Untuk bumi yang lestari

Kabar Baru| 29 Juli 2022

Cara Amerika Mencegah Deforestasi

Amerika kembali ke Perjanjian Paris dalam mitigasi iklim. Banyak regulasi mencegah deforestasi.

Cara Amerika mencegah deforestasi

LIMA negara tujuan ekspor komoditas terbanyak Indonesia: Cina, Amerika Serikat, Jepang, India, dan Malaysia. Total ekspor ke lima negara ini sebesar US$ 122,8 miliar 53% dari total ekspor Indonesia selama 2021. Namun, jika dilihat dari volume, kecuali ke Cina, ekspor ke empat negara lain turun.

Artikel ini akan membahas soal bagaimana Amerika Serikat merumuskan kebijakan mencegah deforestasi. Sama seperti teropong atas kebijakan Uni Eropa di artikel sebelumnya, telaah atas kebijakan Amerika bisa membuat kita melihat lalu lintas komoditas dari sisi permintaan yang tak merusak lingkungan.

Pada Konferensi Iklim COP26 tahun lalu di Glasgow, Presiden Amerika Serikat Joe Biden menyampaikan komitmen negaranya turut serta dengan upaya global mengatasi perubahan iklim setelah empat tahun absen karena kebijakan lingkungan di bawah Presiden Donald Trump. Biden ingin membangun infrastruktur penting untuk memproduksi dan menyebarkan teknologi bersih. Biden telah berbicara dengan para ahli dan melihat potensi untuk masa depan yang lebih sejahtera dan adil.

Pada hari pertama menjabat, Presiden Biden memperlihatkan lima aksi mitigasi kriris iklim, yaitu (1) menyatakan AS bergabung kembali dengan Perjanjian Paris yang ditinggalkan Trump; (2)  mengumumkan an economy-wide net zero target selambat-lambatnya 2050; (3) meluncurkan Civilian Climate Corps baru sebagai bagian dari pemulihan pandemi Covid;  (4) mengadakan KTT Pemimpin Hari Bumi tentang Iklim; dan (5) menyampaikan isu iklim menjadi prioritas di G7. 

Meski begitu, jalur unilateral “administrative action on climate” dianggap sebagai tindakan administratif  “sepihak” dibatasi oleh hukum dan otoritas yang ada. Mayoritas hakim di Mahkamah Agung Amerika yang konservatif kemungkinan menafsirkan otoritas semacam itu secara sempit sehingga kemungkinan unilateral administrative action on climate akan ditentang.

Deforestasi tertulis besar dalam agenda iklim Biden. Pemerintah Amerika memprioritaskan diplomasi dan kemitraan berbasis kinerja. Saat menjadi kandidat Presiden, pada 2020, Biden berjanji jika terpilih, dia akan memobilisasi US$ 20 miliar untuk membantu melindungi hutan Amazon. Setelah terpilih, deforestasi menjadi prioritas utama dalam agenda diplomasi bilateral dengan Brasil menjelang KTT Iklim April 2021.

Lalu AS dan Inggris bergabung dengan Jerman dan Norwegia untuk mendanai pengurangan deforestasi di Peru. Pemerintah AS bermitra dengan Inggris, Norwegia, dan sektor swasta untuk memobilisasi pendanaan yurisdiksi REDD+ melalui koalisi The Lowering Emissions by Accelerating Forest (LEAF) dalam Leaders Summit on Climate.

AS memiliki sejarah keterlibatan aktif dalam isu perdagangan yang mendorong kerusakan sosial dan lingkungan. Misalnya, dalam isu perdagangan kayu ilegal dengan amendemen Lacey Act 2008. Pada 22 Mei 2008, Kongres AS mengesahkan sebuah undang-undang baru yang melarang perdagangan tumbuhan dan produk dari tumbuhan yang berasal dari sumber ilegal—termasuk kayu dan produk kayu.

Lacey Act telah menjadi preseden dalam perdagangan global untuk tumbuhan dan produk dari tumbuhan, yang mengakui dan mendukung upaya negara-negara lain dalam mengatur sumber daya alamnya sendiri dan memberikan dorongan yang kuat bagi perusahaan-perusahaan yang memperdagangkan komoditas-komoditas dari tumbuhan untuk melakukan hal yang sama.

Perangkat AS yang bergerak seperti Department of the Interior’s Fish and Wildlife Service (FWS) AS, dengan keahliannya melakukan investigasi kasus-kasus impor dan penyelundupan satwa liar; juga Department of Agriculture’s Animal Plant Health Inspection Service (APHIS) yang mempunyai tanggung jawab terhadap importasi tumbuhan, berperan penting dalam memproses laporan-laporan deklarasi dan melakukan investigasi atas kasus-kasus impor kayu illegal; dan Department of Homeland Security, yang mengontrol bea cukai AS dan mengawasi perbatasan-perbatasan melalui Perlindungan Bea Cukai dan Perbatasan (Customs and Border Protection). 

Administrasi baru era Biden mendukung mengeksplorasi arah baru dan alat-alat baru yang tersedia untuk cabang eksekutif. Misalnya, perwakilan dagang AS yang baru Katherine Tai pada April 2022 menguraikan visi luas dan baru dalam menggunakan kebijakan perdagangan untuk memajukan tujuan iklim dan lingkungan. Pemerintahan Biden juga memprioritaskan ekonomi domestik dan pekerjaan di atas liberalisasi perdagangan yang berkelanjutan, ini menunjukkan potensi pembukaan untuk langkah-langkah perdagangan  dari sisi permintaan pada deforestasi.

AS adalah produsen kedelai, sapi, dan produk kayu global, sehingga umumnya hanya mengimpor sebagian kecil dari komoditas yang menurut mereka berisiko deforestasi seperti Indonesia dan Malaysia untuk minyak sawit masing-masing kurang dari 4% dan 3%. Mereka tidak mengimpor kedelai Brazil dan mendatangkan sedikit daging sapi dari Brazil.

Secara global untuk kakao, kopi, dan karet yang berisiko terhadap hutan, Amerika secara langsung mengimpor sekitar 12% dari ekspor biji kakao Pantai Gading dan Ghana pada tahun 2019; kopi Brasil dan Kolombia masing-masing 20% dan 44% ; dan 22% ekspor karet alam Indonesia. Total impor komoditas berisiko hutan melebihi US$3 miliar per tahun.

Ceritanya sangat berbeda untuk produk berisiko deforestasi seperti barang kulit, ban, dan cokelat, yang diimpor AS dari negara-negara pengolah yang sangat terpapar risiko deforestasi dalam sumber bahan baku mereka. AS mengimpor barang kulit senilai $6,5, $2,6 dan $2,5 miliar dari Cina, Vietnam, dan Italia.

Hal ini juga berlaku untuk impor ban Cina senilai US$2,5 miliar; US$1,6 dan US$1,4 miliar ban dan cokelat Kanada masing-masing; dan hampir US$600 juta cokelat Uni Eropa. Dalam hal produk risiko deforestasi sekunder ini, pada 2019 impor AS melebihi US$20 miliar.

Menurut Michael Wolosin (Forest Trend, 2021) perhatian publik dan media terhadap deforestasi di luar negeri sangat minim dan umumnya terbatas pada komunitas dan outlet berhaluan kiri di AS. Kemajuan kebijakan tentang deforestasi menjadi paling signifikan ketika ditangani sebagai bagian dari agenda kebijakan yang lebih besar.

Menurut Wolosin, dalam upaya kebijakan internasional AS saat ini, iklim adalah motivator prioritas tertinggi untuk mengatasi deforestasi, termasuk keanekaragaman hayati dan kejahatan terhadap satwa liar. 

Tanda-tanda yang paling harus diwaspadai dari tindakan sisi permintaan AS yang signifikan, terhadap deforestasi di tingkat federal, datang dari kongres dalam bentuk rancangan undang-undang yang dipelopori oleh Senator Brian Schatz (Demokrat Hawaii) dan Perwakilan Earl Blumenauer (Demokrat Oregon) California dan New York yang mempertimbangkan tindakan tingkat negara bagian dalam sesi legislatif baru-baru ini.

Rancangan undang-undang Schatz/Blumenauer memiliki empat elemen inti: 1) larangan mengimpor komoditas berisiko deforestasi tertutup yang diproduksi di lahan yang dideforestasi secara ilegal, menurut hukum negara asal atau setempat; 2) peningkatan ketelusuran/kewajiban uji tuntas terkait dengan persyaratan deklarasi baru untuk importir; 3) bekerja dengan negara-negara yang berkomitmen untuk menghapus deforestasi ilegal; dan 4) preferensi pengadaan federal untuk kontraktor bebas deforestasi. Yang ketiga sedang menjalani revisi, kemungkinan akan bergeser dari kemitraan seperti VPA FLEGT Eropa (dengan negosiasi bilateral formal) ke pendekatan penilaian risiko yang ditambah dengan dukungan untuk pengurangan risiko oleh mitra dagang.

Larangan impor komoditas pertanian yang bersumber dari lahan yang dibuka secara ilegal adalah inti dari RUU tersebut, dan dalam banyak hal serupa dengan amandemen Lacey Act 2008 yang melarang impor kayu ilegal. Instansi pemerintah AS akan memberikan panduan peraturan yang mencantumkan komoditas dan produk yang tercakup, dengan daftar awal yang ditentukan dalam undang-undang untuk memasukkan minyak sawit, kedelai, sapi, karet, pulp, dan kakao. Deklarasi yang dipersyaratkan kelas produk oleh HS kode yang sebagian besar terdiri dari komoditas tertutup.

Pembaruan setiap tahun akan dilakukan pada daftar produk akan bertujuan untuk memaksimalkan efektivitas tagihan (bill) sambil memperhitungkan beban administrasi ketika mempertimbangkan produk dengan jumlah komoditas yang semakin berkurang. Proses regulasi juga akan menetapkan dan memperbarui daftar negara berisiko tinggi secara berkala. Importir yang terdaftar di AS akan bertanggung jawab untuk memastikan bahwa pasokan mereka legal—dengan risiko hukuman perdata dan pidana jika tidak—dan akan diminta untuk memberikan deklarasi impor yang menyatakan bahwa mereka telah melakukan “kehati-hatian yang wajar (reasonable care)” dalam penentuan tersebut.

Importir komoditas yang terdaftar dari negara berisiko tinggi perlu memberikan informasi yang menunjukkan keterlacakan penuh dari rantai pasokan mereka dan bukti bahwa asal geografis tidak tunduk pada deforestasi ilegal.

Hal yang menarik pada RUU tersebut adalah “hanya akan berlaku untuk lahan yang terdeforestasi setelah RUU tersebut diundangkan”. Jadi bukan berdasarkan tahun sejarah atau baseline, seperti yang di berlakukan di Uni Eropa, dengan berbagai tindakan yang diperlukan secara bertahap selama lebih dari dua tahun. Ini memperlihatkan adanya keraguan negara-negara bagian AS untuk menurunkan kebijakan Biden pada regulasi penyediaan barang.

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Ketua Harian Dewan Kehutanan Nasional 2006-2012, penasihat senior Strengthening Palm Oil Sustainability (SPOS) Indonesia Kehati

Topik :

Bagikan

Komentar



Artikel Lain