Untuk bumi yang lestari

Kabar Baru| 11 Februari 2024

Kopi Komoditas Paling Terdampak Krisis Iklim

Krisis iklim berpotensi menghilangkan 50% wilayah lokasi budidaya kopi pada 2050. Agroforestri solusinya.

produksi kopi mengalami penurunan (foto: unsplash.com/Rodrigo Unsplash)

DENGAN 300 juta kilogram kopi per tahun, penduduk Indonesia menjadi peminum kopi terbanyak kelima di dunia pada 2020-2021. Indonesia juga menjadi produsen kopi terbesar keempat dunia setelah Brazil, Vietnam, dan Kolombia. Kopi juga sedang naik daun sebagai minuman favorit yang mendorong naiknya budaya minum kopi dan tumbuhnya kafe-kafe di perkotaan.

International Coffee Organization, organisasi kopi internasional, memperkirakan konsumsi kopi meningkat 2,2% per tahun. Namun, konsumsi yang menaikkan pertumbuhan ekonomi dan memproteksi lingkungan itu terancam justru oleh gejala kerusakan lingkungan yang bermuara pada krisis iklim.

Sebuah studi menunjukkan jumlah lahan yang cocok untuk budidaya kopi berkurang sebesar 50% pada 2050. Krisis iklim berpotensi menurunkan produktivitas kopi jenis arabika dan robusta. 

Sebabnya, kopi tergantung pada ketinggian karena kopi tumbuh memerlukan cuaca dan iklim yang cocok. Kopi arabika tumbuh di daerah lebih tinggi dan lebih dingin dibanding robusta. Kenaikan suhu bumi akibat krisis iklim membuat suhu juga naik di tempat-tempat lebih tinggi. Akibatnya, kopi arabika akan semakin tersingkir oleh robusta. Atau pertanian arabika akan semakin mendesak hutan yang ada di atasnya.

Selain ketinggian, suhu, curah hujan, dan kelembaban di 12 negara penghasil kopi terbesar di dunia selama empat dekade terakhir juga terpengaruh oleh krisis iklim. Selama empat dekade terakhir, pengaruh iklim terhadap penurunan produksi kopi semakin terlihat. Dari enam tahun paling berbahaya bagi buidaya kopi, lima tahun di antaranya terjadi dalam rentang 2010-2020.

Para peneliti juga menganalisis dampak gangguan iklim. El Niño menjadi faktor paling signifikan dari tahun ke tahun. Saat El Niño, suhu menjadi sangat panas dan kering yang membuat produktivitas kopi menurun drastis. Dampak El Niño 2023 lalu membuat produksi kopi Indonesia di 2023-2024 9,7 juta karung berukuran 60 kilogram, menurun dibanding tahun sebelumnya 11,85 juta.

Kopi adalah 1 dari 7 komoditas yang mendorong deforestasi. Memang tidak separah peternakan atau kelapa sawit. Berdasarkan World Resources Institute, selama 2001-2015, komoditas kopi telah mengubah 1,9 juta hektare hutan atau setara tiga kali luas Pulau Bali.

Belum lagi bicara soal isu sosial. Ada 25 juta petani kopi skala kecil di seluruh dunia dan mereka memproduksi sekitar 80% kopi dunia. Namun dari segi penghasilan, mereka hanya mendapat 1-10% dari harga kopi eceran. Dari segi nominal, pendapatan mereka tergolong rendah. Jika krisis iklim memburuk, mereka yang akan pertama kali menerima efeknya.

Meski disebut memicu deforestasi, kopi sebenarnya bisa menjadi solusi ekonomi dan lingkungan mencegah krisis iklim. Di Indonesia, kopi dikembangkan memakai skema agroforestri.

Kopi termasuk tanaman toleran, yakni tumbuh bagus di bawah naungan pohon. Perkebunan kopi besar memang menghilangkan peneduh karena skala luas dan target produksi yang tinggi. Dengan skema agroforestri, kopi justru bisa menjadi penyelamat lingkungan.

Seperti di Gunung Mandalawangi, Garut, Jawa Barat. Pada 2003, penduduk desa di sekitarnya merambah hutan lindung Perhutani dan menebang kayu untuk mengubah lahannya menjadi perkebunan sayuran dan tembakau. Walhasil, gunung longsor membunuh 30 penduduk.

Masyarakat yang trauma mengubah perkebunan itu menjadi tanaman kopi dengan sistem agroforestri. Kini hutan gundul itu telah kembali hijau, petani tetap mendapat nilai ekonomi dari hutan itu dari penghasilan memetik kopi, buah-buahan, vanila, lada.

Maka, di era krisis iklim, kopi jadi komoditas paling cocok dengan peraturan-peraturan antideforestasi. Asal dilakukan bukan dengan skala industri besar, namun pemberdayaan petani sekitar hutan.

Ikuti percakapan tentang krisis iklim di tautan ini

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Alumnus Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB

Topik :

Bagikan

Terpopuler

Komentar



Artikel Lain