
SALAH satu tempat umum yang banyak dikunjungi adalah masjid. Kendati Indonesia bukan negara berasaskan Islam, jumlah masjid di Indonesia sebanyak 741-800 ribuan. Jumlah masjid di Indonesia mengalahkan India, Bangladesh, Pakistan, Turki, Iran, bahkan Arab Saudi yang hanya hanya 98 ribuan. Tidak kurang dari 250 ribuan masjid di Indonesia berupa masjid jami (masjid besar), yang mampu menampung 500 orang.
Di era perubahan iklim global, masjid seharusnya bukan hanya megah, besar dan indah saja. Kementerian Agama (sejak 2017), Majelis Ulama Indonesia (MUI), organisasi Islam besar seperti Muhammadiyah dan NU sudah mengusung isu “masjid hijau”. Namun eco-masjid masih menjadi pinggiran dan sektoral.
Sebuah data mengatakan saat ini di Indonesia sudah terdapat 206 masjid yang berstatus eco-masjid. Data ini, jika benar, sangat kecil, kalah dengan jumlah masjid di Maroko yang telah mempunyai 890 eco-masjid.
Dalam tataran empirik, setidaknya terdapat beberapa parameter utama masjid yang berbasis eco-masjid atau masjid yang dimaknai ramah lingkungan, yaitu:
Pertama, penghematan pemakaian energi listrik. Upaya ini bisa dilakukan dengan perbaikan infrastruktur pendukung, misalnya penggantian jenis bohlam lampu, yang saat ini lazim menggunakan lampu jenis LED. Atau melakukan penghematan dari sisi penggunaan pendingin udara (AC), atau pun kipas angin.
Namun langkah yang paling maju adalah menggunakan energi listrik berbasis sinar matahari (panel surya). Penggunaan panel surya untuk energi listrik di masjid bukan hanya untuk tujuan menghemat tagihan listriknya, tetapi menjadikan sumber energi listrik di masjid berbasis sumber energi primer yang baru dan terbarukan (EBT).
Contohnya. Sistem PLTS atap di Masjid Istiqlal terdiri dari 504 unit modul surya dengan jumlah kapasitas mencapai sekitar 150 kWp. Total kapasitas ini menghasilkan pengurangan emisi karbon sebesar 119 ton per tahun. Angka ini sangat signifikan, setara dengan oksigen yang dihasilkan oleh 414 pohon dalam setahun. Dan mampu menghemat pemakaian tagihan listrik hingga 30 persenan per bulannya.
Berkelindan dengan hal itu, adalah desain masjid yang lebih ramah terhadap sinar matahari, sehingga sinar matahari bisa masuk secara optimal ke dalam ruangan masjid. Sehingga masjid lebih terang, sehat, dan tak perlu banyak lampu (energi listrik) untuk menerangi masjid.
Kedua, konsumsi air, khususnya untuk wudhu, dan bahkan mandi, cuci, kakus (MCK). Di masjid konsumsi air untuk berwudhu signifikan, khususnya menjelang salat. Sebuah penelitian di masjid kampus UNS di Solo, rerata konsumsi air menjelang salat wajib sebanyak 1.872 liter. Fenomena ini harus ada upaya mitigasi, misalnya dengan kran air yang menggunakan sistem sensor otomatis.
Agak mahal memang harganya, hanya masjid besar atau musala di mal, yang bisa menggunakannya. Selain itu, yang urgen adalah mendaur ulang penggunaan air wudu, untuk keperluan lain, misalnya untuk menyiram toilet, atau pun penyiraman tanaman. Beberapa masjid sudah melakukan hal ini, misalnya masjid At-Tanwir di area PP Muhammadiyah, Menteng, Jakpus.
Untuk mendukung hal ini, seharusnya area masjid terdapat ruang terbuka hijau, untuk resapan air, atau juga banyak pepohonan untuk memproduksi oksigen. Sayangnya sangat jarang masjid yang melakukan hal ini.
Ketiga, menjadikan masjid yang ramah terhadap kelompok masyarakat/jemaah yang berkebutuhan khusus; seperti kelompok difabel, orang tua, orang sakit, pengguna kursi roda, bahkan ibu hamil. Masih sangat jarang masjid yang mengakomodasi infrastruktur pendukung seperti ini, mayoritas masih menggunakan undak-undakan, bahkan cukup curam.
Tentu hal ini sangat menyulitkan kelompok masyarakat yang berkebutuhan khusus tersebut. Sekelas masjid Agung Al-Azhar di bilangan Blok M, Jakarta Selatan; pun tidak ada akses untuk kelompok jemaah yang berkebutuhan khusus. Padahal untuk menaiki ke ruang utama masjid (lantai 2), terdapat lebih dari 20 undak-undakan (terasering).
Keempat, menjadikan masjid sebagai area kawasan tanpa rokok (KTR). Merujuk pada UU dan PP tentang Kesehatan, masjid sebagai tempat ibadah adalah area wajib KTR. Jadi tak boleh merokok di area masjid, sekalipun di teras masjid, atau bahkan di area parkir masjid.
Masjid sebagai tempat ibadah posisinya sama dengan tempat fasilitas kesehatan dan pendidikan, yakni sebagai area KTR yang sifatnya mutlak. Artinya dilarang merokok di area atau kawasan masjid, atau pun tempat ibadah yang lainnya. Apalagi dari perspektif norma Islam, di seluruh dunia—termasuk di Indonesia, sudah banyak ulama dan ormas Islam yang mengharamkan rokok/merokok.
Kelima, pengelolaan limbah sampah masjid. Sampah ini harus dikelola, agar bukan hanya menjadi sampah belaka, tetapi bisa bernilai ekonomi dan mendulang kemanfaatan bagi masjid, masyarakat sekitar masjid. Sebagian managemen masjid sudah melakukan hal ini, bahkan dengan pola sedekah sampah.
Dan keenam, ruang terbuka hijau di sekitar masjid. Area resapan dan pepohonan di sekitar masjid sangat penting, tersebab sebagai salah satu tempat umum, masjid banyak menggunakan air bersih, khususnya untuk berwudu.
Tantangan dan Kendala Masjid Hijau
Sungguh tak mudah mewujudkan masjid yang berkelanjutan atau masjid ramah lingkungan (eco-masjid). Banyak tantangan dan juga kendala, baik dari sisi regulasi, infrastruktur, kultur, dan juga sumber daya manusia.
Kendala infrastruktur menjadi salah satu penyebab lambatnya mewujudkan masjid berkelanjutan, misalnya untuk memasang instalasi panel surya, setidaknya diperlukan biaya yang lumayan besar, sekitar Rp 15 juta.
Gerakan masjid ramah lingkungan seharusnya menjadi gerakan yang masif, baik dilevel masyarakat sipil (pengelola masjid) maupun di level regulator. Mewujudkan masjid ramah lingkungan, berkelindan dengan upaya “gerakan Islam hijau” di Indonesia. Namun, spirit untuk mewujudkan gerakan Islam hijau (Islamic green movement) terkendala oleh paradigma masyarakat muslim itu sendiri.
Survei Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada 2024, lebih dari 50% responden menolak konsep gerakan Islam hijau, seperti pembatasan air wudu, penggunaan air wudu daur ulang, atau penggunaan zakat untuk mitigasi iklim.
Spirit masjid yang ramah lingkungan sejatinya sangat jelas. Sebuah hadis menyebutkan “hematlah menggunakan air, sekalipun kalian berwudu di tepi sungai”. Bersedekah pun tidak harus dengan harta/uang; bisa dengan menanam pohon. Jadi masjid hijau seharusnya tak terpisahkan dalam prosesi peribadatan umat muslim.
Ikuti percakapan tentang masjid hijau di tautan ini
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.

Pegiat perlindungan konsumen dan lingkungan hidup, anggota Asosiasi Pengamat Energi Indonesia (APEI), pendiri dan pengurus Komisi Nasional Pengendalian Tembakau, dan Ketua Pengurus Harian YLKI, 2015-2025
Topik :