Untuk bumi yang lestari

Pojok Restorasi| 09 Maret 2021

Saatnya Menetapkan Ekosida Sebagai Kejahatan Berat

Sebuah panel PBB sedang merumuskan definisi ekosida sebagai kejahatan berat yang bisa diadili di Mahkamah Internasional. Perlu desakan publik yang kuat.

Deforestasi hutan Papua untuk perkebunan kelapa sawit di Boven Digoel pada 2018. Pelepasan kawasan hutan untuk perkebunan ini terjadi pada  2012. (Foto: Ulet Ifansasti/Greenpeace via Auriga)

KRISIS iklim telah diakui sebagai masalah terbesar dunia hari ini. Semakin banyak orang dan lembaga yang mendorong agar kebijakan politik lebih ramah terhadap lingkungan. Dimulai dalam KTT Iklim di Brasil pada 1992, isu ini telah menjadi isu internasional yang dibicarakan secara serius di tingkat global. Karena itu perusakan lingkungan tengah berkembang menjadi kejahatan berat yang kita sebut ekosida

Ekosida berasal dari ecocide. Ia sebangun dengan genocide, pemusnahan massal sebuah bangsa, agama, atau ras tertentu. Dalam Bagian 2 pasal 5 Statuta Roma yang mengatur tentang pengadilan kejahatan internasional, genosida menjadi satu dari empat kejahatan berat, selain kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang, dan kejahatan agresi.

Kejahatan berat dalam Statuta Roma ditujukan untuk melindungi manusia. Sehingga pengertian ekosida juga mesti berangkat dari pemusnahan lingkungan yang berdampak pada manusia di suatu wilayah. Apakah pengrusakan alam, hutan, atau sebuah wilayah tertentu akan berdampak langsung pada hidup dan masa depan manusia yang tinggal di sana.

Gagasan ekosida sebagai kejahatan berat bukan hal baru. Pada 1972, Perdana Menteri Swedia Olof Palme menuntut Amerika Serikat melakukan ekosida karena memakai agen oranye, penaburan herbisida dalam perang Vietnam yang menghancurkan hutan-hutan dan ekosistem di sana. Tuntutan Palme di Konferensi Lingkungan PBB di Stockholm itu kemudian masuk dalam Statuta Roma, tapi tak diadopsi sebagai kejahatan berat seperti empat jenis kejahatan lainnya.

Kini gagasan itu kembali mencuat. Pada November 2020, sejumlah pengacara internasional coba merevisi Statuta Roma untuk memasukkan ekosida sebagai kejahatan yang bisa disidangkan di pengadilan internasional. Mereka dan Dior Fal Sow—mantan jaksa penuntut PBB—tengah merumuskan definisi ekosida dan akan mempublikasikan drafnya pada Juni nanti.

Definisi ini penting untuk membangkitkan kepedulian anggota PBB sehingga mereka tergerak menyetujui gagasan itu. Sebab amendemen Statuta Roma menuntut pengajuan revisi oleh satu negara anggota kemudian disetujui oleh 2/3 anggotanya. Statuta yang ditandatangani 139 negara pada 17 Juli 1998 itu kini beranggotakan 124 negara.

Menurut The Economist, Vanuatu dan Maladewa—dua negara kepulauan yang paling terdampak oleh krisis iklim—bersedia menjadi negara pengaju amendemen Statuta Roma. Belgia dan Belanda kabarnya akan menyatakan dukungan diplomatik. Tapi perjuangan masih akan panjang sampai mayoritas negara setuju menyatakan ekosida sebagai kejahatan berat.

Di luar soal diplomasi politik antar negara, mengajukan revisi Statuta Roma juga tidak mudah. Ada beberapa negara yang setuju ratifikasi tapi menolak mengamendemen ketentuan tertentu dalam konstitusi mereka. Selain itu fakta kejahatan berat acap memicu debat lain. Di Myanmar, pembunuhan dan pengusiran etnis Rohingya belum menjadi kejahatan hak asasi manusia berat yang cukup syarat dibawa ke Mahkamah Internasional di The Hague, Belanda.

Di Indonesia usaha-usaha membawa perusakan lingkungan masif ke pengadilan juga mentok. Hukum positif Indonesia belum memasukkan kejahatan lingkungan sebagai pelanggaran hak asasi manusia yang tergolong berat.

Namun, diskusi tentang ekosida layak terus digaungkan. Masuk atau tidak masuk ekosida ke dalam Statuta Roma sebagai kejahatan berat mungkin akan memakan waktu karena mendefinisikan sebuah kejahatan dalam hukum tidak mudah. Tapi diskusi publik tentang ini akan memicu desakan hebat agar para politikus menyadari bahwa perusakan lingkungan tak hanya mengancam masyarakat, para elite juga akan merasakan dampaknya. 

Baru-baru ini kelompok masyarakat Amazon mengadukan Presiden Brasil Jair Bolsonaro ke Mahkamah Internasional melakukan ekosida. Meski belum ada kepastian tuntutan ini diterima, Mahkamah kabarnya mempertimbangkan gugatan itu. Berita-berita tentang penggundulan hutan Amazon kian masif sejak Brasil dipimpin Bolsonaro.

Deforestasi menjadi salah satu biang krisis iklim. Sementara dampaknya berwujud bencana alam yang tak bisa ditanggungkan. Pemanasan global tak hanya menyelewengkan musim yang akan berimbas pada ketersediaan pangan, krisis iklim juga memicu pelbagai bencana seperti topan, badai, suhu ekstrem, hingga rob karena kenaikan muka air laut akibat mencairnya es di kutub Utara dan Selatan.

Tahun lalu suhu bumi mencapai rekor baru sebesar 0,90 Celsius dibandingkan masa praindustri 1800-1850. Kenaikan suhu bumi dipicu oleh naiknya konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer yang mencapai angka tertinggi sepanjang sejarah: 414,13 part per million. Kenaikan gas rumah kaca akibat produksi emisi gila-gilaan di bumi.

Sekarang rata-rata produksi emisi tahunan sebesar 51 miliar ton. Negara-negara anggota PBB sudah berjanji menekan produksi emisi untuk mencegah suhu bumi naik hingga 1,50 Celsius pada 2050. Untuk mencapai target itu, produksi emisi tahunan global mesti ditekan hanya 25-30 miliar ton. Kini banyak ahli yang pesimistis bisa mencapai target itu mengingat tak ada kebijakan radikal dari seluruh negara dalam mengurangi emisi.

Penyebab kenaikan konsentrasi gas rumah kaca tak hanya akibat produksi emisi dari pembakaran bahan bakar fosil, juga penggundulan hutan. Hutan adalah ekosistem terbaik penyerap panas matahari dan panas dari bumi. Ketika ia berkurang, tak ada lagi yang berperan menyerapnya.

Dalam A Life on Our Planet, David Attenborough mencatat pada 2020 rimba belantara di planet ini tinggal 35%, berkurang 31% sepanjang 83 tahun. Pengurangan itu akibat konversi hutan melalui penebangan sebanyak 15 miliar pohon setahun, perluasan perkebunan kelapa sawit 21 juta hektare, dan lahan pertanian. Semua itu untuk memenuhi kebutuhan dan kesenangan 7,8 miliar penghuni bumi.

Karena itu usaha para pengacara di PBB merumuskan ekosida, juga seruan Greta Thunberg, untuk mengamendemen Statuta Roma agar perusakan lingkungan masuk sebagai kejahatan berat sebagai berita menggembirakan. Selain mengurangi emisi, perlu ada sanksi berat bagi penguasa dan pemilik modal yang merusak alam.

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Redaksi

Topik :

Bagikan

Komentar



Artikel Lain