Untuk bumi yang lestari

Pojok Restorasi| 15 Juni 2021

Setelah Restorasi Ekosistem Tak Ada Lagi

UU Cipta Kerja tak lagi mencantumkan usaha pemanfaatan hutan melalui restorasi ekosistem. Bagaimana bentuk riilnya kini?

Bibit pohon memakai purun, polybag berbahan gulma. Bibit pohon salah satu penopang restorasi ekosistem (Foto: Dok. PT RMU)

RESTORASI ekosistem adalah diskresi Menteri Kehutanan M. Prakosa melalui Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 159/2004. Judul aturannya restorasi ekosistem di kawasan hutan produksi.

Tujuannya mengembalikan unsur biotik (flora dan fauna) serta unsur abiotik (tanah, iklim dan topografi) sehingga tercapai keseimbangan hayati melalui penanaman, pengayaan, permudaan alam, atau pengamanan ekosistem.

Menurut pasal 1 angka 9 UU Nomor 30/2014 tentang administrasi pemerintahan, diskresi adalah keputusan atau tindakan pejabat pemerintah untuk mengatasi penyelenggaraan pemerintahan dengan memberikan pilihan, mengatur ketentuan yang tidak lengkap atau tidak jelas, dan/atau adanya stagnasi pemerintahan. 

Restorasi ekosistem tak dikenal dalam UU Kehutanan tapi dibutuhkan mengingat kerusakan hutan begitu masif. Karena itu kebijakannya semacam diskresi.

Di hutan produksi yang kurang dan tidak produktif, restorasi ekosistem dilakukan melalui kegiatan perlindungan hutan dan penanaman dengan jenis tanaman hutan unggulan setempat dan atau permudaan alam. Sementara untuk hutan produksi yang masih produktif restorasi melalui kegiatan perlindungan hutan dan atau permudaan alam.

Praktiknya restorasi ekosistem berbentuk Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) pada hutan alam. Tak jelas pertimbangannya mengapa cantolan restorasi ekosistem masuk ke sini. Secara tekstual tidak ada kalimat pemanfaatan apalagi pemungutan hasil hutan kayu di hutan alam.

Tiga tahun kemudian, yaitu pada 2007, diskresi restorasi ekosistem naik menjadi Peraturan Pemerintah 6/2007 tentang tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan serta pemanfaatan hutan. Pasal 34 ayat 1 menyebutkan bahwa pemanfaatan hasil hutan alam di hutan produksi melalui usaha kayu dan usaha kayu restorasi ekosistem.

Dalam penjelasannya usaha hasil hutan kayu restorasi ekosistem bertujuan mengembalikan unsur hayati serta unsur nonhayati pada suatu kawasan dengan jenis asli sehingga tercapai keseimbangan hayati dan ekosistemnya. Jadi usaha kayu di restorasi untuk mengembalikan keseimbangan hayati sebelum rusak.

UU Cipta Kerja mengubah ketentuan-ketentuan itu. Dalam aturan turunannya, istilah usaha restorasi ekosistem menghilang. Redaksi Forest Digest (lihat artikelnya) menafsirkan restorasi ekosistem sebagai pemanfaatan hutan berupa usaha jasa lingkungan, salah satunya usaha penyerapan karbon, seperti yang sudah dilakukan beberapa pemegang izin restorasi sejak 2007.

Menurut saya, tafsir ini belum tentu benar karena PP 23/2021 pasal 141 ayat (2) menyebutkan bahwa usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dipisah dan tidak sama dengan usaha pemanfaatan jasa lingkungan, yang salah satu kegiatannya adalah penyerapan dan penyimpanan karbon. Sebab izin restorasi ekosistem tetap saja adalah usaha pemanfaatan kayu. 

Dalam PP 28/2011 usaha jasa lingkungan dalam bentuk penyimpanan dan/atau penyerapan karbon bisa dilakukan di kawasan konservasi seperti cagar alam, suaka margasatwa, taman nasional, taman hutan raya, dan taman wisata. Menurut aturan ini, restorasi ekosistem sebagai salah satu cara memulihkan ekosistem.

Bentuknya kegiatan pemeliharaan, perlindungan, penanaman, pengayaan jenis tumbuhan dan satwa liar, atau pelepasliaran satwa hasil penangkaran atau relokasi satwa. Untuk menjaganya perlu mekanisme alamiah dengan mencegahnya dari intervensi manusia.

Kesimpulannya adalah restorasi ekosistem adalah kegiatan tunggal untuk pemulihan ekosistem melalui kegiatan pemeliharaan, perlindungan, penanaman, pengayaan dan seterusnya yang dilakukan di dalam kawasan konservasi. Diskresi Menteri Kehutanan empat tahun sebelumnya coba diterapkan di hutan produksi. 

Setelah terbit UU Cipta Kerja dan aturan turunannya, kegiatan usaha pemanfaatan jasa lingkungan pada hutan produksi diatur tidak bersifat limitatif. Artinya, kegiatan pemanfaatan lainnya tidak merusak keseimbangan lingkungan. Maka izin pemanfaatannya bersamaan dengan izin usaha lainnya sepanjang tidak memungut hasil hutan kayu.

Dengan melihat aturan-aturan dan pengertian seperti itu, 16 unit manajemen yang memegang izin restorasi ekosistem seluas 600.000 hektare dianggap memiliki dua izin, yakni usaha pemanfaatan jasa lingkungan dan izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu restorasi ekosistem. Jadi jelas benang merahnya bahwa izin pemanfaatan restorasi ekosistem tidak sama dan bukan masuk dalam katagori usaha jasa lingkungan.

Lalu bagaimana praktiknya setelah restorasi ekosistem tak disebut dalam UU? Mungkin akan ada penjelasan di aturan-aturan teknis berikutnya.

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Pernah bekerja di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan

Topik :

Bagikan

Komentar



Artikel Lain