Untuk bumi yang lestari

Kabar Baru| 12 Desember 2025

Plus-Minus Pembangkit Listrik Tenaga Sampah

Banyak manfaat mengubah sampah jadi energi listrik. Banyak juga kendalanya.

Sampah untuk energi pembangkit listrik tenaga sampah

DANANTARA, induk badan usaha milik negara, menggagas megaproyek Waste to Energy (WtE), atau sampah untuk energi. Asesmen Kementerian Lingkungan Hidup menyasar 10 kota besar di Indonesia: Medan, Tangerang, Jakarta, Bekasi, Surabaya, Yogyakarta, Makassar, Bandung, dan Bali. Sampah yang diperlukan sekitar 1.000 ton per hari yang bisa menghasilkan 15 megawatt energi listrik, yang akan mampu memasok 20 ribu rumah tangga.

Pemerintah mengklaim banyak investor yang mau menggarap megaproyek WtE ini, seperti Jerman, Belanda, Singapura, China, Jepang. Dana investasinya Rp 50 triliun, yang akan didapat melalui obligasi Patriot Bond.

Dari sisi pasokan sampah, program WtE cukup menggiurkan. Menurut kajian World Bank (2020) Indonesia berada di urutan ke-5 produsen sampah dengan 65,1 juta ton setahun. Merujuk data Kementerian Lingkungan Hidup satu orang Indonesia menghasilkan sekitar 0,7–1 kilogram sampah per hari. Dari total produksi sampah nasional tersebut 63,3% atau 20,5 juta ton dapat terkelola, sedangkan sisanya 35,67% atau 11,3 juta ton sampah tidak terkelola. 

Denmark, Swiss, Swedia, Prancis memakai sampah sebagai sumber energi listrik. Swedia bahkan mengimpor sampah untuk memasok pembangkit listriknya. Dengan demikian, program WtE cukup menjanjikan.

WtE memberikan manfaat seperti mengurangi ketergantungan pada energi fosil, khususnya batu bara. WtE juga sejalan dengan upaya pemerintah mengurangi emisi karbon, yang artinya sejalan dengan program net-zero emissions 2060.

Namun, biaya investasi sampah untuk energi sangat mahal, sehingga sulit dijangkau pemerintah daerah atau swasta. Oleh sebab itu, kehadiran investor asing menjadi penting mewujudkan WtE, tetapi tetap membuka ruang bagi pemerintah daerah berkontribusi dalam program WtE. Sebab, sampah menjadi urusan pemerintah daerah.

Kesadaran masyarakat pentingnya pengolahan sampah masih rendah, sehingga sulit mengumpulkan sampah secara terpisah dan mengolahnya menjadi energi. Idealnya sampah untuk WtE terpisahkan sejak dari rumah tangga.

Program WtE juga memerlukan dukungan regulasi. Regulasi tentang pengolahan sampah untuk energi masih belum lengkap, sehingga sulit mengimplementasikannya dalam skala besar. Untuk program WtE mendesak bagi pemerintah untuk membuat regulasi yang kokoh dan komprehensif, minimal peraturan presiden, atau bahkan level peraturan pemerintah (PP).

Aspek teknologi juga harus menjadi perhatian serius, sebab Indonesia belum mempunyai teknologi pengolahan sampah, sehingga sulit untuk mengolah sampah menjadi energi secara efektif. Mau tidak mau teknologi pengolahan sampah mesti impor, dari negara yang sudah punya pengalaman menerapkan WtE, seperti Denmark, Swedia, Perancis, Amerika Serikat. 

Keterlibatan masyarakat sangat urgen, baik pada konteks sosial, ekonomi, demi keberlanjutan program WtE. Apalagi secara sosiologis dan ekonomis, saat ini ribuan pemulung justru bergantung pada sampah.

Satu hal yang tak boleh dinegasikan adalah jangan sampai program WtE ini menjadi alasan pembenar, kita tidak mengendalikan produksi dan konsumsinya. Produk air minum dalam kemasan (AMDK), minuman manis dalam kemasan, dan bahkan produk tembakau/rokok. Produksi AMDK meningkat dari tahun ke tahun rata-rata 3-4 persen per tahun.

Lebih mengkhawatirkan adalah produk tembakau/rokok, yang pada 2024 mencapai 317 miliar batang atau sekitar 26,4 juta bungkus. Bungkus rokok itulah yang bisa menjadi material sampah program WtE.

Begitu banyak aspek positif dan kebermanfaatannya, namun juga banyak tantangan dan kendalanya. Sebaliknya, WtE akan menciptakan masalah baru yang lebih kompleks, baik bagi masyarakat dan atau lingkungan. Program WtE seharusnya fokus kebermanfaatan dari sisi ekologis, bukan dari sisi yang lain.

Ikuti percakapan tentang PLTSa di tautan ini

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Pegiat perlindungan konsumen dan lingkungan hidup, anggota Asosiasi Pengamat Energi Indonesia (APEI), pendiri dan pengurus Komisi Nasional Pengendalian Tembakau, dan Ketua Pengurus Harian YLKI, 2015-2025

Topik :

Bagikan

Komentar



Artikel Lain