Untuk bumi yang lestari

Pojok Restorasi| 23 Juni 2021

Selangkah Lagi, Ekosida Jadi Kejahatan Kelima

Para ahli berhasil merumuskan definisi ekosida atau ecocide. Akan diajukan sebagai kejahatan berat kelima di Pengadilan Kriminal Internasional.

Deforestasi di Papua (Foto: Ardiles Rante/Greenpeace)

SETELAH mendiskusikannya selama hampir enam bulan, sesuai jadwal, para pakar hukum di seluruh dunia yang menjadi anggota panel PBB berhasil membuat rancangan definisi ekosida. Rancangan definisi ini akan diajukan ke pengadilan pidana internasional untuk diadopsi sebagai kejahatan kelima pelanggaran berat.

Para pakar hukum mengumumkan rancangan definisi ekosida pada 22 Juni 2021. Dalam rancangan itu ekosida adalah “tindakan melanggar hukum dengan pengetahuan ada kemungkinan besar kerusakan lingkungan yang parah dan meluas atau jangka panjang”.

Ide memformalkan ekosida sebagai kejahatan berat yang bisa diajukan di pengadilan internasional, salah satunya, datang dari inisiatif Yayasan Stop Ekosida. Krisis iklim yang berwujud pemanasan global yang terjadi saat ini akibat krisis ekologi sehingga inisiatif itu menjadikan perusakan lingkungan sebagai kejahatan berat. 

Ekosida diambil dari ecocide (eco = lingkungan, cide = pemusnahan). Idenya diambil dari genocide atau genosida (genos = ras). Genosida menjadi salah satu dari empat kejahatan berat di pengadilan internasional, bersama kejahatan perang, kejahatan terhadap kemanusiaan, dan kejahatan agresi.

Empat kejahatan berat itu tercantum dalam Statuta Roma bagian 2 pasal 5. Maka jika Pengadilan Kriminal Internasional, International Criminal Court (ICC), menerima gagasan dan definisinya, ekosida akan menjadi kejahatan kelima dalam Statuta Roma, dan menjadi hal baru sejak Pengadilan Nuremberg mengadili para pemimpin Nazi dalam kejahatan berat pada 1940. 

Kejahatan berat yang didefinisikan dalam Statuta Roma ditujukan untuk melindungi manusia. Sehingga ekosida juga berangkat dari pemusnahan lingkungan yang berdampak pada manusia di suatu wilayah. Maka pengertian perusakan alam, hutan, atau sebuah wilayah tertentu akan diukur dampaknya terhadap kelangsungan hidup manusia di sekitarnya. 

Gagasan ekosida sebagai kejahatan berat bukan hal baru. Pada 1972, Perdana Menteri Swedia Olof Palme menuntut Amerika Serikat telah melakukan ekosida karena memakai agen oranye, penaburan herbisida dalam perang Vietnam yang menghancurkan hutan-hutan dan ekosistem di sana. Tuntutan Palme di Konferensi Lingkungan PBB di Stockholm itu kemudian masuk dalam Statuta Roma, tapi tak diadopsi sebagai kejahatan berat seperti empat jenis kejahatan lainnya.

Menurut Profesor Philippe Sands dari University College London, yang ikut memimpin panel perumusan rancangan definisi ekosida, seperti dikutip The Guardian, mengatakan bahwa empat kejahatan berat lain fokus secara eksklusif pada kesejahteraan manusia. “Ekosida tentu saja mencakup itu tetapi memperkenalkan pendekatan non-antroposentris baru, yaitu menempatkan lingkungan di jantung hukum internasional, sehingga orisinal dan inovatif,” katanya.

Bagi Sands, hal terpenting dalam inisiatif mengajukan ekosida sebagai kejahatan berat adalah mengubah kesadaran publik untuk mengakui bahwa manusia berada dalam hubungan dengan lingkungan. “Kesejahteraan kita tergantung pada kesejahteraan lingkungan,” katanya. “Kita harus menggunakan berbagai instrumen, politik, diplomatik tetapi juga hukum untuk mencapai perlindungan lingkungan.”

Ketua panel lainnya, Dior Fall Sow, ahli hukum PBB dan mantan jaksa dari Senegal, mengatakan bahwa lingkungan terancam di seluruh dunia oleh kerusakan yang sangat serius yang membahayakan kehidupan orang-orang yang tinggal di dalamnya. Menurut dia, definisi ini membantu menekankan bahwa keamanan planet kita harus dijamin dalam skala global.

Beberapa negara pulau kecil, seperti Vanuatu di Pasifik, dan Maladewa di Samudra Hindia, menyerukan “pertimbangan serius” atas kejahatan ekosida pada pertemuan tahunan negara-negara pihak ICC pada 2019. Presiden Prancis Emmanuel Macron dan Paus Fransiskus mendukung gagasan ekosida masuk dalam kejahatan berat.

Banyak aktivis lingkungan dan pemimpin negara mengkritik cara kerja ICC yang tak tergerak menyelidiki kejahatan lingkungan skala luas. Pada 2016, para jaksa di pengadilan internasional menyatakan akan mengusut pelanggaran tersebut, namun tak kunjung terealisasi.

Sands bercerita bahwa rancangan definisi ekosida cukup alot dalam diskusi anggota panel. Beberapa anggota mendorong definisi yang secara eksplisit menyebutkan perubahan iklim. Tapi gagasan ini ditolak sebagian besar anggota panel karena latar belakangnya mempersulit negara dan perusahaan menentang definisi ini.

Pada akhirnya, definisi yang disepakati, menurut Sands, adalah “definisi yang menangkap tindakan yang paling mengerikan tetapi tidak menangkap jenis kegiatan sehari-hari yang begitu banyak dari tiap individu, tetapi mencakup masyarakat dan negara terlibat menjadi penyebab kerusakan lingkungan yang signifikan dan berdampak panjang”. 

Sands mencontohkan ekosida pada kecelakaan pembangkit nuklir yang lintas batas negara, tumpahan minyak skala besar, dan penggundulan hutan Amazon. Dalam skala kecil, ekosida berbentuk perburuan dan pembunuhan spesies yang dilindungi, seperti badak atau jenis harimau langka.

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Redaksi

Topik :

Bagikan

Komentar



Artikel Lain