Untuk bumi yang lestari

Surat dari Darmaga| 10 Januari 2021

Hutan untuk Ketahanan Pangan

Kehutanan dan pertanian acap bentrok karena konversi lahan. Ilmu kehutanan menyediakan jalan keluar agar hutan tetap lestari dan ketahanan pangan terjaga: agroforestri.

Wanatani, sistem agroforestri yang memadukan pertanian dan kehutanan di Desa Sukagalih, Sukabumi, Jawa Barat (Foto: Dok. PSKL)

HUTAN acap dikaitkan dengan kayu, jasa ekosistem, penyerapan karbon, keragaman hayati, dan konservasi. Padahal hutan juga sumber ketahanan pangan. Meski konservasi lahan kadang berbenturan dengan kepentingan pertanian, hutan punya peran penting dalam menyediakan nutrisi dan makanan. 

Jumlah penduduk dunia diperkirakan mencapai 9 miliar pada 2050. Pangan pun menjadi isu krusial untuk mencukupi kebutuhan itu. Kini ada 7,8 miliar orang yang menghuni bumi dengan 815 juta diperkirakan kekurangan gizi, menurut laporan FAO.

Penelitian-penelitian menunjukkan bahwa hutan dan sistem berbasis pohon memainkan peran penting dalam pemenuhan makanan. Kajian terperinci IUFRO menggarisbawahi kembali peran hutan dalam mengentaskan kelaparan dan meningkatkan gizi manusia.

Masalahnya, pertanian menyumbang emisi karena mengonversi lahan hutan yang berperan menyerap karbon dalam jumlah banyak. Satelit NASA melaporkan tutupan daun di bumi bertambah 5% dalam dua dekade terakhir. Rupanya karena meningkatnya lahan pertanian di Cina dan India. Tahun 2020 pun menjadi tahun terpanas dan konsentrasi gas rumah kaca tertinggi sepanjang sejarah.

Tanaman pertanian memang menyerap emisi. Tapi karena tak memiliki struktur yang kompleks seperti pohon, tanaman pertanian segera melepaskan kembali emisi karbon yang mereka tangkap ke udara. Walhasil, tanaman pertanian hanya memakai karbon dioksida untuk memproduksi gula yang kita butuhkan sebagai sumber energi.

Ilmu kehutanan kini sudah menemukan jalan keluar menggabungkan dua kepentingan yang seolah bertolak belakang ini. Kehutanan dan pertanian bisa berpadu melalui usaha-usaha wanatani atau agroforestri. Sehingga hutan tak semata dipandang sebagai penghasil kayu, tapi juga menjadi sumber nutrisi tanpa menghilangkan fungsi utama sebagai penyerap karbon.

Setidaknya ada empat pintu masuk, baik secara langsung maupun tidak langsung, agar hutan bisa berperan sebagai garda depan ketahanan pangan:

Pertama, aspek ketersediaan pangan. Keragaman pohon dan hidupan liar di hutan, termasuk berbagai pohon penghasil buah, menjadi sumber tambahan variasi bagi sistem produksi pangan yang menjadi sumber nutrisi seimbang bagi masyarakat yang tinggal di sekitarnya.

Hutan menjadi sumber variasi pangan yang terjangkau, khususnya bagi mereka dengan sumber penghidupan yang terbatas. Ketika terjadi kelangkaan pangan karena gagal panen atau krisis ekonomi, hutan menjadi jaring pengaman penghidupan masyarakat di sekitarnya. Pangan hutan menyuplai mikronutrisi, serat dan komponen lain yang dibutuhkan manusia.

Keamanan pangan tidak hanya sekadar soal jumlah asupan kalori, juga variasi asupan nutrisi yang seimbang. Hutan dengan keragamannya memainkan peran di sini.

Variasi nutrisi hutan bersumber dari pangan liar, termasuk madu, juga hewan buruan dan beberapa jenis serangga yang menjadi sumber protein. Bahkan ekosistem hutan yang sehat akan menyediakan suplai pangan dari sumber-sumber di perairan, mengingat air adalah produk utama hutan di mana pun.

Studi dalam jurnal People and Nature memberikan bukti bahwa kontribusi penting berbagai jenis pohon tropis untuk keamanan pangan dan nutrisi masih belum dipahami dan dimanfaatkan sepenuhnya. Padahal beberapa studi lain sudah menunjukkan bahwa diet anak-anak yang memiliki akses terhadap pangan dari hutan lebih sehat daripada mereka yang tinggal di lanskap tidak berhutan.

Kedua, aspek kestabilan pangan. Hutan menjadi habitat penting berbagai polinator kunci untuk produksi pangan. Tanpa hutan, jasa ekosistem vital yang disediakan berbagai burung dan serangga akan hilang. Kehilangan ini bisa menimbulkan permasalahan keamanan pangan.

Demikian juga dengan jasa ekosistem lain yang penting bagi pertanian, termasuk pengatur siklus air dan kesuburan tanah. Keberadaan hutan membantu memitigasi dampak perubahan iklim terhadap produktivitas pertanian. Produksi pangan berskala besar rentan terhadap peristiwa iklim yang ekstrem. Agroforestri akan menjadi jalan keluar karena sistem wanatani ini memadukan sistem pertanian tanpa menebang hutan atau mengonversi hutan.

Ketiga, aspek pemanfaatan pangan. Kayu hutan menjadi sumber energi untuk memproses bahan makanan. FAO mencatat sebanyak 2,4 miliar penduduk dunia menggunakan kayu bakar untuk memasak makanan dan mensterilkan air minum. Proses memasak memungkinkan terurainya protein yang dapat dicerna tubuh manusia dan memperkuat mikornutrisi tertentu, sehingga meningkatkan nilai gizi pangan.

Keempat, akses terhadap pangan. Hutan menyediakan berbagai lapangan kerja dan sumber penghasilan, yang memungkinkan manusia memenuhi kebutuhan pangan dan nutrisi mereka.

Data FAO menyebutkan bahwa pendapatan tahunan global dari produksi kayu bernilai sekitar US$ 600 miliar, dengan tambahan US$ 124 miliar dari produksi informal hasil hutan. Berbagai kegiatan ekonomi di sektor kehutanan, menyediakan lapangan pekerjaan bagi lebih dari 50 juta orang di dunia.

Dengan empat aspek itu kita tahu kini bahwa hutan lebih dari sekadar pohon dan kayu. Peran hutan untuk gizi dan keamanan pangan tidak serta merta terlihat, namun penting kita pahami untuk mendekatkan hutan kepada kepentingan manusia dan pembangunan 

Alih-alih saling berbenturan, hutan adalah pelengkap penting dari pertanian tradisional untuk mewujudkan suatu lanskap keamanan pangan yang berkelanjutan. Menjaga hutan tetap lestari karenanya mesti dilihat sebagai bagian integral mewujudkan keamanan pangan di tengah deru pembangunan, krisis iklim, dan bertambahnya jumlah penduduk serta makin panjangnya usia manusia.

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Rimbawan tinggal di Kanada. Menyelesaikan pendidikan doktoral dari University of Natural Resources and Life Sciences Wina, Austria, dengan disertasi dampak desentralisasi terhadap tata kelola hutan di Jawa

Topik :

Bagikan

Komentar



Artikel Lain