Untuk bumi yang lestari

Surat dari Darmaga| 01 Februari 2021

Penyelesaian Konflik Tata Ruang

Konflik pemanfaatan ruang dan sumber daya alam tak kunjung selesai. Bisakah UU Cipta Kerja dan aturan turunannya menjadi solusi?

Areal bekas kebakaran hutan (Foto: Dok. SPI)

DALAM “Gone With The Wind”, yang mendapat penghargaan “Most Distinguished Novel of 1936”, Margaret Mitchell menulis, “Tanah adalah satu-satunya hal di dunia yang layak untuk dikerjakan, layak diperjuangkan, layak untuk mati, karena itulah satu-satunya hal yang bisa bertahan”. 

Kalimat itu sejalan dengan pengembangan ekonomi berbasis pengelolaan sumber daya alam atau sumber-sumber agraria: kepastian dan distribusi hak atas tanah menentukan efisiensi, produktivitas, maupun keadilan pemanfaatannya. Untuk itu berbagai masalahnya layak mendapat prioritas penyelesaian.

Baru-baru ini, Konsorsium Pembaruan Agraria merilis jumlah konflik selama pandemi virus corona + akumulasinya. Pada 2015-2020 konflik agraria mencapai 2.288 kasus. Pada 2020 jumlah konflik agraria di sektor perkebunan naik 28% dan sektor kehutanan naik 100% dibanding 2019. Secara keseluruhan masyarakat yang terdampak konflik sebanyak 135.332 keluarga. Jumlah konflik agraria secara langsung mengakibatkan 169 orang korban, 139 orang di antaranya mengalami kriminalisasi, 19 orang dianiaya, dan 11 orang tewas.

Konflik agraria tidak bisa dipisahkan dari pemakaian ruang secara keseluruhan. Pemanfaatan ruang selalu menyimpan persoalan struktural. Selain jadi penyebab, substansinya tak menjangkau akar persoalan konflik, juga membiarkan akumulasi pelanggaran yang pada akhirnya disebut “ketelanjuran”. Peraturan turunan Undang-undang Cipta Kerja seharusnya memperhatikan penyelesaian konflik ini.

Pada draf 11 November 2020 yang saya unduh pada 29 Januari 2021 di situs resmi Undang-undang Cipta Kerja, rancangan peraturan pemerintah (RPP) penyelesaian ketidaksesuaian antara tata ruang dengan kawasan hutan, izin dan/atau hak atas tanah, terdapat definisi ketelanjuran pada pasal 1 butir 16.

Ketelanjuran, menurut pasal itu, adalah kondisi di mana izin dan/atau hak atas tanah yang diterbitkan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang pada saat itu berlaku, namun menjadi tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku saat ini. pasal 1 butir 17 menjelaskan soal “pelanggaran”, yakni kondisi di mana izin dan/atau hak atas tanah yang diterbitkan tidak sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Dengan definisi seperti itu, kita bisa menafsirkannya seperti ini: apabila izin pemanfaatan ruang telah berlaku, dikuasai dan dimanfaatkan, serta pelaksanaannya sesuai dengan peraturan-perundangan sebelum kawasan hutan ditunjuk, maka pemerintah akan mengubah peruntukan kawasan hutan dan/atau perubahan fungsi kawasan hutan atau penggunaan kawasan hutan (Pasal 10, ayat 1).

Ketidaksesuaian hak atas tanah yang telah dikuasai dan dimanfaatkan sebelum kawasan hutan ditetapkan, dengan catatan penguasaannya sesuai aturan, akan diselesaikan dengan mengeluarkan bidang tanah tersebut dari kawasan hutan melalui perubahan batas kawasan hutan. Adapun ketidaksesuaian izin dan/atau hak atas tanah milik badan usaha dengan kawasan hutan yang tak sesuai aturan, penyelesaiannya dengan mencabut izin usahanya (Pasal 12).

Sementara dalam hal ketidaksesuaian antara izin atau hak atas tanah milik masyarakat dan/atau instansi pemerintah serta badan usaha dengan RTRWP dan/atau RTRWK perlakuannya dibedakan: apakah izin atau hak atas tanah tersebut melampaui atau tidak melampaui daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup. Apabila tidak melampaui, izin atau hak atas tanah masih berlaku sampai jangka waktunya habis. Apabila melampaui, pemerintah akan mengurangi atau menciutkan wilayah kerja izin. Sementara terhadap hak atas tanah melalui penyesuaian dengan RTRW (Pasal 11). 

Dalam Pasal 11 disebutkan untuk menyelesaikan ketidaksesuaian beberapa izin dan/atau hak atas tanah milik masyarakat dan/atau instansi pemerintah terhadap RTRWP dan/atau RTRWK dalam ketelanjuran, dengan syarat izin terbit di awal, tetap dipertahankan. Sedangkan izin yang terbit lebih akhir, melalui pengurangan/penciutan wilayah izin yang dapat disertai penggantian yang layak. Sementara hak atas tanah yang terbit lebih akhir melalui penyesuaian dengan RTRW.

Konflik agraria 2020

Untuk hak tanah milik masyarakat, ketidaksesuaian izin dan/atau hak atas tanahnya dengan RTRW tak sesuai aturan, penyelesaiannya melalui relokasi atau santunan oleh instansi pemberi izin dan/atau pemberian hak atas tanah untuk pemanfaatan ruang berupa permukiman. Namun apabila bentuknya bukan pemukiman, penyelesaian melalui pencabutan izin atas tanah dan diproses secara hukum. Begitu juga dengan hak atas tanah miliki instansi pemerintah.

Dengan pengaturan ketelanjuran seperti itu, ada tiga hal yang mesti menjadi perhatian:

Pertama, penyelesaian pemanfaatan ruang oleh RPP ini bersifat formal, berupa izin atau hak atas tanah. Padahal, kenyataannya, pemanfaatan hutan/lahan itu banyak yang tidak berizin atau tidak memiliki hak atas tanah. Dengan kata lain, penyelesaian penggunaan ruang tertutup bagi masyarakat lokal dan masyarakat adat, yang pelayanannya sejauh ini a masih terbatas.

Kedua, pengertian kawasan hutan dalam RPP ini tidak membedakan fungsi hutan, yaitu hutan produksi, hutan lindung, dan hutan konservasi. Padahal ketiganya punya tujuan dan fungsi berbeda. 

Perbedaan itu diatur dalam Undang-Undang Nomor 41/1999 tentang kehutanan dan UU Nomor 5/1990 tentang konservasi keanekaragaman hayati dan ekosistemnya. Ketentuan di kedua undang-undang itu, yang terkait dengan pembahasan ini, tidak diubah dalam Undang-undang Cipta Kerja.

Dengan begitu, ada potensi dualisme pengaturan antara peraturan pemerintah ini dengan peraturan pemerintah lainnya yang juga mengatur atau berkaitan dengan penyelesaian hak-hak atas tanah dalam kawasan hutan. Dualisme seperti ini berpotensi menjadi ajang negosiasi untuk menentukan risiko lebih ringan bagi subyek hukum yang beperkara.

Ketiga, beberapa ketentuan yang pelaksanaannya dikaitkan dengan status daya dukung dan daya tampung lingkungan akan menjadi hambatan apabila tidak cukup jelas siapa yang menentukan dilampaui atau tidak dilampauinya daya dukung dan daya tampung itu.

Rencana tata ruang itu sendiri bisa tidak memperhatikan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup walaupun telah didasarkan pada Kajian Lingkungan Hidup Strategis. Peraturan Daerah Nomor 10/2018 tentang rencana tata ruang wilayah Provinsi Riau tahun 2018-2038, yang dibatalkan oleh Mahkamah Agung melalui putusannya Nomor 63 P/HUM/2019, menunjukkan kenyataan tersebut.

“Beri aku enam jam menebang pohon, aku akan menghabiskan empat jam pertama untuk mengasah kapak,” ucapan terkenal Abraham Lincoln, Presiden ke-16 Amerika Serikat (1861-1865). Artinya membangun instrumen yang tepat dan tajam sebelum dipakai menjadi bagian sangat penting ketimbang melaksanakan tujuan instrumen itu.

Harapan masyarakat terhadap penyelesaian berbagai masalah tata ruang dan konflik ruang sangat besar. Regulasi seharusnya menjadi solusi penyelesaiannya.

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Guru Besar Kebijakan Kehutanan pada Fakultas Kehutanan dan Lingkungan serta fellow pada Center for Transdiciplinary and Sustainability Sciences, IPB.

Topik :

Bagikan

Komentar



Artikel Lain