Untuk bumi yang lestari

Surat dari Darmaga| 20 Juni 2022

Modal Sosial Rehabilitasi Hutan dan Lahan

Di masa krisis iklim, pemulihan hutan jadi program andalan. Resep dan contoh rehabilitasi hutan dan lahan yang berhasil.

Awi, hidup untuk menanam (Foto: Alif Fajar Sam Pangestu)

AGAR berhasil, membangun hutan harus melibatkan masyarakat, termasuk kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan (RHL). Secara empiris, rehabilitasi hutan memerlukan kepastian lahan, bibit pohon berkualitas, serta para pihak yang mendukungnya. Tanpa tiga faktor ini rehabilitasi biasanya gagal. Sebab, secara konseptual, mereka yang terlibat dalam sebuah program harus terikat oleh kesamaan norma maupun tumbuhnya rasa saling percaya serta adanya jaringan di antara mereka. Francis Fukuyama menyebutnya “modal sosial”. 

Modal sosial itu bisa terwujud melalui kekuatan simbolik maupun pengetahuan yang diakui  secara bersama. Kekuatan simbolik bisa berupa kewenangan, baik yang diekspresikan melalui ucapan ataupun tindakan, sehingga orang lain melihat dan mempercayai implementasi kewenangan itu (Bourdieu, 1989). Dalam konsep ini, individu yang memiliki kekuatan simbolik punya kemampuan mempengaruhi orang lain dan untuk melegitimasi penalaran maupun interpretasi tertentu. Sedangkan pengetahuan yang diakui bersama terlihat dari hasil proses membangun konsensus atau mengembangkan pemahaman melalui transfer pengetahuan di antara orang-orang untuk memutuskan suatu kegiatan demi kepentingan bersama (Chwe 1999).

Dengan konsep itu, saya melihat penciptaan tindakan kolektif mewujudkan keberhasilan rehabilitasi hutan, selain hasil perhitungan rasional oleh individu yang terlibat, juga hasil hubungan kekuasaan maupun struktur sosial. Hal itu berarti bahwa pelaksanaan swakelola lebih mungkin berhasil daripada dilakukan oleh pihak ketiga, karena dalam pelaksanaan swakelola lebih memungkinkan terwujudnya modal sosial. Konsep itu berbeda sama sekali dengan konsep hukum maupun administrasi, seperti yang dijalankan oleh pihak ketiga, yang percaya bahwa keberhasilan pelaksanaan rehabilitasi hutan akibat berjalannya regulasi dan pedoman pelaksanaannya sebagaimana yang seharusnya.

Benarkah keyakinan itu terbukti? 

Saya menulis artikel ini di perjalanan pulang dari kawasan hutan lindung Gunung Balak di Lampung. Kawasan ini luasnya 22.000 hektare. Di wilayah yang sudah tidak berhutan sudah berdiri permukiman dengan berbagai jenis kebun. Masyarakat tinggal di sini selama puluhan tahun. Pada awalnya, mereka menginginkan wilayahnya dikeluarkan dari kawasan hutan negara karena itu mereka menolak perhutanan sosial, program pemerintah sebagai solusi legal bari permukiman di kawasan hutan negara.

Sebab, konflik dan hubungan kurang harmonis antara masyarakat dan negara berlangsung tegang. Selama puluhan tahun, program rehabilitasi hutan yang sesuai dengan regulasi dan prosedur tidak pernah berhasil. Beberapa petani yang saya wawancarai mengatakan bahwa dalam satu dasawarsa terakhir—pada saat mereka menolak program RHL—mereka secara mandiri melakukan penggantian komoditas unggulan di area yang mereka tanam.

Sejak 2017, mereka mengembangkan varietas alpukat lokal dari Lampung Timur, tetapi saat itu hanya sedikit orang yang berminat. Masyarakat menyebut diri “kelompok petani” sebagai anti thesis terhadap kelompok petani lainnya yang dihela pemerintah, yaitu “kelompok tani”. Menurut mereka “kelompok tani” biasanya menerima bantuan. “Kelompok petani” punya keinginan mandiri.

Mengapa “kelompok petani” menolak bantuan? Ada stigma di masa lalu bahwa bantuan pemerintah acap dipotong karena rehabilitasi memakai pihak ketiga. Buruknya tata kelola rehabilitasi hutan sudah menjadi rahasia umum, dalam arti merebak di mana-mana. Saya menemukan hal serupa di masyarakat pemelihara ikan di Sumatera Utara maupun peternak di Kalimantan Timur.

Dalam rehabilitasi hutan sejak akhir 2020, Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BPDAS) setempat memakai skema swakelola dengan memulainya lewat pembangunan modal sosial. Dengan menerapkan strategi komunikasi serta menggali aspirasi masyarakat di bawah koridor regulasi, rehabilitasi hutan memperoleh berbagai bentuk kesepakatan untuk mewujudkan solusi menang-menang (win-win).

Pada awalnya, skema swakelola tidak mudah. Hanya sembilan petani yang ikut program ini. Dengan komunikasi terus-menerus, ada kesepakatan antara petani dan petugas BPDAS tentang jenis pohon rehabilitasi. Petani bisa menjual bibit alpukat sehingga kebutuhan jangka pendek mereka terpenuhi. Menunggu alpukat berbuah 10-15 tahun. Terpenuhinya kebutuhan jangka pendek dari rehabilitasi mendorong petani lain bergabung dengan program ini.

Dari sini saya melihat rehabilitasi hutan akan menjadi program yang secara sukarela dikerjakan masyarakat bisa memberikan manfaat yang masuk akal. Petani dengan sukarela menanggung risiko dalam program itu. Pada akhirnya, tidak saja mereka akan bekerja keras dalam program tersebut, mereka bahkan bersedia berinvestasi untuk menaikkan kualitas tanaman dan memeliharanya. Saat ini tak kurang 1.000 petani di sembilan desa yang ikut dalam program rehabilitasi.

Tumbuhnya modal sosial itu menaikkan kepercayaan petani kepada negara. Petugas BPDAS tidak meminta petani langsung mengganti komoditas pertanian—berupa pisang, jagung, atau singkong—menjadi kehutanan di awal program. Petani diminta mempertahankan jumlah pohon 400 batang per hektare, dengan mengganti jarak tanam dari 5 x 5 meter menjadi 10 x 2,5 meter 

Dengan cara seperti itu, “strategi tahap antara” komoditas berkembang sendiri di tempat lain dengan tanpa difasilitasi secara langsung oleh petugas BPDAS. Manfaat lain masyarakat telah mempersiapkan diri mengajukan persetujuan perhutanan sosial. Itu berarti, tidak seperti sebelum menjadi peserta rehabilitasi hutan, mereka bersedia mengakui keberadaan hutan negara. Mereka mengakui kewenangan simbolik BPDAS yang menjadi wakil negara.

Dengan cara yang mirip, di Lampung juga sedang berlangsung rehabilitasi hutan dan lahan mangrove memakai sistem “rumpun berjarak”. Rehabilitasi mangrove tetap memberi ruang penangkapan ikan oleh nelayan. Rehabilitasi lahan di mangrove Lampung didesain melalui pengembangan wisata alam. Yang mengejutkan, cara ini menarik generasi milenial.

Dari berbagai contoh itu, swakelola rehabilitasi hutan mampu membentuk dan menguatkan modal sosial. Strategi komunikasi yang tepat adalah teknik mencapainya. Tujuannya menumbuhkan rasa saling percaya melalui reputasi program dan aparatur negara. Dengan begitu, stigma masa lalu soal kegagalan terhapus, aturan dan regulasi kembali dipercaya, bahkan masyarakat mengajukan usul-usul baru dalam hal anggaran, aturan, dan pedoman rehabilitasi hutan. 

Hibah dan anggaran berkembang menjadi investasi. Ini sekaligus menjawab pertanyaan mengapa secara umum swasta lebih berhasil membangun hutan tanaman. Karena mereka secara alami memperlakukan biaya membangun hutan sebagai investasi. Orientasi pada hasil akhir ini terbukti memberi insentif menggunakan cara-cara profesional daripada sekadar mempertanggungjawabkan penggunaan anggaran.

Tipologi program rehabilitasi hutan dan perhutanan sosial sama belaka. Keberhasilan keduanya sangat tergantung pada modal sosial masyarakat. Untuk itu, perlu sinergi pada kedua program ini.

Untuk memperkuat keduanya, perlu dukungan pengawasan yang fleksibel dalam hal penggunaan anggaran. Kesalahan penggunaan anggaran semestinya bukan ditentukan berdasarkan kesalahan alokasi dan besarannya—seperti acuan selama ini. Rehabilitasi hutan tidak seperti membangun hutan tanaman yang standar kerja dan anggarannya bisa ditentukan. Sebaliknya, rehabilitasi hutan memerlukan inovasi dan penyesuaian kondisi lokasi program.

Kebutuhan ini memerlukan kompetensi khusus para petugas lapangan yang sesuai dengan tipologi sosial dan lingkungan. Keberhasilan rehabilitasi hutan di Gunung Balak mungkin tidak bisa ditiru di tempat lain, tapi strategi dan paradigmanya bisa dipakai untuk wilayah-wilayah lain.

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Guru Besar Kebijakan Kehutanan pada Fakultas Kehutanan dan Lingkungan serta fellow pada Center for Transdiciplinary and Sustainability Sciences, IPB.

Topik :

Bagikan

Komentar



Artikel Lain