Untuk bumi yang lestari

Surat dari Darmaga| 10 Januari 2022

Quo Vadis BRIN

Lembaga-lembaga negara yang mengurus penelitian bergabung dengan BRIN. Perlu satu modal dasar. Apa itu?

Riset BRIN (Foto: Media Modifier/Pixabay)

PENGGABUNGAN lembaga-lembaga negara yang mengurus penelitian ke dalam wadah tunggal Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menjadi perbincangan hangat akhir-akhir ini. Kritik dan penjelasan pimpinan BRIN yang reaktif menunjukkan tak ada pemikiran utuh dan dokumen komprehensif yang merumuskan arah BRIN.

Kegundahan para peneliti BRIN sendiri, menunjukkan ada ketidakjelasan masa depan lembaga ini dan para penelitinya. Atau sebetulnya arah BRIN sudah jelas hanya informasinya tak merata. Padahal, kapasitas sebuah lembaga tak hanya untuk mengakomodasi peraturan yang memaksa, lebih penting dari itu, rasa kebersamaan mentransformasikan perilaku menghadapi tantangan baru.

Sebab, inti perbaikan pemerintahan adalah mengubah perilaku. Hanya dengan perubahan perilaku, tujuan perbaikan bisa tercapai, karena perilaku menjadi satu syarat penting membuahkan hasil. Sumber daya yang melimpah tanpa perilaku pelaksananya yang sesuai dengan tujuan, visinya akan berakhir sia-sia.

Perubahan perilaku tidak bisa melalui perintah. Untuk berubah, orang tidak hanya berpikir rasional, tapi lebih banyak ditentukan oleh kelengkapan informasi, pemahaman, kesadaran, contoh keberhasilan, kepercayaan, pengaruh kelompok, kepemimpinan. Pemimpin yang partisipatif dan dapat dipercaya cenderung mudah mengubah perilaku anggotanya.

Paksaan mungkin bisa mengubah perilaku anggota sebuah organisasi. Tapi jika jumlahnya sedikit. Untuk organisasi besar, paksaan bisa menjadi bumerang. Celakanya, itulah yang acap terjadi. Maka lembaga berubah-ubah. Artinya, aturan coba memaksanya sehingga tidak ada perubahan perilaku anggota yang membuat kinerja lembaga tersebut buruk.

Pengalaman saya menelaah keberhasilan perubahan lembaga pemerintahan di daerah, antara 2016-2021, dalam program Nirwasita Tantra atau Green Leadership di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, faktor penentu tata kelola kelembagaan sangat penting dalam mengubah perilaku anggotanya.

Maka, meski sumber daya alam, sumber daya manusia, dan politik daerah berbeda-beda, tata kelola kelembagaan acap jadi penentu perubahan perilaku anggotanya sehingga tujuan peraturan akan tercapai. Revisi aturan atau pembuatan aturan baru menjadi sia-sia jika pelaksanaannya tak dievaluasi.

Perubahan sebuah lembaga tidak cukup penjelasan administratif, sekadar menggabungkan atau mengganti namanya. Setiap anggota lembaga harus memahami tujuan perubahan dan risiko yang akan mereka hadapi.

Soal BRIN, yang perlu jadi perhatian adalah komunitas peneliti punya karakteristik berbeda dengan karakteristik pegawai negara pada umumnya. Untuk itu, keleluasaan memikirkan sesuatu perlu dibedakan dengan kepatuhan akibat instruksi sebagai pegawai.

Di sini konflik kepentingan selalu muncul: peneliti perlu tunduk pada instruksi atasan, di saat yang sama, peneliti harus independen karena temuan mereka mungkin apa yang dilakukan lembaga tak sesuai dengan visi dan misinya.

Maka menetapkan norma menjadi penting karena akan menentukan semangat dan kualitas penelitian. Jika hasil penelitian terbuka bagi publik, seorang peneliti akan selalu ditantang mendapat fakta seakurat mungkin sebagai bentuk pertanggungjawaban. Tetapi bila hasil penelitiannya dirahasiakan, para peneliti tak punya dorongan melakukan studi dengan sungguh-sungguh.

Sayangnya, ekosistem penelitian seperti itu menggejala di berbagai lembaga pemerintah. Saya pernah menemukan peneliti dilarang mewawancarai masyarakat atau LSM.

Soalnya peneliti tidak ingin mendapat fakta yang bertentangan dengan kebijakan lembaganya. Bertrand Russell (1872-1970), filsuf dan ahli matematika Inggris yang memperoleh Nobel Sastra 1950, menyebut seseorang bisa menolak fakta dari setumpuk bukti bila fakta itu berlawanan dengan instingnya. Bila ia diberi fakta yang sesuai dengan instingnya, meskipun tidak memadai, mereka cenderung akan menerimanya. Dalam hal ini, insting itulah yang telah menjadi diskursus kelembagaan penelitian.

Kita belum mendengar, apakah sudah ada penetapan norma kemandirian peneliti dan pencegahan konflik kepentingan dalam penelitian BRIN. Padalah norma adalah inti kelembagaan. Lembaga tanpa norma bisa menjadi alat kekuasaan—sesuatu yang seharusnya jauh dari semangat lembaga penelitian seperti BRIN.

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Guru Besar Kebijakan Kehutanan pada Fakultas Kehutanan dan Lingkungan serta fellow pada Center for Transdiciplinary and Sustainability Sciences, IPB.

Topik :

Bagikan

Komentar



Artikel Lain