Untuk bumi yang lestari

Surat dari Darmaga| 22 November 2021

Komunikasi dalam Kebijakan Publik

Asumsi ada kebijakan otomatis ada pelaksanaan amat keliru. Untuk melaksanakan kebijakan KPH, misalnya, perlu strategi komunikasi bahkan kepada para pelaksananya.

Komunikasi dalam kebijakan publik (Ilustrasi: Mohamed Hassan/Pixabay)

SEKITAR 15 tahun lalu, Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) mulai dioperasionalkan di luar pulau Jawa. Waktu itu banyak yang mempertanyakan kedudukannya dalam struktur pemerintahan. Sebagai unit manajemen di tingkat tapak, posisi KPH dianggap ganjil.

Secara umum, lembaga negara selalu dikonstruksikan sebagai fungsi administrasi, bekerja berdasarkan peraturan dan pedoman, serta punya tugas dan fungsi yang tidak berubah. Sementara KPH bekerja berdasarkan jengkal-jengkal tapak bentang alam yang memperlakukannya sebagai kesatuan ekosistem.

Dengan berbagai perbedaan keadaan lapangan, kerja KPH semestinya tidak seragam, kecuali karena kebetulan sama. Waktu itu Kepala KPH tidak mesti pejabat eselon. Mereka diisi para profesional melalui kontrak dengan ukuran kinerja tertentu. KPH bukan administrator seperti KPH di Perhutani di hutan Jawa, melainkan berperan operasional untuk meningkatkan produktivitas hutan.

KPH menghubungkan misi nasional kehutanan dengan tujuan modal sosial masyarakat, serta menjadi outlet informasi lapangan—termasuk mengenai perizinan kehutanan—yang bisa dipakai sebagai dasar pengambilan keputusan pemerintah daerah maupun pusat.

Kita tahu hutan dan infrastruktur aksesnya tidak sama. Jika ada hutan yang tak diminati investor karena aksesnya susah, atau tak ada program perhutanan sosial karena satu sebab, KPH bisa mengambil inisiatif mengelolanya, dengan dana sendiri atau melalui kerja sama. Akibat konsep ini ada ungkapan populer “No KPH no budget”.

Kerangka kerjanya tak mendikotomikan kewenangan pusat dan daerah, tetapi untuk menguatkan pengelolaan hutan secara nasional. Basis pemikirannya karena pengelolaan hutan secara nasional tidak mungkin dilakukan hanya oleh pemerintah dan perusahaan seperti sebelumnya. 

Ada yang menganalogikan posisi KPH dalam hubungannya antara dinas kesehatan dengan rumah sakit. KPH seperti rumah sakit yang berisi “dokter” untuk meningkatkan produktivitas hutan secara langsung, bukan dinas kesehatan yang bersifat administratif. Dalam perjalanannya, analogi ini tak diadopsi sebagai kebijakan KPH.

Saya pernah membincangkan posisi dan fungsi KPH itu dengan seorang ahli kebijakan publik dan manajemen hutan dari Jerman. Ia setuju kebijakan KPH, yang katanya, mirip dengan di negaranya. Yang kurang ada pada soal komunikasi kebijakannya.

Di Jerman, bila ada kebijakan baru hampir selalu ada kelompok kerja yang bertugas sebagai “pemandu kebijakan”. Kelompok kerja itu memastikan kebijakan diinterpretasikan dan dijalankan dengan benar oleh para pelaksananya. Di Indonesia, ada asumsi ketika peraturan tersedia, pelaksananya otomatis mengerti, paham, dan pasti menjalankannya. 

Yan Fu, dkk (2018) membahas komunikasi kebijakan pembangunan ketika membaha soal konservasi energi di Cina. Ada dua catatan yang bisa kita pelajari:

Pertama, pemahaman kebijakan adalah proses kognitif di mana orang mampu berpikir tentang sebuah objek dalam suatu kebijakan dan secara sadar mampu mereproduksi informasi untuk disebarkan dari kebijakan itu.

Pemahaman kebijakan punya dua dimensi: pemahaman objektif dan subjektif. Pemahaman objektif berarti kelompok sasaran memahami manfaatnya, sehingga membutuhkan kebijakan, biaya, dan prosedur untuk mengimplementasikannya. Pemahaman objektif akan menghasilkan perilaku rasional bertindak sesuai maksud kebijakan tersebut.

Pemahaman subjektif juga disebut pemahaman yang dirasakan, yang berarti bahwa kelompok sasaran kebijakan tersebut memiliki “rasa manfaat” (self-efficacy) bila bertindak atas nama kebijakan tersebut. Pemahaman subjektif ini penting karena akan membantu menerjemahkan pemahaman objektif ke dalam tindakan berdasarkan manfaat yang mereka dapatkan.

Pemahaman subjektif akan mendorong pelaksana kebijakan menjalankannya bukan hanya karena kewajiban hukum, tetapi juga mempertimbangkan dayagunanya. Pemahaman objektif dan pemahaman subjektif saling terkait untuk menghasilkan pemahaman kebijakan secara menyeluruh.

Terkait KPH, selain belum ada pemandu kebijakan, juga ada pemahaman yang berbeda, terutama terhadap posisi dan kewenangan KPH, setelah Undang-Undang Cipta Kerja berlaku. Dar para pengurus KPH saya mendapatkan informasi bahwa lembaga ini belum terasa manfaatnya, terlepas dari adanya perbedaan interpretasi terhadap kebijakannya. Ini membuka peluang pelaksana kebijakan tak sungguh-sungguh melaksanakan konsep dalam kebijakan ini. 

Kedua, di sektor publik, sangat penting ada “pelatihan kebijakan” oleh pemandu kebijakan untuk menerjemahkan reformasi atau mengadopsi kebijakan baru. Bila adopsi kebijakan akan mendorong perubahan administrasi atau prosedur, organisasi ini perlu mempelajari teknologi dan keterampilan baru.

Untuk itu, pemerintah perlu menjalankan kebijakan komunikasi, untuk memfasilitasi serta membantu mengatasi kesulitan dan hambatan praktis implementasi kebijakan KPK. Komunikasi juga akan mengatasi keraguan dan kekhawatiran khusus terkait perubahan organisasi.

Dalam menjalankan komunikasi—yang lebih mendekati seni daripada ilmu—ada tiga pandangan yang layak diperhatikan:

“Untuk berkomunikasi secara efektif, kita harus menyadari tiap orang berbeda dalam cara memandang dunia.” Anthony Robbins 

“Komunikasi yang efektif adalah menyatakan 20% apa yang Anda tahu dan 80% tentang perasaan tentang apa yang Anda tahu itu.” Jim Rohn

“Hal terpenting dalam komunikasi adalah mendengar apa yang tidak dikatakan lawan bicara kita.” Peter Drucker

Ketiga, kajian mengenai komunikasi kebijakan pembangunan oleh Yan Fu, dkk, juga menunjukkan lekatnya komunikasi antara pemerintah dan perusahaan sebagai pembuat dan pelaksana kebijakan. Dalam survei Yan Fu, para pengusaha umumnya puas jika pemerintah menjelaskan arti, makna, dan implikasi istilah-istilah teknis. Juga ada tenaga ahli khusus dan profesional yang membimbing pelaksanaan kebijakan baru tersebut. Pendeknya, ada “pemandu kebijakan” di lapangan.

Komunikasi membutuhkan strategi dan program karena hubungan antar lembaga sebagai pelaksana kebijakan tidak bisa kita asumsikan berjalan secara linier: ada peraturan lalu ada tindakan melaksanakannya. Sosialisasi membuat pelaksana kebijakan paham sehingga bertindak secara sukarela melaksanakannya.

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Guru Besar Kebijakan Kehutanan pada Fakultas Kehutanan dan Lingkungan serta fellow pada Center for Transdiciplinary and Sustainability Sciences, IPB.

Topik :

Bagikan

Terpopuler

Komentar



Artikel Lain