Untuk bumi yang lestari

Kabar Baru| 31 Mei 2021

Pengelolaan Hutan di Jawa Setelah UU Cipta Kerja

Pengelolaan hutan di Jawa akan dilimpahkan ke pemerintah untuk program perhutanan sosial. Beberapa saran untuk masa transisi peralihan pengelolaan hutan dari Perhutani kepada masyarakat.

Petani kopi Sunda Hejo yang memanfaatkan lahan Perhutani di Garut, Jawa Barat (Foto: Rifky Fauzan/FD)

PROGRAM perhutanan sosial bermula dari perubahan paradigma pengelolaan hutan oleh negara menjadi pengelolaan hutan bersama masyarakat. Perhutanan sosial adalah cara baru mengelola hutan dengan fokus kesejahteraan masyarakat di sekitarnya.

Sejak 2004, pemerintah mendefinisikan bahwa pengelolaan hutan berbasis masyarakat berupa sistem pengelolaan sumber daya hutan pada kawasan hutan negara dan atau hutan hak, yang memberi kesempatan kepada masyarakat setempat sebagai pelaku dan atau mitra utama untuk mewujudkan pengelolaan hutan lestari. Prinsipnya adalah manfaat dan lestari, swadaya, kebersamaan dan kemitraan, keterpaduan antar sektor, bertahap, berkelanjutan, spesifik lokal dan adaptif.

Dalam periode 2015-2019 pemerintah mengalokasikan 12,7 juta hektare untuk perhutanan sosial melalui skema hutan desa, hutan kemasyarakatan, hutan tanaman rakyat, hutan adat, kemitraan kehutanan dalam bentuk pengakuan perlindungan kemitraan kehutanan (Kulin KK) dan IPHPS atau Izin Pemanfaatan Hutan PS di Pulau Jawa.

Perhutanan sosial lebih terlindungi setelah pemerintah mengesahkan UU Cipta Kerja yang telah diturunkan ke dalam Peraturan Pemerintah Nomor 23/2021 tentang penyelenggaraan kehutanan. Artikel ini akan mengupas khusus tentang perhutanan sosial di Jawa setelah PP itu berlaku dan rancangan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang menerjemahkannya secara lebih teknis.

Pasal 112 ayat (1) PP 23/2021 mengatur penetapan kawasan hutan dengan pengelolaan khusus (KHDPK) pada areal yang tidak dilimpahkan pengelolaannya kepada badan usaha milik negara bidang kehutanan. Objeknya sebagian hutan negara yang berada pada kawasan hutan produksi dan hutan lindung di Jawa Tengah, Jawa Timur, Jawa Barat, dan Banten.

Penetapan KHDPK di ayat 2 dilakukan dengan ketentuan: (a) tidak mengubah fungsi pokok kawasan hutan; (b) tidak mengubah bentang lahan pada hutan lindung atau hutan produksi; dan (c) penutupan hutannya bukan berupa hutan primer. Sehingga khusus di Jawa peralihan pengelolaan dari Perum Perhutani ke pengelolaan perhutanan sosial tidak akan mengubah fungsi hutan.

Dalam rancangan Peraturan Menteri tentang persetujuan pengelolaan perhutanan sosial pasal 174 ayat 1 ada penjelasan bahwa areal KHDPK di Jawa diperoleh dari lokasi IPHPS, areal peta indikatif areal perhutanan sosial (PIAPS), hutan lindung yang rusak, hutan produksi dan hutan lindung zona konflik tenurial, sebagian hutan produksi zona adaptif, areal pengakuan dan perlindungan kemitraan kehutanan, dan areal yang sudah dilakukan pengelolaan hutan atas inisiatif masyarakat. Pencadangan areal perhutanan sosial pada KHDPK ditetapkan oleh Menteri Kehutanan.

Penyerahan kembali lahan, aset dan pegawai Perhutani kepada pemerintah, akan timbul biaya seperti:

  1. Biaya infrastruktur birokrasi, mulai dari pengaturan di Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara, rasionalisasi pegawai ke Unit Pelaksana Teknis (UPT) pengelola perhutanan sosial di Jawa, biaya transisi dari pekerja BUMN ke aparatur sipil negara dalam pelayanan perhutanan sosial.
  2. Biaya infrastruktur fisik kantor, biaya pindah pegawai dan fasilitasnya.
  3. Biaya kelembagaan, pengaturan mekanisme kerja dan hal-hal untuk operasional UPT.
  4. Biaya pengelolaan aset yang diserahkan Perum Perhutani ke KLHK.
  5. Biaya masa transisi dari Perhutani ke proses persetujuan pengelolaan perhutanan sosial.

Konsekuensi lain pengalihan areal Perum Perhutani ke pengelolaan perhutanan sosial adalah berkurangnya pemasukan negara dari pajak lahan dan aset.

Sumber: Perhutani

Luas areal yang dikelola Perum Perhutani kini 2.435.920 hektare, terdiri dari hutan lindung 638.162 hektare dan hutan produksi dan hutan produksi terbatas seluas 1.797.759 hektare dengan nilai SPPT pajak bumi dan bangunan (PBB) pada awal 2020 Rp 192.111.404.165 atau rata-rata nilai jual objek pajaknya Rp 106.862 per hektare.

Dari penapisan Perum Perhutani, luasan hutan yang akan diserahkan kepada pemerintah untuk perhutanan sosial 874.598 hektare. Dari luasan tersebut, indikasi nilai PBB yang terdampak sebagai berikut:

  1. Indikasi Kelola Pemerintah

Indikasi luas areal yang dikelola oleh pemerintah seluas 874.598 hektare yang terdiri dari hutan lindung 382.957 hektare dan hutan produksi serta hutan produksi terbatas 491.641 hektare dengan nilai SPPT PBB pada awal 2020 Rp 47.074.024.041 atau rata-rata NJOP Rp 95.749 per hektare.

  1. Indikasi Kelola Perum Perhutani

Indikasi luas areal yang dikelola oleh Perhutani seluas 1.561.322 hektare yang terdiri dari hutan lindung 255.204 hektare dan hutan produksi dan hutan produksi terbatas 1.306.118 hektare dengan nilai PBB pada awal 2020 Rp 145.037.380.124 atau rata-rata NJOP Rp 111.045 (yang akan tetap dibayarkan oleh Perhutani ke negara).

Dari perhitungan tersebut potensi kehilangan pendapatan negara dari PBB per tahun sebesar Rp 47.074.024.041. Apakah pemerintah akan memberikan beban pajak ini kepada kelompok tani perhutanan sosial?

Dari sisi kelembagaan, perhutanan sosial di Jawa ini akan berada dalam areal KHDPK yang dikelola khusus oleh Unit Pelaksana Teknis yang ditetapkan oleh Menteri. UPT akan membentuk unit manajemen kewilayahan berbasis unit KHDPK. Tugas dan fungsi UPT salah satunya mengelola aset tanaman, sumber daya manusia dan aset lainnya yang berasal dari badan usaha milik negara bidang kehutanan. Kegiatan operasional sumber daya manusia dibiayai oleh Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH).

Agar berjalan mulus, perlu hal berikut ini di masa transisi maupun saat pelaksanaannya:

  1. Sosialisasi mekanisme baru dalam proses permohonan persetujuan pengelolaan perhutanan sosial melalui UPT;
  2. Permodalan yang mengupayakan bahwa hasil perhutanan sosial setidaknya menutup biaya operasional UPT dan kehilangan pemasukan negara karena kebijakan tersebut; dan
  3. Peningkatan kapasitas sumber daya manusia karena masa peralihan dari pegawai BUMN menjadi ASN pelayan atau pendamping PS. Diperkirakan sekitar 5.000 orang pegawai Perum Perhutani akan dilimpahkan kepada UPT khusus ini.

Terkait poin 3, SDM yang harus dikuatkan selain memahami pendampingan perhutanan sosial di Jawa, menurut pasal 208 ayat (1) PP 23/2021 bahwa persetujuan pengelolaan perhutanan sosial yang berada pada areal KHDPK melalui hutan desa, hutan kemasyarakatan, dan HTR. Pilihan tiga skema ini memerlukan pemahaman, penguasaan teknis, dan pendampingan prosesnya.

Secara khusus, UPT ini juga harus bisa memfasilitasi atau melayani "pengembangan usaha" untuk meningkatkan kemampuan lembaga perhutanan sosial dalam usaha pemanfaatan hutan.  Antara lain melalui bimbingan, supervisi, pendidikan dan latihan, penyuluhan, akses terhadap pasar, permodalan, dan pembentukan koperasi. Tujuh sektor yang tak mudah. SDM UPT mesti berpikir dan punya paradigma beyond persetujuan.

Perkembangan dari capaian Kelompok Usaha Perhutanan Sosial (KUPS) yang ada sekarang akan menjadi pembelajaran untuk tiga hal:

  1. Harus ada inovasi-inovasi baru yang bagus sebagai feedback dari pesatnya perkembangan perhutanan sosial di lapangan;
  2. Mulai masuk pada bisnis proses dengan berbagai skema yang akan meningkatkan produktivitas lahan setelah izin;
  3. Kesempatan dan peluang masuknya investasi hijau dari mitra-mitra pemerintah dan lapangan pekerjaan yang terbuka bagi masyarakat.

Oleh karena itu perlu ada transisi dari subsisten menuju komersial, sehingga harus ada peta jalan per komoditas, feed back di setiap milestones, dan proyek contoh. Karena itu perlu pelatihan untuk para pendamping perhutanan sosial secara massal dan membangun modul-modul pelatihan yang berdasarkan praktik.

Untuk mengurangi ketergantungan pada anggaran pemerintah dan memberikan masukan pendapatan negara yang hilang, perhutanan sosial di Jawa harus mengembangkan dan menggagas produk-produk yang bisa diekspor. Beberapa hal untuk menopangnya adalah:

  1. Kawasan yang bebas konflik dan kepentingan yang menjadi alas usaha perhutanan sosial,
  2. Mekanisme pembiayaan yang memerlukan peran perbankan dan green investment mitra pemerintah melalui BPDLH,
  3. Ekspor komoditas dengan skala usaha,
  4. BUMN yang menjadi pembeli komoditas dan produk perhutanan sosial,
  5. Produk-produk perhutanan sosial menjadi klaster komoditas tertentu, sehingga peta jalannya mesti dibangun melalui perencanaan bisnis yang realistis.

Terkait kelembagaan perhutanan sosial, ada dua hal yang harus dikembangkan:

  • Perusahaan induk bagi produk perhutanan sosial yang perlu rekognisi lembaga pemerintah dan masuk radar perbankan.
  • Tata kelola berada di bawah koordinasi gubernur sehingga perhutanan sosial masuk dalam perencanaan daerah termasuk anggarannya.

Ikuti perkembangan terbaru perhutanan sosial melalui tautan ini

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Ketua Harian Dewan Kehutanan Nasional 2006-2012, penasihat senior Strengthening Palm Oil Sustainability (SPOS) Indonesia Kehati

Topik :

Bagikan

Terpopuler

Komentar



Artikel Lain