Untuk bumi yang lestari

Pojok Restorasi| 09 Desember 2021

Perubahan Bisnis Restorasi Ekosistem

UU Cipta Kerja mengubah bisnis restorasi ekosistem. Namanya jadi "pemulihan ekosistem".

Kawasan restorasi gambut PT Rimba Makmur Utama di Kalimantan Tengah (Foto: Dok. PT RMU)

SELAMA ini restorasi ekosistem digadang-gadang sebagai bisnis kehutanan yang sesuai dengan bisnis berkelanjutan karena memulihkan hutan rusak setelah dieksploitasi. Setelah tak memiliki basis aturan karena tak tercantum dalam UU Kehutanan, diskresi ini dimasukkan ke dalam jenis perizinan berusaha pemanfaatan hutan (PBPH) dalam UU Cipta Kerja.

Ada 14 jenis usaha pemanfaatan hutan dalam PBPH yang digolongkan ke dalam multiusaha. Salah satu usaha yang cocok adalah hasil hutan bukan kayu dan perdagangan karbon yang bisa masuk dalam skema restorasi ekosistem. Selama ini, dari 16 izin usaha restorasi sejak 2007, baru sekitar 3-4 perusahaan yang mempraktikkan perdagangan karbon di pasar sukarela.

Usaha perdagangan karbon melalui konsesi hutan, menuntut pelbagai usaha melindungi hutan. Dari menjaga konsesi tidak rusak karena kebakaran, pembalakan liar, perambahan, pemilik konsesi juga wajib memulihkan hutan ke dalam ekosistemnya semula.

Karena itu, kerja sama dengan masyarakat sekitar konsesi tak bisa ditawar. Untuk mencegah perambahan, teknik membakar lahan untuk perkebunan masyarakat, perusahaan restorasi mesti mengajak mereka menerapkan pengelolaan hutan lestari atau menyediakan sumber-sumber pendapatan baru agar tak mengancam pemulihan ekosistem di areal konsesi. 

Skema restorasi ekosistem berada di hutan produksi. Umumnya, konsesi restorasi adalah kawasan hutan produksi bekas hak pengelolaan hutan (HPH) yang sudah tidak lagi memiliki kayu sehingga izin HPH disetop atau karena dicabut akibat pengelolaannya tak lestari. Dari 16 perusahaan, mereka mengelola sekitar 600.000 hektare—0,01% dari areal HPH.

Karena diskresi, nama lain restorasi ekosistem adalah jeda tebang. Pada dasarnya izin restorasi ekosistem adalah HPH, yakni bisa menebang kayu. Karena kayunya sudah tak ada, izin ini harus menunda penebangan hingga ekosistemnya yang rusak pulih kembali. 

Senyampang menunggu ekosistem pulih, pengusaha bisa menjual hasil hutan bukan kayu di areal konsesi mereka. Komoditas paling cocok dengan jenis usaha ini adalah perdagangan karbon. Apalagi, jika arealnya rawa gambut yang banyak menyerap emisi gas rumah kaca.

Salah satu perusahaan yang mempraktikkan bisnis perdagangan karbon di areal restorasi adalah PT Rimba Makmur Utama yang memiliki 157.000 hektare di Kalimantan Tengah (80% areal gambut) melalui Katingan-Mentaya Project. Bagaimana bisnisnya setelah enam tahun?

Menurut Yani Saloh, spesialis komunikasi KMP, ukuran bisnis restorasi adalah 12 tujuan pembangunan berkelanjutan (SDG’s). Dari survei terbaru KMP, rawa gambut areal konsesi melindungi satwa dan tumbuhan endemik yang dulu musnah.

Areal Katingan-Mentaya Project kini memiliki 67 jenis mamalia, 167 burung, 49 reptil, 111 spesies ikan. “Habitat yang sehat ini juga membantu perlindungan lima spesies yang kritis terancam punah, 8 terancam punah, dan 31 spesies rentan,” kata Yani dalam webinar “Restorasi Ekosistem dalam Pembangunan” pada 8 Desember 2021. 

Dengan perlindungan ekosistem rawa gambut, wilayah kerja KMP diperkirakan menyerap emisi gas rumah kaca sebanyak 7 juta ton setara CO2 per tahun. Jika harga karbon mereka jual US$ 5 per ton, nilai penjualan KMP sebesar US$ 35 juta atau Rp 490 miliar. Dalam bisnis karbon, ini nilai yang lumayan.

Perlindungan ekosistem di konsesi KMP, kata Yani, melibatkan 900 komunitas melalui pelbagai program: pengelolaan hutan desa, usaha kecil, bantuan pinjaman melalui koperasi. Program pemberdayaan masyarakat sekitar konsesi ini menopang kegiatan pemulihan ekosistem oleh KMP di konsesi mereka. “Kunci pemulihan ekosistem adalah programnya diterima secara sosial, layak secara ekonomi, dan lestari secara ekologi,” kata Yani.

Vivi Yulaswati, staf ahli sosial dan penanggulangan kemiskinan Badan Perencana Pembangunan Nasional, ada enam SGD’s yang berkaitan dengan lingkungan: air bersih dan sanitasi layak, kota dan pemukiman yang berkelanjutan, konsumsi dan produksi yang bertanggung jawab, penanganan perubahan iklim, ekosistem laut, dan ekosistem daratan. “Bisnis restorasi ekosistem sudah menjadi bagian dari peta jalan SDG’s dan peta jalan pembangunan rendah karbon,” ujar Vivi.

Kepala Biro Perencanaan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Apik Karyana menambahkan bahwa usaha restorasi ekosistem (yang namanya kini berubah menjadi “pemulihan ekosistem”) secara tidak langsung akan mendorong ekonomi desa di sekitar konsesi karena ada program pemberdayaan untuk mendukung bisnis restorasi. “Sehingga akan meningkatkan akses masyarakat ke dalam kawasan hutan,” kata dia.

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University

Topik :

Bagikan

Komentar



Artikel Lain