
HUJAN lebat yang mengakibatkan banjir di Jerman, sejumlah negara Eropa, lalu merembet ke Cina, sementara hutan Amerika terbakar hebat, sementara gelombang panas di barat Kanada membunuh sedikitnya 1 miliar spesies satwa. Anomali ini adalah dampak krisis iklim yang begitu nyata. Bagaimana langkah konkret mencegahnya?
Kanselir Jerman Angela Merkel mengajak semua negara serius mempercepat penanganan dampak krisis iklim. Menurut Merkel, negara-negara lain tak cukup berbuat memenuhi target mengurangi emisi karbon dalam Kesepakatan Paris untuk mencegah suhu naik 1,50 Celsius dibanding masa praindustri 1800-1850.
Sementara di Indonesia, menurut Kepala Badan Meterologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati, gejala krisis iklim sudah terjadi. Salah satunya bisa dilihat dari fenomena iklim El Niño dan La Niña. “Secara statistik periode ulang terjadinya El Niño dan La Niña pada 1981-2019 cenderung berulang semakin cepat dibandingkan 1950-1980,” katanya.
Krisis iklim adalah buntut meningkatnya konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer. Menurut Dwikorita, konsentrasi gas rumah kaca tercatat paling tinggi dalam sejarah dengan CO2 mencapai 405,5 part per million (ppm), CH4 sebanyak 1.859 part per billion (ppb) and N2O (dinitrogen monoksida) mencapai 329.9 ppb. Artinya konsentrasi gas rumah kaca mencapai 146%, 257%, dan 122% di atas masa praindustri.
Sumber CO2 terbesar adalah perubahan fungsi hutan selain penggunaan gas alam, kilang minyak, pembakaran batu bara, dan kendaraan bermotor. Sektor terbesar penyumbang emisi sebesar 48% berasal dari perubahan fungsi hutan menjadi non-hutan. Menyusul karbon dari transportasi sebesar 21%, kebakaran sebesar 12%, limbah pabrik sebesar 11%, pertanian 5%, dan sektor industri 3%.
Karena itu ada tiga langkah konkret mencegah krisis iklim:
Pertama, mempertahankan kondisi hutan dan tutupan hutan yang masih ada. Instruksi Presiden Nomor 5/2020 tentang Penghentian Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut seluas 66,3 juta hektare adalah kebijakan tepat untuk upaya preventif menghentikan laju alih fungsi lahan.
Selain itu, izin-izin alih fungsi hutan melalui mekanisme pelepasan kawasan hutan dan izin pinjam pakai kawasan hutan (dalam PP 23/2021 diubah menjadi persetujuan pinjam pakai kawasan hutan), hendaknya diseleksi seketat mungkin, sehingga izin alih fungsi hutan hanya diprioritaskan pada kepentingan yang mendesak dan urgen saja.
Kedua, pengawasan dan perlindungan hutan lebih ditingkatkan lagi kualitas dan kuantitasnya sehingga mampu menekan laju deforestasi yang tiap tahun angkanya masih cukup tinggi, yakni 115.000-450.000 hektare. Dengan kampanye, pemerintah bisa mengingatkan bahwa pohon menjadi dewasa butuh waktu 15 -20 tahun. Sehingga masyarakat tak sembarangan menebangnya.
Ketiga, mengembalikan lahan kritis di dalam dan di luar kawasan hutan yang tidak mempunyai tutupan hutan menjadi kawasan hutan atau kawasan yang mempunyai tutupan hutan kembali. Caranya dengan mengintensifkan kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan. Dalam Rencana Strategis Direktorat Jenderal Pengendalian DAS dan Hutan Lindung KLHK 2020-2024, lahan kritis dalam kawasan hutan seluas 13,36 juta hektare pada 2018.
Lahan kritis terdiri dari:
- Hutan konservasi 880.772 hektare,
- Hutan lindung 2.379.371 hektare,
- Hutan produksi 5.109.936 hektare,
- Kawasan lindung pada areal penggunaan lain (APL) 2.234.657 hektare, dan
- Kawasan budidaya pada APL 3.763.383 hektare.
Lahan kritis dalam kawasan hutan punya andil besar dalam memproduksi emisi karbon khususnya pada hutan gambut yang rusak dan bekas kebakaran serta hutan mangrove. Menurut data terakhir total luas gambut di Indonesia 13,34 juta hektar, 2 juta hektar lebih di antaranya harus dipulihkan. Sedangkan luas hutan mangrove Indonesia 3,56 juta hektare, yang terdiri dari 2,37 juta hektare dalam kondisi baik dan 1,19 juta hektare yang rusak dan harus direhabilitasi.
Dengan melindungi hutan, kita juga akan diuntungkan karena biaya konservasi bisa menghasilkan uang melalui perdagangan karbon. Menurut Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Pandjaitan potensi perdagangan karbon berkisar antara US$ 82-100 miliar.
Meski belum mencairkannya dari janji akhir tahun lalu, Norwegia telah membeli usaha mencegah deforestasi sebesar US$ 58 juta untuk tahun 2016-2017 dengan jumlah karbon yang terhindarkan 11,23 juta ton setara CO2. Norwegia masih memverifikasi sejumlah hal sehingga tak kunjung membayarnya.
Ini membuktikan bahwa perdagangan karbon, sebagai salah satu cara mencegah dampak krisis iklim yang menguntungkan secara ekonomi, bukan perkara mudah. Krisis iklim di depan mata, setidaknya ada 10 dampak krisis iklim yang terjadi jika suhu bumi naik 1,5C dibanding masa praindustri 1800-1850 pada 2030.
BERSAMA MELESTARIKAN BUMI
Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.
Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.
Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.

Pernah bekerja di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
Topik :