Untuk bumi yang lestari

Surat dari Darmaga| 13 November 2023

Etika di Perguruan Tinggi: Bisakah Mendorong Pembangunan Berkelanjutan?

Indonesia menghadapi problem pembangunan berkelanjutan. Bisakah etika perguruan tinggi memperbaikinya?

Etika perguruan tinggi

MEMPELAJARI pengelolaan hutan dan sumber daya alam di dunia pendidikan dan penelitian selalu menghamparkan kesenjangan antara aspek teoritis dengan realitas. Dalam kuliah mengenai kebijakan, misalnya, ada kesenjangan antara konsep dengan apa yang dipraktikkan di dunia nyata.

Saya mengistilahkan perbincangan normatif dalam kuliah itu sebagai “dunia pertama”. Sedangkan apa yang sesungguhnya terjadi di lapangan adalah “dunia kedua”. Di dalam dunia pertama prasyarat bisa diasumsikan bisa dipenuhi. Dalam dunia kedua, banyak faktor yang mempengaruhinya, bahkan bisa berada di luar bidang keilmuan. Termasuk, misalnya, kondisi tata kelola yang buruk dan korupsi.

Maka asumsi dalam dunia pertama sering kali tidak terpenuhi. Dengan begitu, dalam kebijakan publik, sesungguhnya ilmu pengetahuan tidak dipakai seutuhnya. Bisa jadi ia hanya sumber legitimasi.

Pengelolaan sumber daya alam dengan ragam manfaat di darat maupun di laut sebagai bahan pangan, bahan bangunan, jasa lingkungan, praktik religi dan seterusnya mendapat tantangan besar dalam hal keberlanjutan. Sejalan dengan itu, kebijakan memproduksi komoditas sumber daya alam juga tidak adil.

Maka, tinjauan praktik ilmu pengetahuan dalam tulisan ini condong pada lingkup dunia kedua. Di dunia kedua praktik kebijakan publik dipandu oleh pengaruh positif maupun negatif dari kelompok kepentingan, lembaga swadaya masyarakat, perguruan tinggi, lobi pebisnis, maupun aktivitas politik. Mereka berada di luar struktur formal, bekerja sama, atau bersaing. 

Namun, faktor penentu pelaksanaan kebijakan publik di dunia kedua seperti itu biasanya tidak dibicarakan di dunia akademik. Terutama bila tidak ada bidang ilmu pengetahuan yang menelaah berbagai kepentingan yang mempengaruhi pembentukan dan pelaksanaan kebijakan yang biasanya tercakup dalam ilmu-ilmu politik.

Namun, kita tahu bahwa setiap bidang ilmu memiliki landasan moral dan etika untuk mengarahkan praktiknya. Moral merupakan ajaran tentang perilaku baik dan buruk yang berperan sebagai panduan bertindak. Sedangkan etika adalah cabang ilmu filsafat yang menyoroti, menganalisis dan mengevaluasi ajaran-ajaran tersebut, tanpa perlu mengajukan tinjauan tentang ajaran yang baik dan buruk.

Dalam “Can Ethics be Taught?” Manuel Velasquez, dkk, mengajukan pertanyaan klasik ini. Sekitar 2.500 tahun yang lalu, Socrates memperdebatkan pertanyaan itu. Namun bagi Socrates etika pengetahuan bisa diajarkan dan menjadi landasan praktik ilmu pengetahuan. Di sini tantangannya. Antara paham dan praktik masih lebar kesenjangannya.

Ketika seseorang masih kanak, lalu remaja, kemudian menjadi dewasa, secara moral mereka akan mencapai apa yang disebut oleh psikolog Harvard University, Lawrence Kohlberg, sebagai tingkat “pasca-konvensional”. Orang dewasa pada tingkat ini berhenti mendefinisikan benar dan salah yang terkait dengan loyalitas atau norma kelompok. Sebaliknya, mereka mengembangkan prinsip-prinsip moral yang mendefinisikan benar dan salah dari sudut pandang universal. Dengan prinsip moral yang menarik bagi setiap orang yang berakal sehat, prinsip tersebut mempertimbangkan kepentingan semua orang.

Apabila kita bertanya kepada mereka yang sudah sampai pada tingkat pasca-konvensional, mengapa sesuatu itu benar atau salah, mereka akan menjawab yang benar itu mendukung cita-cita universal tentang keadilan, hak asasi manusia, atau kesejahteraan umum. Sebaliknya, kata Kohlberg, yang tidak mendukung adalah salah.

Namun demikian, dalam dunia nyata, loyalitas atau norma kelompok bisa menjadi penentu pilihan benar-salah, terutama akibat bekerjanya pengaruh kekuasaan. Seperti pandangan klasik Montesquieu (1748), dalam The Spirit of Law, menafsirkan tiga kecenderungan orang yang berkuasa. Yaitu, kecenderungan mempertahankan kekuasaan, kecenderungan memperbesar kekuasaan, dan kecenderungan memanfaatkan kekuasaan untuk mempertahankan kekuasaan. Bisa juga kekuasaan dipakai untuk mencegah atau menghindari upaya hukum atas kesewenang-wenangannya itu.

Banyak pula faktor yang bisa merangsang pertumbuhan seseorang selalu mendukung kebenaran, yakni, menurut Kohlberg, melalui pendidikan. Namun, degradasi etika juga bisa muncul dalam dunia pendidikan, terutama bila lembaga ini berhadapan dengan pengaruh dari atau tekanan oleh kekuasaan. Jeratan kekuasaan itu dilakukan dengan tetap mempertahankan istilah “pendidikan tinggi” tetapi substansinya menjadi “pengajaran tinggi”. Dalam situasi itu pengajaran lebih penting dari pada menyelenggarakan pendidikan.

Saya jadi ingat pada sekitar akhir 2008, INSIST Yogyakarta dan FISIP-Universitas Indonesia, pernah membuat diskusi yang membahas “dewesternisasi” ilmu pengetahuan. Dalam westernisasi, ilmu pengetahuan menjadi kering, karena fokus pada cara pikir dan prosedur dari pada mengisi tujuan pengembangan ilmu pengetahuan untuk menguatkan jiwa, membangun keadilan serta kepedulian kepada sesama.

Kemajuan teknologi digital, kecerdasan buatan, robotik, dan lain-lain, memikat kita, namun instrumen ini tidak bebas nilai. Pendidikan memainkan elemen dasar dan vital dalam masyarakat pertanian dalam arti luas, namun kini mulai rentan karena berbagai praktik tidak etis dapat terbungkus dengan pengembangan teknologi yang memukau.

Situasi itu tampak terdukung oleh masalah tata kelola (governance) yang rendah. Telaah Indonesia oleh Transparency International pada 2022 menunjukkan indeks tata kelola pemerintahan turun dari 38 menjadi 34 (semakin kecil semakin buruk). Tertinggi Denmark, 90, dan terendah Yaman, 16.

Di antara negara-negara ASEAN, Indonesia berada di bawah Singapura (83), Malaysia (47), Timor Leste (42), Vietnam (42) dan Thailand (36). Tetapi masih di atas Filipina (33), Laos (31), Kamboja (24) dan Myanmar (23). Angka itu menunjukkan bahwa dari 180 negara yang dinilai, Indonesia masuk ke dalam kelompok 1/3 negara-negara dengan indeks terbawah.

Hal itu membawa konsekuensi sulitnya memahami hubungan kausal antara penyebab korupsi dengan cara menyelesaikannya karena masalahnya juga berada di dalam konstruksi etika dalam penyelenggaraan kebijakan dan pemerintahan. Kebijakan pendidikan tinggi tampak semakin menjauhkan hubungan fungsional pendidikan tinggi dengan kebutuhan dan kehidupan masyarakat, terutama masyarakat miskin. 

Dengan kompleksitas permasalahan itu, untuk memecahkan persoalan kebijakan publik, perlu menggunakan pendekatan transdisiplin dengan menyertakan pengalaman dan pendapat masyarakat nonakademik, termasuk subyek yang langsung mengalami dampak (negatif) kebijakan pembangunan.

Misalnya, kebijakan publikasi ilmiah tidak harus menggunakan bahasa Inggris. Atau, dalam setiap lembaga pendidikan tinggi mempunyai tim transdisiplin yang bertugas mengartikulasi ulang hasil-hasil penelitian parsial menjadi penelitian untuk menyelesaikan masalah kontekstual dan transdisiplin, sesuai dengan kondisi tiap kasus. 

Saat ini kemajuan teknologi umumnya melayani kebutuhan efisiensi usaha besar. Strategi kongkret untuk mengatasi masyarakat miskin yang tertinggal belum cukup dapat mengatasi ketimpangan itu. Sementara proses penetapan kebijakan publik juga semakin tidak partisipatif.

Untuk mengakhiri kemerosotan ini perlu pendalaman aktivitas ilmiah melalui penguatan etika, juga dukungan politik, karena bukan hanya soal argumentasi yang menyebabkan perubahan, melainkan kemauan politik untuk bisa menghapus kepentingan yang kontraproduktif terhadap keberlanjutan dan keadilan.

Ikuti percakapan tentang pembangunan berkelanjutan di tautan ini

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Guru Besar Kebijakan Kehutanan pada Fakultas Kehutanan dan Lingkungan serta fellow pada Center for Transdiciplinary and Sustainability Sciences, IPB.

Topik :

Bagikan

Komentar



Artikel Lain