Untuk bumi yang lestari

Surat dari Darmaga| 29 Agustus 2022

Bisakah KHDPK Jadi Solusi Kelola Hutan Jawa

Bisakah KHDPK menjadi solusi pengelolaan hutan Jawa? Perlu pengelolaan kepentingan.

Soni Wahyudin, petani kopi Sunda Hejo di Garut, Jawa Barat.

ISU kawasan hutan dengan pengelolaan khusus (KHDPK) tengah menjadi perbincangan hangat di komunitas kehutanan. KHDPK adalah mandat Undang-Undang Cipta Kerja yang diturunkan lebih teknis oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan melalui Surat Keputusan Nomor 287/2022 pada April lalu.

Kebijakan KHDPK akan mengambil alih 1,1 juta hektare kawasan hutan Jawa yang selama ini dikelola Perum Perhutani. Artinya, hampir separuh lahan Perhutani akan diambil alih oleh pemerintah untuk enam tujuan: perhutanan sosial, penataan kawasan hutan dalam rangka pengukuhan kawasan hutan, penggunaan kawasan hutan, rehabilitasi hutan, perlindungan hutan, dan pemanfaatan jasa lingkungan.

Saya mengunjungi hutan tanaman dan hutan alam di ujung timur pulau Jawa pada pekan lalu. Di sini isu KHDPK juga mendapat tanggapan beragam. Saya menyimak yang pro dan kontra atas kebijakan ini. Rupanya teks peraturan dengan konteks yang berkembang di lapangan bisa berbeda jauh. Dari obrolan dengan petani kopi, penyadap getah pinus, dan masyarakat lain di pinggir pantai, saya mendapat catatan berikut ini:

Pertama, perihal hubungan antar pihak. Dengan segala keterbatasan informasi, pengelolaan hutan dengan modal sosial yang sudah tertata goyah karena masyarakat gamang ketika mendengar perubahan sebuah kebijakan. Mereka cemas dengan masa depan hubungan antara lembaga masyarakat desa hutan (LMDH) dengan pengelola hutan, baik Perhutani maupun kelembagaan KHDPK kelak. 

Masyarakat khawatir KHDPK akan merugikan mereka, meski mereka belum tahu wujudnya karena aturan-aturannya belum lengkap dan berlaku. Di masyarakat, kata “hubungan” punya makna substansial karena menjadi penopang kegiatan pengelolaan hutan.

Hutan di Banyuwangi ini cukup baik. Tutupan hutannya masih di atas 70%. Kebutuhan petani juga bisa dicukupi dari berbagai kegiatan pengelolaan hutan. Isu KHDPK membuat mereka cemas apakah kebutuhan yang tercukupi itu akan bisa terus.

Soalnya kebijakan KHDPK mengharuskan pemerintah menilai secara teknis letak, luas, dan batas areal serta kondisi tutupan vegetasi maupun kondisi perizinan dan persetujuan penggunaan kawasan hutannya, sesuai Pasal 473 Peraturan Menteri LHK Nomor 7/2021. Menurut peraturan itu, Menteri Lingkungan Hidup bisa meninjau ulang atau menetapkan revisi areal maupun peta KHDPK. Revisi ini tentu bisa mengubah pola hubungan yang ditafsirkan oleh masyarakat itu.

Soal aset hutan tanaman dan bentuk lainnya yang kini dikelola Perhutani, setelah KHDPK akan beralih kepada pemerintah. Ketentuan soal aset itu, baik oleh KHDPK maupun Perhutani, dilaksanakan melalui kemitraan kehutanan (Pasal 474), salah satu bentuk perhutanan sosial yang diatur Pasal 3 Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 9/2021. 

Dalam peraturan itu disebutkan bahwa mitra adalah masyarakat desa yang tinggal di sekitar hutan, baik di hutan produksi, lindung, maupun konservasi. Menurut aturan itu, Perhutani selaku pemegang persetujuan berusaha pengelolaan hutan (PBPH), wajib melakukan kemitraan dengan masyarakat.

Kedua, perihal kemitraan kehutanan Perhutani produktif (KKPP). Kebijakan itu telah menjadi perhatian masyarakat di wilayah timur pulau Jawa ini. Pada intinya kemitraan harus menjadi hubungan yang bersifat bisnis berbadan hukum. Walaupun mereka mengakui hubungan mereka dengan Perhutani itu bisa menjadi lebih baik, KHDPK adalah skema baru yang mungkin menyulitkan.

Dalam perbincangan personal dengan para petani terungkap bahwa kegamangan ini secara implisit terkait dengan adanya waktu dan biaya transaksi mahal yang telah biasa mereka hadapi. Yaitu ketika mereka harus mendapat pengesahan dari “pihak berwenang”. Seperti umumnya pandangan masyarakat sekitar hutan di wilayah lain, petani punya stigma soal biaya transaksi ini. 

Kedua hal di atas telah menjadi fakta sosial. Masyarakat mengantisipasi perubahan dengan pengetahuan dan pengalaman mereka sendiri, dengan informasi sebatas yang mereka terima. Sayangnya fakta sosial seperti itu cenderung kita dianggap bukan fakta. Padahal peraturan akan berjalan dengan baik bila sesuai dengan fakta sosialnya (Shore dan Wright, 1997). 

Ketiga, kesesuaian usaha. Di Banyuwangi, usaha jeruk dan buah naga serta ekowisata cukup prospektif. Tetapi komoditas ini tidak selalu bisa ditanam di kawasan hutan. Dus, komoditas ini perlu stabilitas harga. Untuk itu, mereka punya ide mendirikan pabrik pengolahan dan petani menjadi pemasok bahan bakunya. Harga porang kini sedang rendah, padahal ini komoditas unggulan masyarakat di sini.

Untuk itu, baik Perhutani dan pengelola KHDPK maupun pemerintah daerah kelak perlu bersinergi mengembangkan ekonomi bersama masyarakat. Sangat penting bila setiap pihak transparan dan akuntabel. Di beberapa wilayah, petani hutan dianggap eksklusif, tak seperti petani di lahan milik yang mendapat berbagai jenis bantuan dari dinas setempat.

Dalam proses transisi KHDPK ini, para petani juga minta stabilitas sosial sampai ke desa-desa, termasuk mengendalikan pendamping yang membawa pendapat berbeda soal kebijakan ini. Instabilitas dan informasi tak jelas membuat LMHD terganggu, apalagi jika ada elite organisasi ini yang memainkannya. Belum lagi soal oknum Perhutani yang memanfaatkan kerja sama dengan masyarakat untuk keuntungan pribadi.

Hal-hal seperti ini yang mengemuka di masyarakat ketika mendengar soal kebijakan KHDPK. Mereka memperkirakan keadaan itu terjadi jika KHDPK mulai berjalan sehingga penjarahan hutan bisa terjadi. Hilangnya kepercayaan akibat informasi simpang siur meluruhkan modal sosial pengelolaan hutan di Jawa yang selama ini sudah terbentuk.

Menyimak kekhawatiran masyarakat akan kebijakan KHDPK ini, saya jadi teringat perbincangan di Bank Indonesia Institute (BII) soal kelemahan kebijakan jika pemecahan masalah pembangunan hanya didasarkan pada obyektivitas di dalam pikiran.

Solusi biasanya lahir dari logika ekonomi, sosial, manajemen, teknologi hingga politik yang sudah tertanam di dalam pikiran pembuatnya. Obyektivitas pikiran itu secara kumulatif melahirkan rezim kebenaran. Rezim ini menjadi pembentuk rezim pengaturan (Watts dan Peluso, 2013).

Disebut “rezim” karena logika dan solusi yang dilahirkannya sering kali menjadi “perangkat pemaksa” sekaligus alat pembenar yang di dalamnya ada fungsi kekuasaan. Hal itu terjadi karena logika dalam kebijakan itu bisa turun dari atas ke bawah. Atau dari pimpinan ke anak buah, yang dipandu unsur perintah.

Dari sini fakta lapangan dengan asumsi berbeda yang menjadi syarat atas kesesuaian solusi menjadi terabaikan. Kehilangan fakta lapangan itu juga dikuatkan oleh alasan obyektivitas ilmiah atau keharusan sesuai peraturan.


Artikel lain tentang KHDPK, klik di sini.


Kini hal seperti itu jamak. Semua kegiatan harus sesuai dengan perintah, peraturan atau pedoman, padahal acuan itu bisa tak sejalan dengan kenyataan di lapangan. Karena pekerjaan harus dijalankan dan diselesaikan, ada “manipulasi” agar aturan seolah sesuai dengan fakta lapangan.

Dwayne Spradlin dalam “Are You Solving the Right Problem?” di Harvard Businees Riview mengajukan pertanyaan pokok yang biasanya tidak dikemukakan: untuk siapa dan apa ukuran keberhasilan pekerjaan kita? Apakah kita sedang menyelesaikan masalah yang salah? Apakah ada hambatan dalam menjalankan solusi? Apakah ada konflik kepentingan dalam menentukan masalah dan solusinya itu?

Dengan menimbang masalah dan solusi itu, terlihat masih adanya hambatan menjalankan pengelolaan hutan di Jawa. KHDPK dan Perhutani versi baru masih berupa gambar besar dan belum cukup menjadi alasan bisakah pengelolaan hutan di Jawa menjadi lebih baik dengan kebijakan baru ini.

Di lapangan, problemnya lain lagi: masih ada kepentingan berbeda para pengelola hutan. Tentu saja, jika KHDPK ingin berhasil, pemerintah mesti mengelola perbedaan-perbedaan itu sehingga kebijakan KHDPK bisa terimplementasi sesuai tujuannya.

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Guru Besar Kebijakan Kehutanan pada Fakultas Kehutanan dan Lingkungan serta fellow pada Center for Transdiciplinary and Sustainability Sciences, IPB.

Topik :

Bagikan

Komentar



Artikel Lain