Untuk bumi yang lestari

Kabar Baru| 14 Juni 2025

Pay to Release, Konservasi Hiu dan Pari Berbasis Insentif. Apa Itu?

Program insentif mampu menurunkan tangkapan hiu dan pari. Namun, kematian hiu justru naik.

Pelepasan ikan pari (foto: marinemegafuna.org)

PROGRAM konservasi berbasis insentif, seperti pay-to-release, memainkan peran penting dalam konservasi alam yang efektif dan berkeadilan sosial. Berdasarkan studi yang diterbitkan di Sciences Advances, program tersebut bisa menurunkan tangkapan hiu dan pari yang terancam punah.

Pay-to-release adalah skema konservasi berbasis insentif, dimana nelayan dibayar untuk melepas kembali hewan laut terancam punah yang tak sengaja mereka tangkap. Di Indonesia, program tersebut telah berjalan dan memberi insentif ke sejumlah nelayan skala kecil di Aceh dan di Lombok untuk kembali melepaskan hiu martil (Sphyrna) dan pari (Rhynchobatus) yang tak sengaja tertangkap (bycatch).

Program tersebut berhasil mengurangi tangkapan hiu dan pari di kedua wilayah tersebut. Namun hal itu mendorong beberapa oknum untuk sengaja menangkap hiu dan pari untuk mendapat insentif.

Para peneliti Indonesia, Amerika Serikat, dan Inggris mengevaluasi program konservasi berbasis insentif yang melibatkan 87 kapal nelayan. Sebanyak 50 kapal beroperasi di Lombok Timur dan 37 kapal di Aceh Jaya.

Di Aceh, nelayan ditawari pembayaran sebesar Rp 15 ribu untuk melepas hiu martil kecil, Rp 50 ribu untuk hiu martil besar, dan menerima bayaran tetap sebesar Rp 120 ribu untuk ikan pari. Sementara di Lombok, nelayan dibayar lebih tinggi, Rp 500 ribu per ekor hiu martil dan Rp 2 juta per ikan pari. Perbedaan harga tersebut didasarkan pada harga pasar lokal untuk masing-masing spesies.

Hasilnya pemberian insentif memberi dampak yang sesuai harapan. Sebanyak 71% ikan pari dan 4% hiu martil yang tertangkap berhasil dilepas kembali. Hasil ini diverifikasi melalui rekaman video yang diambil oleh nelayan. Video tersebut menunjukkan ikan yang telah dilepaskan berenang menjauh dengan selamat hingga tak terlihat.

Namun, para peneliti juga menemukan bahwa insentif ini mendorong sebagian nelayan sengaja menangkap hiu dan pari demi memperoleh bayaran yang lebih besar. Walhasil, tingkat kematian ikan pari hanya turun 25% dibanding dengan kelompok kontrol. Sementara kematian hiu martil meningkat 44%.

Kejadian tersebut tak menyiratkan bahwa program pay-to-release tidak berhasil. Kejadian di Lombok dan Aceh memberi wawasan baru dan berharga tentang bagaimana program semacam ini bisa dirancang dan diterapkan dengan lebih efektif dan hati-hati.

Para peneliti mengubah metode pay-to-release dengan kompensasi berbasis ukuran ikan dan membatasi jumlah pelepasan yang dibayarkan per kapal setiap pekan. Mereka menjalankan uji coba pertukaran alat tangkap untuk membantu nelayan tak menangkap ikan tak sengaja untuk spesies terancam. Dengan begitu, peneliti mengurangi kemungkinan ketidaksengajaan menangkap spesies terancam punah demi mendapat bayaran lebih.

Hiu dan pari termasuk dalam spesies laut paling terancam di dunia. Terutama akibat overfishing, baik yang dilakukan sengaja atau yang tak sengaja. Indonesia sendiri merupakan negara dengan jumlah tangkapan hiu dan pari tertinggi di dunia.

Kabupaten Lombok Timur dan Aceh Jaya dikenal sebagai wilayah dengan tingkat tangkapan hiu martil dan pari yang tinggi. Nelayan di wilayah ini menggunakan jaring insang dan rawai, jenis alat tangkap yang tak selektif, dan berbahaya bagi hiu dan pari.

Di kedua lokasi itu, hiu martil dan pari memiliki nilai ekonomi yang penting bagi mata pencaharian masyarakat. Maka program insentif pay-to-release menjadi program yang sesuai: selain menyelamatkan hiu dan pari, konservasi juga perlu berkeadilan dan menjamin keberlanjutan ekonomi masyarakat.

Ikuti percakapan tentang konservasi laut di tautan ini

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Alumnus Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB

Topik :

Bagikan

Komentar



Artikel Lain