
KERUSAKAN lingkungan merupakan resultante dari banyak tindakan individu dan kelompok, juga aturan, prosedur, undang-undang, dan niat serta tujuan di baliknya. Secara hukum, sebuah tindakan merusak lingkungan dinyatakan bersalah karena secara aturan tertera begitu. Hukumannya pun telah tersurat dalam segala aturan tersebut.
Masalahnya, dampak kerusakan tak terjadi begitu saja. Kerusakan yang merugikan publik acapkali karena penyebab tidak langsung berupa akumulasi dampak. Butuh waktu lama untuk bisa kita sebut sebuah tindakan atau undang-undang merusak setelah dampaknya terlihat puluhan tahun. Kerusakan lingkungan hidup berlangsung seperti itu. Akibatnya, tindakan awal atau pembuatan aturan yang memicunya tak bisa masuk kategori pelanggaran.
Maka pernyataan “pembuat kebijakan tidak bisa dihukum” bisa diterima secara hukum. Sebab, pembuat kebijakan melakukan tindakan berdasarkan aturan, meski kebijakannya itu berdampak negatif pada lingkungan.
Dalam pemanfaatan hasil hutan berupa kayu, seluruh tindakan dan aturannya berpijak pada Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang kehutanan. Hasilnya bisa kita lihat sekarang: hutan alam produksi seluas lebih dari 30 juta hektare menjadi tidak produktif. Dampak lingkungan dan sosialnya bahkan melebihi nilai kerusakan hutannya.
Kebijakan pengembangan perusahaan tambang dan perkebunan sawit juga berpijak pada undang-undang dan hasilnya menjadi salah satu sumber penyebab kerusakan hutan alam.
Maka benarkah kebijakan-kebijakan itu tidak melanggar hukum? Apakah ilmu pengetahuan menyokongnya hanya karena tindakan merugikan itu berpijak pada hukum yang kita sepakati bersama?
Dalam Climate Change Criminology yang disunting Andrew Millie (2018), Rob White menyimpulkan bahwa kejahatan adalah tindakan kriminal yang membahayakan dan berkontribusi pada pemanasan global. Bahkan tindakan menghalangi respons yang memadai untuk mencegah perubahan iklim juga termasuk kejahatan. Sebab, kesalahan seseorang selalu memerlukan tanggapan sosial
Dengan batasan seperti itu, kejahatan perubahan iklim berfokus pada peran sistem ekonomi politik dan mereka yang berkuasa sebagai pemicu pemanasan global atau mereka tak melakukan tindakan mencegahnya. Sebab, hukum dan ketertiban pada dasarnya dibentuk oleh kelompok dan kelas penguasa sosial, ekonomi, dan politik. Mereka punya kekuasaan menuju atau mencegah planet ini bertambah rusak.
Karena itu keadilan iklim bertumpu pada pertemuan antara degradasi lingkungan dan ketidakadilan sosial. Dalam sebuah komunitas, kelompok kepentingan terkuat akan mengeksploitasi sumber daya alam untuk keuntungan mereka sendiri sekaligus memiliki sumber daya untuk menjauhkan diri dari efek terburuk dampak eksploitasi yang mereka lakukan. Sementara kelompok miskin dan rentan menjadi tidak punya pilihan ketika menghadapi kerusakan lingkungan dan dampak-dampaknya.
Dalam pidato di Global Warming Policy Foundation London pada Oktober 2017, Mantan Perdana Menteri Australia Tony Abbott mengatakan bahwa kolusi politikus dan pengusaha berupa persekongkolan mencegah sebuah tindakan yang memicu perubahan iklim. Hasilnya adalah kelambanan menangani faktor-faktor kunci yang berkontribusi terhadap pemanasan global, seperti pengurangan emisi karbon
Dalam kelambanan itu, liputan wartawan juga dihalangi. Di waktu bersamaan, ada teknik “pencucian hijau” agar kolusi itu tampak bertanggung jawab terhadap lingkungan. Para aktivis dan kritikus mendapat ancaman hukum agar tak mengungkap kolusi itu. Mereka yang berkuasa dan punya sumber daya memiliki banyak cara untuk melindungi dan memproyeksikan kepentingannya (White dan Heckenberg, 2014).
Dengan ciri penguasa seperti itu, mereka yang memiliki kepentingan kuat, seperti para pelobi bisnis, menjadi perumus suatu undang-undang. Omnibus law Undang-Undang Cipta Kerja menjadi semacam resultante apa yang disebut Abbot maupun buku Millie.
Undang-undang ini merayakan keringanan hukuman bagi pelanggaran-pelanggaran yang merusak lingkungan. Para kriminolog menyebutnya sebagai “bahaya sosial” karena sebuah aturan mencoret penegakan hukum untuk mencegah kerusakan alam. Dalam UU Cipta Kerja, misalnya, hukuman pidana bagi penyusun dokumen analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal) yang tak memiliki sertifikat kompetensi dihapus.
Andrew Millie menyebutnya “malum in se”, frasa Latin yang merujuk pada perilaku yang secara inheren keliru, terlepas dari peraturan atau undang-undang membenarkannya. "Malum in se" berkebalikan dengan "malum prohibitum", sebutan untuk kesalahan karena memang dilarang aturan. Ukurannya adalah dampak dan kerugian publik dalam komunitas yang beradab.
Saya menilai pandangan seperti itu mestinya dikembangkan karena setidaknya ada dua alasan. Pertama, untuk menjawab pertanyaan di atas tadi: apakah tindakan merugikan yang tak dilarang undang-undang dibenarkan oleh ilmu pengetahuan? Jawabannya tidak. Ilmu pengetahuan tidak bisa direduksi makna pembenarannya dan dilepaskan dari persoalan keadilan sosial. Kedua, titik pangkal kebenaran yang terkait lingkungan hidup harus berpijak pada etika yang melampaui kebenaran hukum.
Jangan sampai tanah subuh dan air bersih kelak menjadi barang langka karena negara dan politik melupakan sendi-sendi etika dan keadilan sosial. Jika itu terjadi konflik akan semakin nyata dan tak terhindarkan.
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.

Guru Besar Kebijakan Kehutanan pada Fakultas Kehutanan dan Lingkungan serta fellow pada Center for Transdiciplinary and Sustainability Sciences, IPB.
Topik :