Untuk bumi yang lestari

Surat dari Darmaga| 08 Agustus 2021

Dampak Suhu Panas Terhadap Keragaman Hayati

Suhu panas ekstrem melanda belahan bumi yang dingin. Ancaman nyata terhadap satwa liar dan keragaman hayati.

Kematian burung merupakan tragedi ekologi (Foto: Dok. Forest Digest)

BUMI semakin panas. Bahkan di tempat-tempat terdingin di dunia suhu mencapai titik-titik yang ekstrem. Kenaikan suhu adalah salah satu ancaman terbesar bagi keragaman hayati. Apa dampak suhu panas ini terhadap satwa liar

Pada 1971-2019, rata-rata suhu udara permukaan di Arktik Kutub Utara meningkat sampai 3,10 Celsius, tiga kali lebih cepat dibandingkan rata-rata global. Berbagai negara termasuk Kanada, belakangan ini mengalami panas ekstrem yang menelan korban manusia maupun hutan dan keragaman hayati di dalamnya.

Warga Kota Ottawa melawan panas dengan tinggal dalam rumah atau beraktivitas di dalam gedung-gedung yang memiliki fasilitas pendingin ruangan. Jika manusia bisa ngadem, bagaimana dengan satwa liar?

Beberapa penelitian menunjukkan ancaman suhu panas terhadap satwa liar adalah menggerus ketersediaan air. Studi terhadap burung-burung di gurun Mojave di Amerika Serikat menunjukkan bahwa penurunan spesies burung secara positif terkait dengan naiknya kebutuhan air akibat iklim panas.

Semakin besar ukuran tubuh burung, semakin merana mereka karena butuh air lebih banyak. Jika cuaca semakin parah kekurangan air akan membunuh mereka. Akibatnya ekosistem akan tak seimbang.

Dampak serangan panas bukan ancaman lagi, namun sudah terjadi. Hampir sepertiga dari 135 spesies burung yang ada seabad lalu sulit kita temukan saat ini dan mereka mengelompok di satu lokasi.

Burung gurun membutuhkan lebih banyak air untuk menjaga suhu tubuhnya tetap dingin. Dengan bumi semakin panas, air di gurun tidak selalu cukup tersedia sehingga mereka akan mati pelan-pelan sebelum bermigrasi.

Tidak hanya di gurun, di habitat yang penuh air pun serangan panas menjadi ancaman serius. Studi dalam Nature menunjukkan bahwa gelombang panas laut (marine heatwaves) berdampak parah pada ekosistem laut dalam tahun-tahun terakhir ini.

Sejumlah penelitian mencatat bahwa gelombang panas tidak hanya mengakibatkan dampak ekologi, juga dampak ekonomi yang substansial. Termasuk di antaranya adalah musnahnya hutan rumput laut (kelp forest) yang menjadi sumber pangan berbagai biota laut.

Karang akan jadi putih. Pemutihan karang menyebabkan penurunan jumlah ikan, lalu kadar klorofil permukaan menurun karena naiknya stratifikasi lapisan permukaan, kematian massal invertebrata laut karena stres, pergeseran wilayah jelajah spesies. Ujungnya bisa jadi ketegangan antar negara karena laut menjadi salah satu sumber ekonomi.

Contoh spesies laut terdampak adalah ikan salmon yang dalam siklus hidupnya harus bermigrasi dari laut ke sungai untuk bertelur. Gelombang panas membuat salmon tak bisa bertahan di air yang menghangat dan oksigen turun.

Dalam artikel ini, ahli ekologi laut mengibaratkan ikan salmon ini seperti pelari maraton yang harus berlari sambil mengenakan kantong plastik di kepalanya. Salmon perlahan-lahan akan mati. Padahal, manusia bergantung pada keberlanjutan populasi salmon untuk suplai protein.

Serangan panas ekstrem baru-baru ini di pesisir barat Kanada diperkirakan telah membunuh 1 miliar binatang laut di sepanjang Pantai Pasifik. Mereka rentan karena tidak terbiasa dengan suhu panas ekstrem berhari-hari.

Pada bulan Desember 2020 di Melbourne, ketika suhu ekstrem melebihi 430 Celsius, sebanyak 4.500 kelelawar abu-abu (Pteropus poliocephalus) mati hanya dalam tiga hari. Kelelawar jenis ini termasuk jenis rentan dalam daftar merah IUCN. 

Penelitian baru-baru ini juga menunjukkan bahwa gelombang panas mengancam tingkat kesuburan beberapa jenis satwa jantan yang berdampak pada kemampuan berkembang biak spesies mereka. Ini berarti distribusi spesies juga dibatasi oleh suhu tempat mereka bereproduksi, selain untuk bertahan hidup.

Serangan gelombang panas juga memicu kebakaran hutan. Hutan adalah habitat utama satwa liar. Meski satwa liar memiliki kemampuan menghindari panas, tak semua satwa punya sayap dan kaki untuk mencari lokasi baru untuk menghindarinya.

Intensitas kebakaran hutan yang semakin ekstrem dengan skala besar dan waktu yang lama semakin menyulitkan mereka bertahan hidup. Ketika fragmentasi satwa terjadi, wilayah jelajah sejumlah mamalia besar akan menyempit yang memperbesar kemungkinan satwa liar, seperti harimau, memasuki wilayah manusia. Akibatnya, konflik manusia dan satwa liar tidak terhindarkan.

Beberapa kasus di atas tentunya hanya sebagian kecil saja dari bentuk-bentuk nyata dampak serangan gelombang panas terhadap satwa liar dan kaitannya terhadap manusia.

Krisis iklim akibat aktivitas manusia membuat satwa liar berkurang pelan-pelan

Langkah nyata mengurangi dampak pemanasan bumi adalah reforestasi, mengembalikan hutan dan mencegah deforestasi. Cara-cara ini kita sebut mitigasi krisis iklim karena serangan panas adalah satu akibat saja dari pemanasan global.

Pada 31 Oktober-12 November 2021 negara anggota PBB akan bertemu di Glasgow membahas cara-cara mencegah suhu bertambah panas melalui Konferensi Iklim ke-26. Setiap negara mesti memasukkan proposal program mereka dan menetapkan target penurunan emisi karbon.

Emisi karbon adalah penyebab utama krisis iklim. Ia datang dari aktivitas manusia: pembakaran energi, pembukaan hutan, limbah, proses produksi, hingga pertanian. Mengurangi emisi adalah mengurangi itu semua. Bagaimana agar cara-cara mengurangi emisi tak berdampak pada hajat hidup manusia?

Ada yang disebut dengan pembangunan rendah karbon. Indonesia hendak menurunkan emisi dengan tak menaikkan target dari 29% dengan usaha sendiri dari jumlah 2,87 Gigaton setara CO2. Negara-negara lain banyak yang belum mengajukan target baru. Indonesia bahkan menetapkan net-zero emissions pada 2060—meleset 10 tahun dari Perjanjian Paris 2015. 

Nol bersih emisi amat penting untuk mencegah dampak buruk krisis iklim terhadap bumi—satu-satunya planet yang kita tinggali. Net-zero emissions satu cara mencegah dampak suhu panas terhadap satwa liar dan keragaman hayati yang menopang kelestarian planet ini.

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Rimbawan tinggal di Kanada. Menyelesaikan pendidikan doktoral dari University of Natural Resources and Life Sciences Wina, Austria, dengan disertasi dampak desentralisasi terhadap tata kelola hutan di Jawa

Topik :

Bagikan

Komentar



Artikel Lain