Untuk bumi yang lestari

Pojok Restorasi| 12 Januari 2024

Bidara Laut: Tanaman Obat yang Semakin Langka

Tanaman obat bidara laut masuk daftar merah IUCN. Perlu konservasi.

Bidara laut

DI Jawa, Bali, atau Nusa Tenggara Barat, bidara laut punya nama berbeda-beda. Di Jawa dikenal dengan nama dara putih, di Bali kayu pait, dan Nusa Tenggara Barat dikenal dengan nama nama songga. Nama ilmiah bidara laut adalah Strychnos lucida R. Br yang sinonimnya Strychnos ligustrina dan termasuk pada famili Loganiaceae.

Bidara laut pada umumnya tumbuh di kawasan hutan musim yang kering. Menurut eksplorasi Setiawan dkk (2014) dan Krisnawati dkk (2017), persebaran bidara laut di Nusa Tenggara Barat dan Bali tersebar pada kawasan hutan dari timur Pulau Sumbawa, yaitu Bima sampai ujung barat Pulau Bali.

Bidara laut berasa pahit di semua bagian tumbuhan dari mulai daun sampai akar, termasuk buah. Masyarakat sekitar kawasan hutan yang menjadi habitat bidara laut memanfaatkan pohon ini sebagai sumber bahan obat tradisional.

Masyarakat Jawa menggunakannya sebagai salah satu bahan jamu yang rasanya pahit, selain bratawali, sambiloto, atau pulai. Jamu pahit ini biasa dijual oleh jamu gendong dan dipercaya dapat mengatasi berbagai penyakit seperti kencing manis, ginjal, bau badan, dan kolesterol. Di Bali, bidara laut sering digunakan oleh balian (dukun) untuk pengobatan persendian, diabetes, jantung atau kulit. Di Dompu, NTB, Bidara laut sudah digunakan sebagai obat demam dan malaria sejak masa kesultanan Dompu. Pada masa peperangan antar kerajaan, Kesultanan Tambora juga menggunakan batangnya untuk merapatkan kembali tulang yang patah.

Sejumlah penelitian kandungan bahan aktif bidara laut menyebutkan bahwa pada pohon ini mempunyai potensi dalam pengobatan antibakteri, antikanker, antimalaria, dan antioksidan. Bagian tanaman yang digunakan untuk bahan obat juga bervariasi mulai daun, kulit, kayu, buah dan bahkan akarnya. Begitu pun dengan proses peracikan obat cukup beragam sesuai dengan bagian tanaman yang di gunakan, seperti direbus, dikonsumsi langsung (buahnya), dan dengan menuangkan air panas pada gelas dari kayu songga untuk diminum.

Bidara laut masuk dalam daftar merah IUCN dengan kategori least concern. Penelitian potensi bidara laut oleh Hidayatullah dkk (2018) menunjukkan pada kawasan hutan konservasi, jenis ini cenderung berlimpah. Hal ini mungkin disebabkan oleh kawasan yang memang sudah terlindungi dari berbagai kegiatan yang akan merusak ekosistem kawasan konservasi. 

Sementara di kawasan hutan nonkonservasi, sudah sulit menemukan jenis bidara laut khususnya pada daerah pinggir kawasan hutan. Pada kawasan hutan ini banyak dijumpai tunggak bekas penebangan dan terjadinya alih fungsi lahan. Kondisi ini tentunya membutuhkan penanganan segera demi menjamin kelestarian bidara laut.

Beberapa upaya untuk menjaga kelestarian bidara laut dia ntaranya melalui upaya domestikasi dengan teknologi budi daya serta pengaturan pemanfaatan alami di habitatnya. Upaya domestikasi telah banyak dilakukan melalui serangkaian penelitian baik pada tingkat persemaian maupun lapangan.

Beberapa peneliti telah melakukan uji coba budi daya bidara laut baik pada tingkat persemaian dan uji coba di lapangan. Pada tingkat persemaian uji coba dilakukan dengan pendekatan secara vegetatif (stek pucuk dan batang) dan generatif (biji).

Hasil penelitian menunjukkan pertumbuhan semai bidara laut yang optimal adalah dengan menggunakan biji dan perlakuan media tabur top soil + kompos organik dengan perbandingan 1:1 dan media sapih campuran kompos eceng gondok + arang sekam + cocopeat dengan perbandingan 2:2:1.

Uji coba penanaman bibit hasil persemaian di lapangan juga sudah pernah dilakukan. Penanaman bidara laut dengan penambahan bahan pembenah tanah seperti hidrogel, mulsa, dan mikoriza dapat meningkatkan pertumbuhan tinggi dan diameter. Upaya lain untuk melestarikan bidara laut dengan cara mengatur pemanfaatan atau pemanenan bagian-bagian tumbuhan ini untuk dipergunakan sebagai bahan obat.

Sebagai contoh pemanfaatan kayu hanya dapat dilakukan pada ranting pohon dengan limit diameter tertentu atau hanya dengan memanfaatkan cabang-cabang pohon serta kulit batang. Upaya lain yang dapat dilakukan adalah dengan pemeliharaan terubusan pada tunggak bekas penebangan. Hal ini didasarkan pada hasil penelitian bahwa potensi terubusan pada tunggak bekas penebangan cukup potensial untuk regenerasi.

Upaya-upaya pelestarian bidara laut memerlukan dukungan dari berbagai aspek, termasuk kelembagaan dan dukungan pasar. Dukungan penelitian dan pengembangan yang lebih advance juga diperlukan khususnya aspek budi daya yang masih terkendala di tingkat lapangan. Mengedukasi masyarakat tentang pentingnya bidara laut juga penting, termasuk bagaimana dampak dari kegiatan manusia terhadap habitatnya, serta cara menjaga kelestariannya, khususnya Bidara laut yang berada di kawasan hutan konservasi. Juga pelatihan kepada petani lokal dan masyarakat sekitar tentang teknik budi daya, penggunaan yang tepat dan pentingnya pelestarian tanaman obat ini.

Ke depan, pemanfaatan bidara laut mesti menerapkan praktik pengelolaan yang berkelanjutan, baik habitat bidara laut maupun pemanfaatannya, termasuk pasar dan konsumennya.

Ikuti percakapan tentang tanaman obat di tautan ini

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Pusat Riset Konservasi Tumbuhan, Kebun Raya, dan Kehutanan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)

Pusat Riset Konservasi Tumbuhan, Kebun Raya, dan Kehutanan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)

Peneliti ahli madya di Pusat Riset Ekologi dan Etnobiologi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)

Topik :

Bagikan

Komentar



Artikel Lain