Untuk bumi yang lestari

Kabar Baru| 09 Juni 2025

Tujuh Dimensi Ibadah Kurban

Ada tujuh dimensi dalam ibadah kurban. Dari lingkungan sampai kesejahteraan hewan.

Dimensi ibadah kurban Idul Adha

UMAT muslim baru saja merayakan Idul Adha yang ditandai dengan berkurban hewan ternak, terutama sapi atau kambing. Idul Qurban adalah peringatan pengorbanan Nabi Ibrahim yang hendak menyembelih anaknya, Ismail, untuk menjalankan perintah Tuhan. Ismail lalu digantikan oleh seekor domba. Idul Adha bertepatan dengan ibadah haji di Mekkah.

Dimensi menyembelih hewan kurban cukup luas, bukan spiritual dan religiositas saja, juga dimensi ekonomi, sosial, kesehatan manusia, dan lingkungan. Bahkan dimensi perlindungan hak-hak satwa, ada juga dimensi kesejahteraan binatang (animal welfare).

Pada batas tertentu daging kurban bisa menjadi instrumen menekan tingginya prevalensi tengkes di Indonesia, yang masih di angka 19,78%. Tingginya prevalensi stunting salah satu pemicu utamanya adalah minimnya masyarakat, khususnya anak-anak, mengonsumsi asupan protein, khususnya protein hewani.

Berikut ini beberapa dimensi kurban, selain urusan syariah atau menjalankan ajaran agama.

Pertama, aspek kesejahteraan binatang. Hal ini harus diwujudkan sejak prapenyembelihan, misalnya saat hewan kurban diangkut dari suatu daerah ke daerah tujuan. Selama dalam perjalanan, hewan kurban seharusnya tidak boleh diangkut secara terbuka, terlindung dari panas terik matahari dan hujan. Bahkan di negara maju, binatang ternak dan juga ayam, yang diangkut menempuh perjalanan jauh, harus dilepas dahulu di suatu kandang, atau area terbuka. Tujuannya agar binatang ternak itu bisa relaksasi dan tidak stres.

Sapi impor dari Australia, yang terkenal dengan isu animal welfare itu, justru tidak layak untuk hewan kurban. Sebab sapi Australia sudah dipatahkan tanduknya dan dikebiri untuk mendukung kepentingan penggemukan. Padahal mematahkan tanduk sapi dan mengebirinya adalah tindakan yang bertentangan terhadap kesejahteraan hewan karena dianggap penyiksaan.

Kedua, saat hewan kurban disembelih, selain berdimensi syariat, juga harus memenuhi kaidah kesejahteraan binatang, perlindungan anak, dan juga lingkungan. Terkait syariat, misalnya, harus menajamkan alat untuk menyembelih (pisau, golok, parang). Tujuannya untuk mengurangi rasa sakit hewan kurban saat disembelih.

Juru sembelih pun bukan orang sembarangan, tapi harus berstatus “juleha”, alias juru sembelih halal. Sertifikat juleha penting untuk menakar 13 kompetensi, yakni: melakukan ibadah wajib, menerapkan syariat Islam, menerapkan kesehatan dan keselamatan kerja, melakukan komunikasi efektif, mengkoordinasikan pekerjaan, menerapkan higiene sanitasi, dan menerapkan prinsip kesejahteraan hewan, menyiapkan peralatan penyembelihan, melakukan pemeriksaan fisik hewan, menetapkan kesiapan hewan untuk disembelih, menerapkan teknik penyembelihan hewan, memeriksa kelayakan proses penyembelihan, serta menetapkan status kematian hewan.

Ketiga, saat akan disembelih hewan kurban harus dijauhkan dari anak-anak yang masih di bawah umur. Tujuannya agar tidak menimbulkan efek sadisme dan rasa takut kepada mereka.

Keempat, yang tak boleh dilupakan, saat penyembelihan dan setelahnya, hewan kurban harus dijauhkan dari hewan lain yang masih hidup. Hewan kurban yang menyaksikan temannya disembelih akan stres yang bisa melawan secara fisik. Daging hewan yang stres, menurut sebuah penelitian, tidak sehat bagi kesehatan manusia yang mengonsumsinya.

Penyembelihan hewan kurban paling baik sejatinya di rumah potong hewan (RPH). RPH menjadi tempat paling aman karena limbahnya tidak dibuang sembarangan, tidak disaksikan anak-anak, dan dilakukan oleh profesional. Namun, karena Idul Kurban menjadi momen yang sakral dan religius, penyembelihan hewan kurban di RPH dianggap kurang baik, karena tidak ada sisi “syiar Islam”. 

Kelima, setelah penyembelihan dan saat mengolah menjadi daging, limbah kotoran tidak boleh dibuang sembarangan. Bukan hanya mencemari, kotoran tersebut akan mendistribusikan potensi penyakit lain (bakteri, virus), yang akan menular pada binatang ternak lain, biota air seperti ikan, dan atau bahkan menular pada manusia. Jadi limbah hewan yang disembelih, seperti darah, feses, sebaiknya dipendam di dalam tanah, bisa menjadi pupuk organik. 

Keenam, saat hewan kurban diproses menjadi daging kurban yang akan dibagikan, sebaiknya petugas tidak sambil merokok. Sebab asap rokok bukan hanya akan mengganggu petugas lain yang tidak merokok, juga mengkontaminasi daging kurban. Fenomena ini sering disebut third hand smoker.

Ketujuh, daging kurban sebaiknya tidak dikemas dengan plastik. Dari sisi kesehatan dan keamanan pangan, plastik memiliki bahan beracun dan mencemari lingkungan.

Berkurban sejatinya bukan hanya “mandat agama”,  juga spirit kedermawanan sosial, ramah lingkungan, dan memperhatikan kesejahteraan hewan.

Ikuti percakapan tentang ramah lingkungan di tautan ini

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Pegiat perlindungan konsumen dan lingkungan hidup, anggota Asosiasi Pengamat Energi Indonesia (APEI), pendiri dan pengurus Komisi Nasional Pengendalian Tembakau, dan Ketua Pengurus Harian YLKI, 2015-2025

Topik :

Bagikan

Komentar



Artikel Lain