Untuk bumi yang lestari

Kabar Baru| 30 Agustus 2022

IPHPS dan Kulin KK Setelah KHDPK

IPHPS dan Kulin KK adalah bentuk perhutanan sosial di Jawa. Akan dicabut setelah KHDPK.

Seorang petani Sunda Hejo di Garut, Jawa Barat, menunjukkan pohon kopi yang ia tanam dalam areal hutan Perum Perhutani (Foto: Rifqi Fauzan/FD).

KEBIJAKAN KHDPK atau kawasan hutan dengan pengelolaan khusus akan berlaku di hutan Jawa. Pemerintah hendak mengambil alih 1,1 juta hektare kawasan hutan yang selama ini dikelola Perum Perhutani dengan total luas 2,4 juta hektare.

Ada enam tujuan KHDPK, salah satunya perhutanan sosial. Program ini sesungguhnya sudah berjalan di hutan Jawa, kecuali di Yogyakarta yang dikelola Kesatuan Pengelola Hutan (KPH). Bentuknya berupa izin pengelolaan hutan perhutanan sosial (IPHPS) dan pengakuan perlindungan kerja sama kehutanan (Kulin KK). 

IPHPS dan Kulin KK merupakan bagian dari lima skema perhutanan sosial, yakni hutan kemasyarakatan, hutan desa, hutan tanaman rakyat, hutan adat, dan kemitraan kehutanan. Kulin KK dan IPHPS merupakan bentuk kemitraan kehutanan yang khusus karena berada di areal Perhutani.

Jadi, apa beda Kulin KK dan IPHPS? Terletak pada skema, izin, dan latar belakangnya.

Menurut Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 39/2017, kedua skema perhutanan sosial di Jawa ini berupa pemberian akses kepada masyarakat sekitar hutan mengelola kawasan hutan untuk penghidupan mereka. Jangka waktu pengelolaannya 35 tahun, yang bisa diperpanjang, bisa diwariskan, tapi tak bisa dipindahtangankan.

Sesuai namanya, Kulin KK adalah skema pengelolaan hutan berupa kerja sama antara masyarakat sekitar hutan dengan Perhutani, baik di hutan produksi maupun hutan lindung. Masyarakat yang telanjur mengelola lahan Perhutani diizinkan mengajukan kerja sama kepada Perhutani sehingga aktivitas mereka menjadi legal.

Izin Kulin KK diterbitkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Namun, karena skemanya kerja sama, lembaga masyarakat desa hutan (LMDH) atau kelompok tani hutan (KTH) mesti menyepakati naskah kesepakatan kerja sama dengan Perhutani.

Dalam naskah itu ada pembagian hasil komoditas yang diusahakan masyarakat dengan Perhutani. Pada 2016, rasionya 25% petani dan 75% Perhutani. Setahun berikutnya, rasio berubah menjadi 30% untuk petani dari penghasilan bersih komoditas kehutanan.

Karena biasanya perhutanan sosial memakai pola agroforestri, yakni menggabungkan tanaman kehutanan dan pertanian, rasio penghasilan tanaman pertanian atau jasa lingkungan lebih besar untuk petani. Biasanya 80-90% untuk petani dan 10-20% untuk Perhutani atau KPH yang menjadi pemegang izin pemanfaatan hutan areal garapan tersebut.

Karena kerja sama, peran Perhutani atau KPH biasanya lebih dominan dibanding dalam IPHPS. Misalnya, dalam penentuan komoditas hutan yang dikembangkan oleh masyarakat. Di IPHPS, LMDH maupun KTH atau koperasi bisa lebih otonom dalam menentukan komoditas yang ditanam di lahan garapan mereka.

Sama seperti Kulin KK, masyarakat penggarap bisa mengajukan legalitas akses lahan yang mereka kelola kepada Perhutani. Ada dua syarat IPHPS: tutupan hutan kurang dari 10% dan kondisi sosial yang sulit dicarikan solusinya.

Kondisi sosial itu biasanya konflik tenurial antara masyarakat dengan Perhutani. Karena pelbagai sebab, BUMN ini tak bisa masuk memberikan solusi ke lahan hutan yang dikelola masyarakat itu. IPHPS, atau perhutanan sosial secara umum, dengan begitu menjadi resolusi konflik tenurial antara masyarakat dengan negara.

Luas lahan Kulin KK maupun IPHPS maksimal 2 hektare per kepala keluarga. Beda dengan Kulin KK, KTH atau LMDH yang memilih skema IPHPS tak memerlukan NKK dengan Perhutani. 

Selain tak bisa dipindahtangankan, lahan garapan itu tak bisa diagunkan ke bank sebagai jaminan kredit. Pemerintah sudah mengatur modal mengusahakan lahan hutan dalam skema perhutanan sosial adalah melalui kredit usaha rakyat melalui kelompok petani.

Setelah KHDPK berlaku, Kulin KK maupun IPHPS akan dilebur menjadi perhutanan sosial dengan tiga skema: hutan tanaman rakyat, hutan desa, dan hutan kemasyarakatan (HKm). Kulin KK dan IPHPS merupakan satu syarat lahan Perhutani masuk KHDPK karena dianggap setengah produktif.

Secara umum lahan perhutanan sosial tidak bisa dijual, tidak bisa diagunkan ke bank, diubah status kawasan hutannya, dan tak menanam kelapa sawit. Hingga pertengahan 2022, realisasi Kulin KK seluas 220.566 hektare untuk 458 kelompok dan 35.008 hektare IPHPS untuk 95 kelompok tani.

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Redaksi

Topik :

Bagikan

Terpopuler

Komentar



Artikel Lain