis juga datang . Dalam waktu singkat, penyakit dunia luar menjadi wabah mematikan bagi suku Matis dan membuat keberadaan mereka ada di ujung tanduk.

Suku Matis bukan satu-satunya suku pedalaman yang hidupnya berubah 180 derajat sejak kontak dengan dunia luar. Dalam laporan Uncontacted Peoples: at the Edge of Survival, lembaga swadaya Survival International menjelaskan bahwa 90% masyarakat adat pedalaman yang belum terjamah dunia luar terancam oleh kehidupan modern.

Masyarakat adat yang belum terjamah adalah mereka yang menolak kontak dengan orang luar. Hingga kini diperkirakan ada 196 masyarakat adat yang belum terjamah. Sebanyak 188 kelompok tinggal di Amerika Selatan, 2 kelompok di India, 4 kelompok di Indonesia, dan 2 kelompok di Papua.

Tanpa bergantung pada dunia luar, mereka hidup dan berkembang secara mandiri. Sebagian besar hidup mereka nomaden, berpindah di wilayah mereka sesuai kebutuhan. Mereka berburu, mengumpulkan hasil hutan, memancing, dan kadang menanam. Mereka mewarisi pengetahuan turun-temurun yang membuat mereka dapat bertahan hidup. Tanpa kehadiran masyarakat luar, mereka sudah hidup sehat dan sejahtera.

Sebanyak 90% terancam oleh industri ekstraktif, penebangan, pertambangan, pengeboran minyak dan gas, dan agribisnis. Beberapa di antara mereka diteror oleh geng kriminal, seperti pengedar narkoba.

Laporan tersebut memperkirakan, tanpa tindakan tegas dari pemerintah dan perusahaan, hampir setengah dari kelompok adat tersebut dapat musnah dalam waktu 10 tahun.

Di satu sisi, prediksi tersebut dianggap terlalu ekstrem dan pesimistik. Tapi satu sisi, ancaman terhadap masyarakat adat tak terjamah jelas di depan mata. Mereka rentan terhadap pelanggaran hak asasi manusia dan pengambilan paksa ‘rumah’ mereka.

Salah satunya adalah masyarakat Hongana Manyawa yang hidup di Pulau Halmahera, Indonesia. Sejak pertambangan nikel masuk, hutan hujan tempat tinggal mereka hancur. Air yang mengalir menjadi keruh. Hutan hujan yang mereka jaga dan jadi sumber kehidupan selama ribuan tahun telah tergerus.

Nasib serupa dialami oleh masyarakat adat Shompen, yang mendiami hutan hujan di Pulau Nicobar Besar, India. Pemerintah India hendak mengubah pulau itu dengan program infrastruktur yang luar biasa, mulai dari pelabuhan megah, kota, kawasan industri, hingga bandara internasional.

Jika proyek ini dilanjutkan, laporan itu menyebut akan jadi "pemusnahan budaya" masyarakat Shompen. Hutan hujan mereka akan dihancurkan. Mereka akan diusir dari tempat yang selama 10.000 tahun telah mereka tempati.

Di Amerika Selatan, masyarakat adat Nukak dari Kolombia didatangi oleh misionaris, pemukim, dan kelompok bersenjata pada akhir 1980-an. Mereka yang awalnya hidup damai, kini berubah total. Para pendatang membawa penyakit yang tak diketahui oleh masyarakat Nukak. Banyak dari mereka jatuh sakit dan meninggal akibat serangan penyakit dan kekerasan dari pendatang.

Di Peru, masyarakat adat Shocorua mengalami hal sama. Semenjak datangnya perusahaan eksplorasi minyak, kontak dengan para pendatang luar membuat banyak penduduk Shocorua mengalami batuk, sakit, dan meninggal.

Invasi ilegal oleh penambang liar di akhir 1980 hingga 1990-an, membuat hampir seperempat jiwa penduduk suku Yanomami, yang hidup di Brasil Utara, musnah.

Ikuti percakapan tentang masyarakat adat di tautan ini

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Alumnus Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB

Topik :

Bagikan

Komentar



Artikel Lain