Untuk bumi yang lestari

Pojok Restorasi| 02 Maret 2021

Rumus Ekonomi Mencegah Krisis Lingkungan

The Dasgupta Review menyerukan para ekonom memasukkan nilai lingkungan dalam rumus ekonomi. Degradasi lingkungan yang mengakibatkan krisis iklim membuat kemajuan ekonomi menjadi semu.

Kematian burung merupakan tragedi ekologi (Foto: Dok. Forest Digest)

KRISIS iklim dimulai dari absennya nilai lingkungan dalam rumus-rumus ekonomi. Ketika Thomas Savery menemukan mesin uap untuk menghidupkan gerak mekanis pada 1698, para ekonom tak memasukkan degradasi lingkungan ketika merumuskan pertumbuhan ekonomi melalui industrialisasi yang meledak sejak 1750.

Perang Dunia I dan II kian mengukuhkan pentingnya industrialisasi melalui teknologi, akibat kemiskinan kronis yang melanda Amerika, Afrika, dan Asia. Baru pada 1970, soal lingkungan mulai diperbincangkan para ekonom, terutama setelah ahli biologi laut Rachel Carson menerbitkan Silent Spring pada 1962.

Konstruksi Kayu

Carson mengkritik pemakaian pestisida untuk melipatgandakan hasil pertanian. Akibatnya, segala jenis mahluk melata, burung, cacing, serangga, mati dan musim semi lebih sepi dari biasanya. Suara Carson segera tenggelam oleh lobi industrialis kimia yang mempengaruhi pemakaian pestisida dalam kebijakan politik Amerika.

Di Indonesia ada ahli humaniora bernama Soedjatmoko yang sejak mula memperingatkan agar pembangunan berangkat dari proteksi lingkungan. Sejak tahun 1970-1980, ahli sosial ini wanti-wanti agar pembangunan memakai kearifan lokal dan tak menggiatkan industrialisasi, apalagi memakai investasi asing yang besar. Tapi, suaranya juga segera tenggelam oleh riuh pembangunan yang berbasis industri ekstraktif dengan mengeruk secara langsung sumber daya alam.

Karena itu meski masuk wacana ekonomi, urusan lingkungan tak memainkan peranan signifikan. Para ekonom kembali hanyut dalam menemukan model-model ekonomi untuk menggenjot pembangunan. Produk Domestik Bruto (PDB) kembali jadi andalan dalam melihat pergerakan ekonomi sebuah negara. 

Dalam PDB, keluar-masuk modal melalui aliran permintaan dan penawaran tak menyertakan nilai depresiasi aset. Atau depresiasi aset hanya dihitung dalam rumus akuntansi di ekonomi mikro, tak banyak dibicarakan dalam konsep-konsep ekonomi makro. Itu pun aset yang menyusut hanya dihitung untuk barang fisik yang dibuat manusia untuk menumbuhkan ekonomi.

Jembatan, pelabuhan, mobil, kereta, memiliki nilai keausan setelah menghasilkan devisa dan keuntungan. Para ekonom tak menghitung berapa banyak nilai kerugian lingkungan untuk menopang semua aset itu hidup menumbuhkan ekonomi. Pengerukan batu bara hanya dinilai dalam perdagangannya sebagai komoditas. Kerusakan bumi dan emisi yang ditimbulkannya tak masuk rumus ekonomi.

Berangkat dari bolong besar ini ahli ekonomi St College Universitas Cambridge Inggris Partha Dasgupta menerbitkan “The Economics of Biodiversity: The Dasgupta Review” pada Februari 2021. Dalam 660 halaman buku ini, Profesor Dasgupta menelaah salah paham ekonomi dalam mengarahkan pembangunan.

Menurut Dasgupta, seharusnya rumus ekonomi mengadopsi depresiasi tak hanya kepada aset fisik, juga aset tak terlihat semacam layanan lingkungan. Ia menyebutnya “nilai sosial” yang harus masuk ke dalam rumus akuntansi. Ia mengakui memang agak sulit menentukan nilai burung, nilai cacing, atau lebah dan serangga karena mereka bergerak. Terutama karena dampak degradasi lingkungan tidak sama untuk semua wilayah.

Namun, dalam konsep baru yang ia tawarkan, para ekonom mesti memasukkan layanan alam itu untuk menghitung pertumbuhan ekonomi. Sebab, dampak dan kerugian akibat kerusakan lingkungan dan alam selalu bisa dihitung melalui objek fisik.

Perhitungan nilai intangible itu bukan tidak mungkin. Dasgupta mencontohkan jual-beli tanah. Sesungguhnya komoditas di atas tanah itu adalah ruang. Ia akan semakin mahal jika akses kepada ruang itu semakin terbuka, pendukung kehidupan di sekitarnya semakin banyak. Semuanya merupakan aset tak terlihat yang masuk ke dalam harga.

Atau nilai ekonomi hutan. Selama ini para ekonom melihat hutan memiliki nilai kecil karena mereka hanya melihatnya dari harga kayu semata. Akibatnya, untuk menaikkan nilainya, hutan dikonversi menjadi perkebunan, pertanian, atau permukiman. Para ekonom alfa mencatat bahwa hutan menghasilkan oksigen yang mahal, air yang krusial, dan layanan lingkungan lain yang dibutuhkan dalam siklus mahluk hidup di seluruh dunia.

Dengan rumus Dasgupta itu, ekonomi akan bergerak dan bertitik tolak dari nilai lingkungan. Maka ketika aktivitas ekonomi membuat lingkungan terdegradasi, dengan model yang telah memasukkan biaya eksternalitas itu, nilainya tak akan setinggi seperti sekarang. Bahkan mungkin negatif.

Produksi air kemasan, misalnya, akan memiliki nilai saham yang kecil di pasar modal jika perhitungannya memasukkan kerusakan ekologis dari penyedotan sejumlah mata air hingga sampah yang diakibatkannya. Kita tahu, sampah plastik untuk mengemas air itu sulit didaur ulang. Tumpukan sampah akan menimbulkan gas metana, gas yang daya rusaknya terhadap atmosfer 23 kali lipat dibanding karbon dioksida.

Biaya eksternalitas selalu lebih besar dibanding biaya produksi dan keuntungan ekonomi. Biaya eksternalitas tecermin dalam kerusakan lingkungan sebagai dampak dari produksinya. Selama ini, biaya eksternalitas selalu berada di luar rumus dan model ekonomi ketika kita menghitung laba perusahaan.

Dengan rumusan seperti ini, David Attenborough, naturalis dari Inggris yang memberi pengantar untuk buku ini, menyebut The Dasgupta Review sebagai kompas baru dalam pembangunan ekonomi. Attenborough juga baru menerbitkan otobiografi, A Life on Our Planet, buku yang merekam perjalanannya hingga usia 92 tahun melihat segala pelosok bumi.

Attenborough menyimpulkan dalam buku itu, aktivitas ekonomi telah menimbulkan kerusakan masif pada bumi. Ketika orang Eropa mendatangi Afrika, mereka melihat zebra dan antelop. Setelah itu, dua jenis binatang liar di benua itu pelan-pelan menghilang ketika orang Eropa membangun koloni dan menciptakan permukiman baru.

Karena itu ia gembira menyambut Dasgupta Review. Menurut dia, kita masih punya kesempatan memperbaiki kesalahan dua abad terakhir untuk menyelamatkan bumi sebagai satu-satunya planet yang nyaman untuk habitat manusia dan mahluk hidup. Para ekonom bisa berkhidmat pada buku ini sebagai paradigma baru membangun ekonomi yang selaras dengan alam.

Partha Dasgupta lebih radikal lagi. Menurut dia, jika manusia serius menangani krisis iklim dan meneruskan peradaban, kita harus mengubah cara-cara memenuhi kebutuhan. “Jika kita peduli dengan masa depan bersama dan masa depan keturunan kita, kita semua harus menjadi naturalis,” tulisnya.

Dengan kata lain, pembangunan ekonomi, tidak bisa tidak, mesti menempatkan nilai lingkungan dan keberlanjutannya sebagai hal utama dan mendasar. The Dasgupta Review menganjurkan memulainya dari hal paling pokok: rumus ekonomi. The Dasgupta Review telah menyatukan tiga mazhab pembangunan yang selama ini bertentangan: konservasi, populisme ekologi, dan pembangunan berwawasan lingkungan.

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Redaksi

Topik :

Bagikan

Terpopuler

Komentar



Artikel Lain