Untuk bumi yang lestari

Surat dari Darmaga| 06 September 2021

Korupsi dan Robohnya Kebebasan Akademik

Kebebasan akademik adalah pilar demokrasi dalam peran masyarakat sipil. Bagaimana jadinya jika negara menggerogoti pilar utama universitas ini?

Korupsi dan robohnya kebebasan akademik (Ilustrasi: Pixabay)

DI balik kebebasan ada tanggung jawab. Setelah konstitusi menjamin kebebasan menyatakan pikiran, pendapat, dan sikap, tanggung jawab adalah cermin dari sistem nilai individu maupun kelompok dalam memakai kebebasan itu. Maka kebebasan akademik adalah sistem nilai yang mencerminkan values perguruan tinggi. 

Jika kita lihat kasus-kasus yang marak terjadi—tuntutan pidana kepada saksi ahli, ancaman terhadap peneliti korupsi atau pembela kepentingan lingkungan hidup, pemidanaan terhadap dosen yang protes atas kejanggalan proses di kampusnya—bisa kita golongkan sebagai benturan sistem nilai dalam kebebasan.

Dari waktu ke waktu, sayangnya, kasus-kasus seperti itu bertambah terus. Setidaknya menurut pantauan Transparansi International Indonesia pada 2018. Hal itu menunjukkan kehidupan sosial bermasyarakat secara umum berangsur-angsur kehilangan sistem nilai.

Dalam suatu kesempatan, seorang kolega pernah dengan riang mengatakan, “Saya mendapat bocoran Rancangan Undang-Undang Minerba”. Dalam keadaan normal, sebetulnya ini fakta yang ganjil. Sebab, seharusnya DPR membuka proses pembuatan undang-undang, sehingga masyarakat tak harus diam-diam mencari dokumen-dokumen yang sedang mereka bahas.

Kenyataan buruk seperti itu, kini menggejala di mana-mana. Akibatnya, sistem nilai yang buruk berkembang seakan-akan menjadi hal yang wajar bahkan seharusnya. Masyarakat tak harus bangga mendapat bocoran dokumen dari DPR karena itu merupakan hak kita mendapatkannya.

Demikian pula yang terkait dengan dagang jabatan. Data Komisi Pemberantasan Korupsi pada 2021 menunjukkan ada tarif dalam jual-beli jabatan di daerah. Untuk eselon III dan II, misalnya, harganya Rp 10 juta hingga Rp 80 juta, tetapi eselon II sebagai kepala dinas harganya Rp 400 juta. Menjadi kepala sekolah SD dan SMP harganya Rp 80 juta hingga Rp 150 juta. Guru mutasi dalam kabupaten Rp 15 juta hingga Rp 60 juta. 

Sementara seleksi pegawai di kementerian atau lembaga negara, 57% dilaksanakan secara tertutup. KPK menemukan proses tertutup itu di 34 kementerian, 39 lembaga negara, 78 lembaga negara nonstruktural, 34 pemerintahan provinsi, dan 508 pemerintahan kabupaten atau kota. 

Sekali waktu saya pernah berbincang dengan guru SMP di seputar pantai utara Jawa Tengah. Mereka bingung ketika mendapat tawaran menjadi kepala sekolah. Di samping tidak siap dengan uangnya, mereka tahu bahwa menjadi kepala sekolah harus selalu menyediakan berbagai fasilitas bagi orang-orang di instansi pengawas.

Keadaan ini tak jauh beda dengan sektor sumber daya alam. Penelitian Jacqui Baker (2020) dan Juniyanti pada 2021 mengungkapkan bahwa korupsi sektor ini bahkan ditopang oleh berbagai jaringan di semua tingkatan pemerintahan, dari pusat hingga desa lokasi sumber daya alam itu berada. 

Arena korupsi juga terjadi dilakukan hampir oleh semua aktor, termasuk lembaga pendidikan tinggi. Yang paling rendah, misalnya, konflik kepentingan. Akademisi banyak menjadi konsultan atau secara struktural menjadi komisaris perusahaan negara maupun swasta. Karena itu di kampus acap terjadi tak hanya ketegangan perbedaan pendapat akademik, tapi juga perbedaan kepentingan.

Kebebasan akademik pun menjadi taruhan. Saya melihat pertaruhan itu bukan sesuatu yang tetap, sebaliknya malah dikontestasikan.

Dengan mencermati kejadian-kejadian itu, kebebasan akademik pun menjadi tidak tersedia begitu saja. Pemimpin perguruan tinggi mesti memiliki leadership yang kuat untuk menegakkannya. Tapi kadang-kadang kebebasan akademik bisa mungkin terjadi jika seseorang dalam kampus punya jaringan yang memperkuat posisinya. 

Isu korupsi masih tergolong isu sensitif—atau dikondisikan sebagai isu sensitif—sehingga relatif tidak banyak yang bersedia mendukung gerakan antikorupsi. Padahal korupsi telah merambah penggunaan ilmu pengetahuan untuk kepentingan kelompok tertentu. Misalnya dalam percobaan pelaksanaan menangkap instrumen negara (state capture corruption) berikut ini.

Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Nomor 20/2003 tentang sitem pendidikan nasional menyebutkan “dalam penyelenggaraan pendidikan dan pengembangan ilmu pengetahuan pada perguruan tinggi berlaku kebebasan akademik dan kebebasan mimbar akademik serta otonomi keilmuan”.

Pada pasal 8 (3) Undang-Undang Nomor 12/2012 tentang pendidikan tinggi tertera “pelaksanaan kebebasan akademik, kebebasan mimbar akademik, dan otonomi keilmuan di perguruan tinggi merupakan tanggung jawab pribadi civitas academica yang wajib dilindungi dan difasilitasi oleh pimpinan perguruan tinggi”.

Dalam praktiknya, pasal-pasal itu tak berjalan untuk banyak kasus yang saya utarakan di atas. Penyebabnya kemungkinan konflik kepentingan. Pimpinan perguruan tinggi tidak membela atau mencari solusi atas masalah para dosen ketika mereka punya kepentingan berbeda—walaupun kepentingan itu cenderung personal, bukan kepentingan institusi.

Pasal-pasal penopang kebebasan akademik itu pernah coba dilucuti fondasinya dalam Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja. Rancangan ini menghapus sumber norma kebudayaan sebagai dasar pelaksanaan pendidikan, seperti tertuang dalam perubahan pasal 1 Undang-Undang Nomor 12/2012, serta perubahan prinsip penyelenggaraan pendidikan yang lebih mengikuti mekanisme pasar dengan menghapus pasal 63, yaitu prinsip nirlaba dalam penetapan otonomi pengelolaan perguruan tinggi.

Selain itu ada perubahan pasal 90 yang menghapus segala bentuk persyaratan perguruan tinggi asing. Ini berarti pendidikan diletakkan dalam konteks uang, investasi, dan perolehan laba serta hasilnya untuk memenuhi suatu proses produksi industri. Budaya, keadilan, dan kemanusiaan sebagai landasan pendidikan tidak menjadi penopangnya lagi.

Setelah gerakan sosial memprotes perubahan-perubahan itu muncul dari banyak kalangan, ketiga undang-undang yang terkait dengan pendidikan tinggi tersebut dicabut dari RUU Cipta Kerja, walaupun setelah disahkan masih ada satu pasal yang memungkinkan tujuan perubahan tersebut tercapai.

Dari kejadian itu kita jadi paham bahwa tekanan kepada perguruan tinggi berada di level pokok, yakni undang-undang. Karena itu kasus-kasus konflik kepentingan di kampus hanya dampak ikutan saja karena penyebab utama ketidakbebasan akademik adalah kebijakan negara.

Saya jadi ingat artikel George Monbiot “The Problem With Freedom”, dalam the Guardian 5 April 2017. Ia menulis bahwa kini kebebasan (melalui proses demokrasi) digunakan sebagai alasan untuk merobohkan perlindungan publik untuk menyenangkan orang yang sangat kaya.

Sebab, ketika perlindungan publik roboh, miliarder dan korporasi bebas dari hambatan demokrasi. Kita tampaknya sedang mengalami situasi ini. Dimulai dengan robohnya kebebasan akademik.

Ikuti perkembangan terbaru kebebasan akademik di tautan ini

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Guru Besar Kebijakan Kehutanan pada Fakultas Kehutanan dan Lingkungan serta fellow pada Center for Transdiciplinary and Sustainability Sciences, IPB.

Topik :

Bagikan

Komentar



Artikel Lain