Untuk bumi yang lestari

Surat dari Darmaga| 15 November 2020

Katanya Pemanasan Global, Tapi, kok, Saljunya Tebal?

Jika benar bumi semakin memanas, mengapa musim dingin menjadi semakin dingin dan hujan salju semakin tebal? Anomali cuaca yang menjadi bukti nyata perubahan iklim.

Hujan Salju pada 2 November 2020 di Ottawa, Kanada (Foto: Wiene Andriyana)

OTTAWA mengalami empat musim hanya dalam sepuluh hari. Salju pertama turun pada 2 November, dengan cuaca dingin hingga minus 120 Celsius. Angin menyertai hawa beku pada hari berikutnya. Esoknya suhu naik hingga 120 Celsius, bahkan mencapai 23—benar-benar seperti musim panas.

“Bonus” cuaca panas yang singkat pada Oktober dan November di negara empat musim dikenal dengan nama “indian summer”. Ketika saya menulis artikel ini, Ottawa kembali normal ke suhu musim dingin, yakni suhu 20 Celsius pada pagi. Perubahan-perubahan suhu yang begitu cepat membuat kami harus sering-sering mengecek prakiraan cuaca agar tak salah memakai pakaian.

Kadang-kadang kami salah memakai outfit karena prakiraan suhu tujuh hari ke depan menjadi tidak valid. Cuaca semakin sulit diprediksi. Variasi suhu bahkan cukup besar hanya dalam 24 jam.

Musim dingin tahun ini di Kanada diprediksi akan lebih ekstrem. Bukankah dunia sedang mengalami pemanasan global? Carbon Brief mencatat tahun ini sebagai tahun terpanas. Tapi mengapa musim dingin di Amerika Utara justru semakin dingin?

Kita perlu tahu bahwa iklim berbeda dengan cuaca. Iklim mengacu pada kondisi dalam jangka panjang, adapun cuaca lebih pada kondisi jangka pendek dan bisa berubah-ubah. Jadi, secara global iklim diperkirakan akan semakin menghangat suhunya dalam jangka panjang, namun cuaca berubah dan berbeda di berbagai tempat, dan semakin sukar diprediksi.

Termasuk berbagai bencana alam yang akhir-akhir ini sering terjadi di wilayah tropis, dan musim dingin yang ekstrem di belahan bumi lainnya. Artinya, ketika penduduk Kanada merasakan musim dingin yang lebih dingin pada waktu-waktu tertentu, suhu bumi tetap semakin panas.

Isu pemanasan global yang dipengaruhi oleh kegiatan manusia (anthropogenic global warming) dengan sorotan pada belahan kutub utara (Arktik) karena menjadi ukuran suhu global. Berbeda dengan wilayah kutub selatan (Antartika) yang tidak berpenghuni, kutub utara dengan suhu minus 400 Celsius masih dihuni oleh sekitar 4 juta orang (mayoritas suku adat) di kota-kota pada beberapa negara.

Di Kanada, sekitar 40% wilayahnya termasuk dalam wilayah lingkaran Arktik (seperti Northwest Territories, Nunavut, dan Yukon), yang dihuni sekitar 150.000 penduduk—kurang 1% dari total populasi negara ini.

Studi dalam Nature Communications menunjukkan menghangatnya kutub utara terjadi secara alamiah dengan laju 2-3 kali lebih cepat daripada rata-rata suhu global. Musim dingin lebih ekstrem dengan salju tebal yang semakin sering terjadi di beberapa wilayah Amerika. Ini disebut dengan fenomena Arctic amplification yang memicu anomali cuaca. Sementara studi Nature Geo Science menjelaskan dampak situasi ini pada produktivitas pertanian di wilayah Amerika Utara yang akan semakin menurun.

Walaupun kutub utara terletak jauh dari tropis, apa yang terjadi di sana akan terasa dampaknya secara global. Seperti dijelaskan dalam situs NASA, lautan es memiliki permukaan yang cerah, sehingga 50-70% energi yang datang direfleksikan kembali ke udara. Ketika lautan es meleleh pada musim panas maka permukaan laut menjadi berwarna gelap, dan 90% cahaya matahari pun diserapnya.

Dengan semakin menghangatnya lautan, temperatur global juga semakin meningkat. Ini berdampak dalam jangka panjang, karena perubahan di wilayah ini berpengaruh pada sirkulasi lautan secara keseluruhan.

Laporan oleh Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) pada 2019 yang berjudul Special Report on the Ocean and Cryosphere in a Changing Climate menjelaskan secara perinci dampak mengkhawatirkan menghangatnya dan melelehnya es di wilayah kutub utara terhadap kehidupan manusia dan hidupan liar. Laporan ini juga menekankan pentingnya pemantauan jangka panjang untuk mengelola risiko kejadian ekstrem el Niño dan la Niña dalam kaitannya dengan kesehatan manusia, pertanian, perikanan, terumbu karang, aquaculture, kebakaran hutan, kekeringan dan banjir.

Seperti di belahan bumi lain, negara-negara Arktik juga mengalami tantangan dalam mencari keseimbangan antara kepentingan ekonomi dan lingkungan hidup. Kegiatan eksplorasi pertambangan minyak dan logam untuk kepentingan ekonomi dan pembangunan sering kali berbenturan dengan kepentingan konservasi wilayah tersebut.

Penduduk Ottawa, Kanada, di Amerika utara mengeruk salju yang menebal di jalanan, 2 November 2020. Anomali cuaca akibat perubahan iklim membuat hujan salju tebal di belahan bumi utara, sementara stasiun-stasiun klimatologi mencatat tahun 2020 sebagai tahun terpanas sepanjang sejarah (Foto: Wiene Andriyana)

Satwa liar khas seperti beruang kutub, anjing laut, rusa kutub, karibu, dan paus semakin terancam akibat hamparan es semakin cepat mencair. Polusi dari pengeboran minyak juga mengancam mereka. Akibatnya, 4 juta orang berjuang hidup di tengah sumber daya yang terbatas—mereka bertahan agar tak tergelincir ke lautan yang semakin luas.

Kebakaran hutan di wilayah tropis maupun es yang meleleh di kutub utara, akan berdampak secara keseluruhan pada bumi kita yang satu ini. Salju tebal tak menunjukkan bumi mendingin, justru anomali cuaca akibat perubahan iklim tersebab keragaman hayati yang semakin menipis karena aktivitas manusia dalam bertahan dan mewujudkan kemajuan melalui pembangunan.

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Rimbawan tinggal di Kanada. Menyelesaikan pendidikan doktoral dari University of Natural Resources and Life Sciences Wina, Austria, dengan disertasi dampak desentralisasi terhadap tata kelola hutan di Jawa

Topik :

Bagikan

Komentar



Artikel Lain