Untuk bumi yang lestari

Kabar Baru| 29 Maret 2023

Hutan Rakyat: Seksi Tapi Rentan

Indonesia menengok kembali pengelolaan hutan rakyat. Lebih lestari.

Sebuah tempat penampungan kayu dari hutan rakyat di Gunung Kidul (Foto: Dok. FD)

DALAM undang-undang, tak ada definisi tegas tentang hutan rakyat. Istilah ini mengacu pada Undang-Undang Nomor 5/1967 yakni hutan milik dan UU 41/1999 yaitu hutan hak. Maka ketiga istilah hutan rakyat, hutan milik, dan hutan hak semestinya mengacu kepada objek yang sama.

Definisi hutan rakyat muncul dalam Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 49/1997 yang menyebutkan hutan rakyat adalah hutan yang dimiliki oleh rakyat dengan luas minimal 0,25 hektare, penutupan tajuk tanaman berkayu dan atau jenis lain yang melebihi 50% atau jumlah tanaman pada tahun pertama minimal 500 tanaman per hektare. 

Konstruksi Kayu

Pengelolaan hutan rakyat memiliki sejarah panjang, berkembang mulai masa Hindia Belanda, sekitar tahun 1930. Di perdesaan, penduduk menanam pohon penghasil kayu di pekarangan. Pada masa kemerdekaan, pemerintah Indonesia pada tahun 1950-an mengadakan program Karang Kitri, yaitu penanaman tanaman keras pada lahan kritis, seperti di lereng curam, lahan sekitar mata air, dan lahan yang tidak ditanami tanaman semusim.

Selanjutnya di tahun 1960-an, pemerintah mengadakan program penghijauan untuk meningkatkan produktivitas lahan, mengelola tata air dan sebagai sumber bahan baku kayu dan non-kayu bagi masyarakat. Dalam perkembangan berikutnya, keberadaan hutan rakyat kurang menjadi prioritas pemerintah. Pemerintah lebih fokus kepada hutan alam yang dikelola berdasarkan HPH (Hak Pengusahaan Hutan). Saat ini hutan milik mulai menjadi perhatian kembali karena pengelolaannya lebih lestari dan memberikan kontribusi ekonomi bagi masyarakat.

Pada awalnya, hutan rakyat dikelola dengan sistem perhutanan sosial di samping hutan desa, hutan kemasyarakatan, hutan tanaman rakyat, hutan adat, dan kemitraan kehutanan.

Dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 83/Tahun 2016, perhutanan sosial didefinisikan sebagai sistem pengelolaan hutan lestari yang dilaksanakan dalam kawasan hutan negara atau hutan hak/hutan adat oleh masyarakat setempat atau masyarakat hukum adat sebagai pelaku utama untuk meningkatkan kesejahteraannya, keseimbangan lingkungan dan dinamika sosial budaya. Pengembangan program perhutanan sosial setelah tahun 2016 selanjutnya difokuskan pada hutan milik negara.

Pemerintah menargetkan 12,7 juta hektare kawasan hutan dikelola masyarakat melalui lima skema perhutanan sosial pada 2015-2019, yaitu: hutan desa, hutan kemasyarakatan, hutan tanaman rakyat, hutan adat, dan kemitraan kehutanan. Angka 12,7 juta hektare tersebut setara dengan 10 persen luas hutan Indonesia.

Berbeda dengan hutan umumnya, hutan rakyat berada dekat dengan permukiman atau rumah penduduk pada kisaran 0-3 kilometer. Aksesnya yang mudah dijangkau, acap menimbulkan kerancuan antara hutan rakyat dengan lahan pertanian, perkebunan, atau pekarangan. Beberapa ciri hutan rakyat, antara lain:

  • luasnya relatif kecil, berkisar 0,2-1 hektare dan tidak selalu terletak pada satu hamparan;
  • hasil yang diperoleh sangat beragam dan tidak hanya sebatas kayu, tetapi juga bisa berupa bunga, buah, kulit, daun, rimpang, aroma, jamu-jamuan, rempah-rempahan, bumbu, jamur dan hijauan pakan ternak;
  • pemanfaatan kayu dilakukan sesuai keperluan dengan tebang pilih dan sebagian kecil saja dengan tebang habis;
  • permudaan bisa dilakukan secara buatan atau alami, vegetatif atau generatif;
  • pola tanam campuran dan terdiri dari berbagai jenis pohon, tanaman pangan dan rumput;
  • biasa berupa hutan dengan satu jenis tanaman pohon;
  • pengelolaan hutan bergantung kepada pemilik lahan;
  • hasil dari hutan milik tidak selalu bersifat tahunan atau musiman, namun dapat bersifat bulanan, mingguan bahkan harian.

Simon (1994) mengemukakan enam manfaat hutan rakyat, yaitu: meningkatkan produksi kayu dan hasil hutan non-kayu; meningkatkan peluang kerja dan akses pedesaan; memperbaiki sistem tata air melalui peningkatan kemampuan permukaan tanah menahan erosi; meningkatkan proses penyerapan karbondioksida dan polutan lain; menjaga kadar oksigen melalui proses fotosintesis dan sebagai habitat satwa.

Sebagai “open access area”, hutan rakyat dapat dikunjungi dari berbagai arah. Hutan rakyat menjadi seksi karena ‘lebih ramping’ dibanding hutan lainnya. Yang menarik, komposisi tanaman yang umumnya beragam akan memberikan pilihan luas kepada petani untuk ‘mendandani’ lahannya dengan berbagai tanaman. 

Komposisi umum hutan rakyat adalah pohon berkayu untuk penghasilan jangka panjang; tanaman perkebunan untuk penghasilan jangka menengah; dan tanaman semusim. Termasuk juga tanaman pagar lahan hutan sebagai sumber pakan ternak kandang. Komposisi tersebut dikenal dengan sistem agroforestri yang memberikan penghasilan harian, musiman, dan tahunan. Penghasilan tahunan ini menjadi tabungan bagi petani karena pemanenan kayu dengan cara tebang butuh atau pohon ditebang karena adanya kebutuhan uang atau dikenal dengan istilah slash for cash.

Statusnya sebagai lahan milik membuat hutan rakyat rentan dan bergantung kepada kehendak pemiliknya. Pergantian jenis tanaman bisa tidak menguntungkan. Jika tanaman penggantinya adalah tanaman perkebunan atau hortikultura, penciri sebagai hutan sudah hilang dan tidak bisa lagi disebut hutan. Lahannya juga bisa beralih fungsi, misalnya menjadi permukiman atau dijual.

Secara kelembagaan, sejak dikeluarkannya kebijakan reposisi instansi yang membina pengembangan hutan rakyat, praktis petani kehilangan tempat bertanya terkait hutan rakyat. Sejumlah pemerintah kabupaten menghapus dinas kehutanan dalam struktur pemerintahan daerah secara bertahap sejak tahun 2017.

Kondisi kurang kondusif tersebut, tidak serta-merta menghapus keberadaan hutan rakyat, karena beberapa faktor, antara lain: adanya budaya menanam pohon, adanya kelembagaan kelompok tani hutan, adanya ketokohan petani hutan, adanya kebijakan instansi yang menginternalisasi hutan rakyat ke dalam program pengembangan ruang terbuka hijau (RTH) di lahan milik.

Pengelolaan hutan milik pada umumnya bersifat holistik, karena tidak memisahkan hutan dengan sumber daya lain. Pengelolaan tidak sepenuhnya bergantung pada formalitas hukum, karena pengelolaannya dilakukan berdasarkan tradisi dan secara informal berdasarkan pengetahuan kearifan lokal. Pengelolaan dengan sistem sosial ini mampu menopang keberadaan hutan rakyat sampai saat ini.

Penelitian saya di Sulawesi Selatan pada 2005-2020 terhadap pengelolaan hutan rakyat menemukan beberapa kendala dalam pengembangan hutan rakyat, yaitu: pemenuhan sebatas kebutuhan dasar masyarakat, hak kepemilikan, terbatasnya modal, terbatasnya informasi, terbatasnya pengetahuan, daur tanaman yang panjang dan kebijakan disinsentif.

Ikuti percakapan tentang hutan rakyat di tautan ini

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Peneliti ahli madya bidang sosiologi kehutanan Badan Riset dan Inovasi Nasional Makassar

Topik :

Bagikan

Terpopuler

Komentar



Artikel Lain