
JAGAT media sosial terguncang oleh kerusakan surga Papua, Raja Ampat. Gugusan kepulauan tersebut kini menghadapi ancaman serius, yakni eksploitasi tambang nikel di Pulau Gag dan beberapa pulau lainnya. Kondisi pulau yang sudah luluh lantah akibat praktik pertambangan terbuka, membuat banyak orang bersuara. Secara aturan, pulau kecil tidak boleh ditambang, karena termasuk dalam kategori lindung.
Sebelum Raja Ampat, kondisi mengenaskan sudah terjadi lama di Morowali. Berdasarkan analisis Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) terhadap data Minerba One Map Indonesia (MOMI) dari Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara (Dirjen Minerba) yang diakses pada Juni 2024, ditemukan bahwa terdapat 682 izin tambang di Sulawesi Tengah. Dari jumlah tersebut, 131 merupakan izin untuk mineral logam seperti nikel, emas, dan besi, sementara 527 izin lainnya adalah untuk tambang batuan seperti pasir, batu, dan batu gamping.
Luas total konsesi tambang dari berbagai jenis izin seperti IUP, Kontrak Karya (KK), dan WIUP/Pencadangan mencapai sekitar 500.000 hektare. Jika dibandingkan dengan luas daratan Sulawesi Tengah yang sekitar 4 juta hektare, maka lebih dari 12,5% wilayah daratan provinsi ini telah dicaplok oleh industri ekstraktif. Dari total konsesi tersebut, sebanyak 125 merupakan Izin Usaha Pertambangan (IUP) nikel dengan seluruhnya berada pada tahap Operasi Produksi (IUP OP). Ini menunjukkan masifnya ekspansi industri tambang, khususnya nikel, yang semakin menyempitkan ruang hidup warga dan kawasan ekologis penting.
Sementara yang terbaru di Raja Ampat, merujuk pada catatan Greenpeace Indonesia bahwa di wilayah tersebut, tambang nikel juga mengancam kawasan yang dikenal sebagai surga biodiversitas dunia. Pulau-pulau kecil seperti Gag, Kawe, Manuran, Batang Pele, dan Manyaifun telah menjadi sasaran investasi pertambangan. Analisis Greenpeace menemukan bahwa pembukaan lahan untuk pertambangan di tiga pulau pertama telah menghancurkan lebih dari 500 hektare hutan dan vegetasi alami.
Selain itu, dokumentasi menunjukkan adanya limpasan tanah (runoff) yang menyebabkan sedimentasi di perairan pesisir. Hal ini mengancam ekosistem terumbu karang dan habitat biota laut. Ironisnya, perusakan ini terjadi tidak jauh dari kawasan konservasi dan destinasi wisata dunia seperti Piaynemo.
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) akhirnya menghentikan sementara aktivitas PT Gag Nikel di Pulau Gag. Namun, tindakan ini tampak reaktif dan bersifat sementara. PT Gag Nikel memegang kontrak karya sejak 1998 dan mulai berproduksi secara penuh sejak 2018, setelah sahamnya sepenuhnya dikuasai oleh PT Aneka Tambang (Antam).
Berdasarkan data dari Kementerian ESDM, luas izin tambang PT Gag Nikel mencapai 13.136 hektare. Ini artinya, hampir seluruh Pulau Gag telah dikapling untuk tambang, padahal pulau ini hanya memiliki luas sekitar 6.060 hektare. Ketidaksesuaian ini memperlihatkan bagaimana regulasi perizinan tambang sering kali tidak berpijak pada realitas ekologis dan sosial wilayah setempat.
Pertambangan dan pemrosesan mineral seperti nikel memberikan kontribusi signifikan terhadap perubahan iklim. Sebuah studi berjudul "The global environmental costs of mining and processing abiotic raw materials and their geographic distribution" oleh Arendt dkk (2022) menyatakan bahwa emisi dari industri ekstraktif menyebabkan kerusakan lingkungan senilai hingga US$ 3 triliun (setara £ 2,5 triliun) per tahun di seluruh dunia. Kerusakan ini sebagian besar disebabkan oleh gas rumah kaca, partikulat, dan pengasaman lingkungan, terutama dari sektor batu bara dan baja.
PBB menyebut mineral sebagai salah satu "anugerah terbesar" bumi yang memainkan peran dominan dalam ekonomi banyak negara. Namun, harga ekologis dan sosial dari eksploitasi ini sangat mahal. Meskipun mineral seperti nikel, litium, dan kobalt dibutuhkan untuk energi terbarukan dan baterai kendaraan listrik, dampak ekologisnya tetap tinggi.
Studi oleh Mervine dkk. (2025), "Biomass carbon emissions from nickel mining have significant implications for climate action", menunjukkan bahwa pembukaan hutan untuk tambang nikel, khususnya di kawasan tropis, menyebabkan pelepasan karbon dari biomassa dalam jumlah besar. Emisi ini bisa mencapai 12,7 ton CO₂e per ton nikel di tambang sulfida dan 6,91 ton setara CO₂ per ton di tambang laterit.
Sementara itu, proses pemurnian nikel sangat intensif energi. Wei dkk. (2020) dalam "Energy Consumption and Greenhouse Gas Emissions of Nickel Products" menemukan bahwa pemrosesan nikel laterit memerlukan hingga 369 giga joule per ton nikel oksida, menghasilkan emisi hingga 40 ton setara CO₂ per ton produk. Hal ini diperparah oleh penggunaan energi fosil, terutama batu bara, dalam proses smelting di banyak tambang nikel di Indonesia.
Satyawan dkk. (2023) dalam studi "Nickel mining in Obi Island: problem or solution for mitigating climate change effects?" menggarisbawahi bahwa konversi lahan untuk tambang nikel di wilayah seperti Pulau Obi menyebabkan degradasi ekologis dan hilangnya keanekaragaman hayati. Ini menunjukkan bahwa tambang nikel tidak hanya menimbulkan krisis iklim melalui emisi langsung, tetapi juga melalui dampak ekosistemik.
Kerusakan akibat tambang nikel seperti yang dilaporkan oleh AEER, JATAM dan WALHI, bahwa tambang nikel mempercepat kehilangan tutupan hutan dan biodiversitas tropis, akibat pembukaan lahan skala besar. Lalu, terdapat pencemaran udara dan air, melalui emisi SO₂, NOₓ, serta limbah cair yang mencemari sumber air warga.
Secara sosial ekonomi, tambang nikel mendorong adanya penurunan produktivitas pertanian dan ketahanan pangan, akibat kontaminasi logam berat di tanah. Lalu, pada konteks sosial, keberadaan tambang telah mendorong adanya konflik sosial dan dislokasi masyarakat adat, karena pengambilalihan lahan tanpa partisipasi warga, ditambah dengan adanya kerusakan lanskap budaya dan hilangnya pengetahuan lokal.
Sebagai contoh nyata dampak langsung dari aktivitas tambang nikel adalah yang terjadi di Kecamatan Bunta, Kabupaten Banggai, tempat beroperasinya PT Koninis Fajar Mineral.
Perusahaan ini memiliki konsesi seluas 2.738 hektare dan mulai berproduksi pada 2020. Pada Juni 2022, banjir bandang melanda Desa Pongian, yang menyebabkan Sungai Pongian tercemar lumpur dari area tambang. Akibatnya, warga kehilangan akses terhadap air bersih.
Sungai yang sebelumnya menjadi sumber air minum, mandi, mencuci, dan kebutuhan domestik lainnya kini tak lagi dapat digunakan. Bahkan ternak seperti sapi enggan meminum air dari sungai yang tercemar. Perubahan ini menambah beban warga yang harus mencari sumber air alternatif, padahal sebelumnya air bersih dapat diakses dengan mudah di sekitar rumah mereka.
Peristiwa seperti ini bukanlah kejadian luar biasa, melainkan pola umum di wilayah-wilayah ekstraksi sumber daya alam. Karakteristik industri pertambangan yang eksploitatif dan masif membuat kerusakan lingkungan menjadi keniscayaan, tidak peduli seberapa baik teknologi atau mitigasi yang dijanjikan perusahaan.
Melihat kompleksitas dan kedalaman dampak yang ditimbulkan, sudah saatnya pemerintah dan masyarakat mempertanyakan narasi transisi energi yang bertumpu pada ekspansi tambang nikel.
Sebuah transisi energi yang adil seharusnya tidak mengorbankan ekosistem, masyarakat adat, dan hak dasar atas lingkungan hidup yang sehat.
Transparansi pelaporan emisi, penegakan hukum lingkungan yang kuat, dan penghormatan terhadap hak masyarakat lokal harus menjadi syarat utama dalam pengelolaan tambang nikel.
Tapi itu semua tidak ada. Sehingga mimpi transisi energi bersih yang diklaim bebas emisi dalam realitasnya, justru ditopang oleh jejak karbon dan ketidakadilan yang besar di daerah-daerah produsen seperti Sulawesi dan Papua.
Saya meyakini bahwa masa depan yang berkelanjutan hanya dapat dibangun jika kita tidak menukar satu bentuk krisis (fosil) dengan bentuk krisis lainnya (ekstraksi hijau). Kita perlu keberanian untuk merevisi arah pembangunan dan menempatkan keadilan ekologis sebagai fondasi utama transisi energi.
Ikuti percakapan tentang krisis iklim di tautan ini
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.

Direktur Eksekutif Walhi Jawa Timur
Topik :