Untuk bumi yang lestari

Pojok Restorasi| 17 Januari 2024

Konservasi Anggrek Natal di Bali

Anggrek natal menjadi spesies endemik Bali. Perlu konservasi.

Anggrek Natal Bali

AWALNYA Christmas orchid atau anggrek Natal populer di Australia. Anggrek dari marga Calanthe ini berbunga selama masa libur Natal pada bulan Oktober-Februari. Secara bahasa, Calanthe berasal dari penggabungan dua kata dalam bahasa Yunani kuno, kallos yang berarti “keindahan” dan anthos yang berarti “bunga”. Nama ini dipublikasikan pertama kali pada 1821 oleh Robert Brown di majalah The Botanical Register volume VII.

Spesies Calanthe tersebar melintang dari daerah tropis hingga subtropis, membujur dari Meksiko hingga Kepulauan Pasifik. Jumlah spesiesnya berdasarkan pangkalan data Plants of the World Online mencapai 235 spesies di seluruh dunia.

Ada beberapa spesies Calanthe yang sebaran alaminya terbatas di wilayah tertentu atau umum dikenal dengan spesies endemik. Beberapa contoh Calanthe endemik adalah Calanthe madagascariensis (endemik Madagaskar), Calanthe mcgregorii (endemik Filipina) dan Calanthe leucosceptrum (endemik Papua). Selain itu terdapat juga Calanthe endemik yang berstatus terancam kepunahan, seperti Calanthe delavayi, Calanthe fargesii dan Calanthe henryi yang ketiganya spesies endemik Cina. Di Indonesia, selain Calanthe leucosceptrum yang menjadi endemik Papua, ada Calanthe endemik endemik Bali.

Masyarakat Hindu Bali yang kental dengan tradisi bisa melestarikan Clanathe. Salah satu penghuni hutan pegunungan Bali adalah anggrek tanah Calanthe baliensis yang merupakan spesies Christmas orchid endemik Bali. Selain Calanthe baliensis, hutan pegunungan Bali juga merupakan habitat bagi anggrek tanah berperawakan dan berbunga cukup besar, seperti Calanthe flava, Calanthe sylvatica, Calanthe triplicata, Calanthe zollingeri, Corymborkis veratrifolia, Phaius amboinensis, dan Phaius pauciflorus. Hanya saja, anggrek-anggrek tanah tersebut bukan anggrek endemik Bali.

Sejarah pengenalan Calanthe baliensis dimulai pada 40 tahun yang lalu, tepatnya pada 23 Desember 1980. Saat itu seorang botanis asal Inggris, James Boughtwood Comber bersama timnya, menemukan anggrek tanah yang sedang berbunga di ketinggian 1.610 meter di atas permukaan laut di Bukit Tapak, Bali. Bukit Tapak berlokasi di Belakang Kebun Raya “Eka Karya” Bali di Bedugul, lebih tepatnya di arah Barat Laut Kebun Raya Bali.

Spesies anggrek tanah tersebut belum dikenal saat itu sehingga diawetkan dalam bentuk herbarium. Lima tahun kemudian, pada Februari 1985, Jeffrey James Wood mengidentifikasi herbarium anggrek ini sebagai spesies baru dan bersama J.B. Comber mendeskripsikan serta memberi nama spesies itu Calanthe baliensis J.J. Wood & J.B. Comber.

Nama dan deskripsi spesies tersebut diterima untuk dipublikasikan di Kew Bulletin Inggris pada Agustus 1985. Oleh Kew Bulletin artikel tersebut baru dipublikasikan pada 15 Agustus 1986. Dalam artikel “New orchids from Java and Bali”, Calanthe baliensis dipublikasikan bersama anggrek epifit endemik Jawa, yaitu Cerastotylis anjasmorensis dan anggrek epifit asal Jawa dan semenanjung Malaysia, yaitu Cleisostoma comberi (sekarang Sarcoglyphis comberi). 

Herbarium holotipe Calanthe baliensis, spesimen yang digunakan untuk mendeskripsikan nama jenis pertama kali, disimpan di Herbarium Kew, Inggris. Sedangkan herbarium isotipe (spesimen duplikat herbarium holotipe) disimpan di Herbarium Bogoriense (BO) yang dikelola Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).

Calanthe baliensis adalah anggrek yang tumbuh di tanah dengan tinggi mencapai lebih dari 60 sentimeter saat berbunga. Sebagaimana Calanthe pada umumnya, batang anggrek ini sangat pendek dengan umbi semu yang mereduksi dan tidak terlihat karena tertutup oleh pangkal tangkai daun. Dalam satu individu dapat ditemukan dua hingga empat helai daun dengan warna daun hijau tua. Helai daunnya meruncing pada pangkal dan ujung serta terdapat beberapa garis lipatan yang membentang dari pangkal hingga ujung daun.

Rata-rata panjang helai daunnya antara 30-50 sentimeter dan rata-rata lebar helai daunnya antara 5-8,5 sentimeter. Tepi daun agak berkerut dan daun memiliki tangkai sepanjang 15-23 sentimeter. Tandan bunganya tegak dan menopang banyak bunga. Tangkai tandan bunga berwarna hijau pada daerah pangkalnya dan berubah menjadi ungu pada bagian atasnya, berambut halus, memiliki tinggi antara 60-70 sentimeter, serta memiliki beberapa daun pelindung berwarna hijau yang pangkalnya mengitari tangkai tandan seperti cincin.

Ujung tangkai tandan bunga, yaitu tempat terdapatnya bunga, memiliki panjang antara 7-15 sentimeter, berwarna ungu tua, memiliki daun pelindung pendukung tangkai bunga dengan ukuran lebih kecil dibanding daun pelindung pada tangkai tandan. Daun pelindung tangkai bunga berbentuk bulat telur dengan ujung meruncing, berwarna hijau dan berambut halus.

Bunga Calanthe baliensis berdiameter kurang dari 2 sentimeter, ukuran tersebut termasuk kecil jika dibandingkan dengan bunga spesies Calanthe pada umumnya. Tangkai bunga berukuran 1-6 sentimeter dengan bakal buah di dalamnya (ditandai dengan adanya tiga garis yang membentuk cekungan), berwarna ungu, berambut halus dan ujungnya agak menggembung.

Bentuk bunganya hampir bulat saat mekar sempurna. Tiga kelopak bunga (dua kelopak samping dan satu kelopak tengah) berwarna krem hingga kuning pucat dengan rona ungu tua di bagian luar dan garis-garis merah muda di bagian dalamnya. Kelopak bunga tersebut berbentuk bulat telur dan ciri khasnya adalah terlipat ke arah belakang.

Mahkotanya terdiri dari tiga helai sebagaimana bunga anggrek pada umumnya, yaitu terdiri dari sepasang mahkota samping dan satu mahkota tengah yang bermodifikasi menjadi bibir bunga. Mahkota samping berbentuk identik dengan kelopak bunganya, hanya saja ukurannya sedikit lebih kecil. Bibir bunganya memiliki panjang antara 8,5-10 milimeter dan lebar hingga 7,5 milimeter dengan bentuk agak melengkung ke belakang, memiliki tiga lobus, berwarna kuning tua dan terdapat ciri khas berupa adanya beberapa tonjolan (disebut kalus) memanjang pada bagian pangkalnya.

Putik dan benang sari menyatu membentuk tugu di mana pada ujungnya terdapat dua kepala sari yang disebut dengan pollinia. Sepintas Calanthe baliensis memiliki kemiripan dengan Calanthe flava yang habitatnya tersebar mulai dari Sumatera hingga Kepulauan Sunda Kecil. Namun apabila dilihat lebih seksama, Calanthe baliensis memiliki daun yang lebih sempit dan bunga yang lebih kecil dibanding Calanthe flava.

Berdasarkan data koleksi ilmiah Kebun Raya Bali, populasi Calanthe baliensis selain ada di Bukit Tapak juga di Bukit Pengelengan yang termasuk dalam kawasan cekung terkungkung dataran tinggi Bedugul, wilayah bekas letusan gunung vulkanik purba yang menyebabkan terbentuknya kaldera dan danau di dalamnya. Ada pula populasi Calanthe baliensis di Gunung Batukaru di Timur Laut Bukit Tapak.

Populasi di Bukit Pengelengan dijumpai pada 2006 dan 2017, sedangkan populasi di Gunung Batukaru dijumpai pada 2009. Di Bukit Tapak sendiri, populasi Calanthe baliensis terakhir ditemukan pada tahun 2014. Calanthe baliensis ditemukan tumbuh pada pH tanah antara 5,2-7, suhu udara antara 19-26°C; intensitas cahaya 90–1.274 lux, kelembaban udara 72-87%, kelembaban tanah 25-80%; penutupan tanah 40-80%, kemiringan tanah 10-70°; dan ketinggian tempat 1.500-1.700 meter di atas permukaan laut.

Individu Calanthe baliensis tumbuh tersebar dan tidak mengumpul, sehingga ukuran populasinya dalam suatu area tidak besar. Spesies tumbuhan lain yang sering ditemukan tumbuh di sekitar Calanthe baliensis antara lain Eumachia montana, Oreocnide rubescens, Melodinus orientalis, Polyosma integrifolia, Platea latifolia, Pilea sp., Athyrium sp., Asplenium sp. dan Begonia longifolia.  Sedangkan anggrek tanah yang pernah dijumpai tumbuh bersama Calanthe baliensis adalah Calanthe triplicata dan Phaius pauciflorus.

Spesies endemik memiliki keunikan dan pesona yang khas sehingga bisa menjadi penciri suatu habitat, lokasi, atau daerah tertentu. Maka, tidak jarang spesies endemik dijadikan sebagai ikon dari suatu wilayah tertentu.

Di balik kelebihan tersebut, ada pula ancaman yang dapat mengganggu keberlangsungan hidup bahkan menyebabkan punahnya spesies endemik. Ancaman itu antara lain karena eksploitasi spesies endemik yang berlebih, atau juga karena rusak hingga hilangnya habitat spesies endemik. Dampak ancaman tersebut semakin besar utamanya pada spesies endemik yang hanya

ditemukan di satu pulau saja, seperti di pulau Bali salah satunya. Punahnya jenis endemik di pulau tersebut, sama dengan hilangnya spesies tersebut di seluruh dunia. Di Bali, selain Calanthe baliensis, terdapat pula spesies flora endemik yang bahkan berstatus terancam kepunahan seperti Ixora balinensis, Ixora brachycotyla, Bambusa ooh, Pinanga arinasae, Dinochloa sepang dan beberapa spesies flora lainnya.

Ikuti percakapan konservasi di tautan ini

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Peneliti di Pusat Riset Konservasi Tumbuhan, Kebun Raya dan Kehutanan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)

Peneliti di Pusat Riset Konservasi Tumbuhan, Kebun Raya dan Kehutanan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)

Topik :

Bagikan

Komentar



Artikel Lain