Untuk bumi yang lestari

Pojok Restorasi| 20 Oktober 2020

Satu Peta Merencanakan Dana Desa

Sejak 2015, dana desa lebih banyak terpakai untuk infrastruktur, belum pada program inovatif membangun desa dan masyarakat. Serapan yang masih minim juga menunjukkan ada masalah dalam perencanaan. Perlu atlas desa untuk solusinya.

Hutan Tanaman Rakyat di Desa Lubuk Seberuk, Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan.

DESA merupakan satuan wilayah pemerintahan terkecil setelah kecamatan, kabupaten, provinsi, hingga negara. Di dalamnya ada wilayah, adat, tradisi, kebiasaan penduduk, potensi, dan seterusnya. Maka membangun desa tak akan bisa berjalan jika ada perencanaan. 

Dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 114 Tahun 2014, ada dua jenis perencanaan di desa yaitu, Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJMDesa) dan Rencana Kerja Pembangunan Desa (RKPDesa). Kedua perencanaan ini merupakan suatu gambaran kebijakan kepala desa mencapai visi dan misi memimpin dan mengurus warga desanya. Perencanaan harus diselaraskan dengan arah kebijakan pembangunan kabupaten/kota.

Konstruksi Kayu

Beberapa tahun belakangan para akademisi, NGO, pemerintah desa familier membicarakan dana desa yang tertuang dalam undang-undang itu, desa menjadi ujung tombak pembangunan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat desa. Desa diberi kewenangan dan sumber dana yang cukup besar sehingga dapat dikelola dalam meningkatkan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat.

Dana tersebut bersumber dari Anggaran dan Pendapatan Belanja Negara (APBN) yang dianggarkan setiap tahun dan menjadi salah satu pos sumber pendapatan. Pencairan dana desa berasal dari pemerintah pusat yang ditransfer melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD kabupaten/kota) dan diprioritaskan untuk pelaksanaan pembangunan dan pemberdayaan masyarakat desa.

Dengan melihat begitu besarnya anggaran dana desa, apakah desa siap mengelolanya? Apakah roh tujuan dari prioritas dana desa ini bisa mengentaskan kemiskinan, memajukan perekonomian desa, mengatasi kesejahteraan pembangunan desa dan memperkuat warga desa sebagai subjek dari pembangunan?

Pertanyaan-pertanyaan tersebut bisa terwujud apabila: a) proses perencanaan di desa sudah dipahami persoalan hajat hidup warga desa dan harus aktif terlibat dalam perencanaan, b) perencanaan menjawab persoalan hidup warga, c) perencanaan melibatkan seluruh lapisan masyarakat termasuk perempuan dan disabilitas, dan d) perencanaan harus mengacu pada peraturan dan undang-undang yang ada.

Dalam Buku Pintar Desa yang diterbitkan oleh Kementerian Keuangan, ada 13 poin asas pengaturan desa menuju tata kelola desa yang baik. Tata kelola baik menyangkut transparansi, partisipasi dan akuntabilitas. Lalu timbul masalah di desa, yakni mengharuskan pamong desa berpikir keras menyusun program kerja yang bisa mempercepat pembangunan dan pemberdayaan masyarakat menuju perubahan ekonomi yang lebih baik sementara mereka belum paham aturan dan panduan pencairan dan pemakaian dana desa.

Hal ini mengakibatkan pemahaman mereka dalam pengelolaan dana desa hanya sebatas bagaimana mencairkan, merumuskan alokasi kegunaan, dan melaporkan administrasi. Masalah lain adalah lemahnya pengawasan publik terutama warga desa.

Saya ingin focus membahas kendala pertama, yakni penyusunan program desa agar masyarakat bisa turut serta merumuskannya. Sebab ini penting karena perencanaan membuat desa harus mengatur dan mengurus desa sesuai dengan kewenangan skala desa. Perencanaan bisa memperkuat hak dan kewenangan desa sekaligus mengoptimalkan potensi sumber kekayaan sebagai modal pembangunan desa. 

Undang-Undang Desa nomor 6 Tahun 2014 dan Peraturan Menteri Dalam Negeri 114 Tahun 2014 mengatur tahapan penyusunan perencanaan desa, yang terdiri dari: 1) pembentukan tim penyusun RPJMDesa, 2) penyelarasan arah kebijakan perencanaan pembangunan kabupaten/kota, 3) pengkajian keadaan desa, 4) penyusunan rencana pembangunan desa melalui musyawarah desa, 5) penyusunan rancangan RPJMDesa, 6) penyusunan rencana pembangunan desa melalui musyawarah perencanaan pembangunan desa dan 7) penetapan RPJMDesa.

Setiap tahun pemerintah menetapkan prioritas-prioritas penggunaan dana desa dalam Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, Dan Transmigrasi Republik Indonesia. Menurut Buku Pintar Dana Desa dalam sambutan Menteri Keuangan Republik Indonesia, pemerintah pusat telah menganggarkan dana desa setiap tahun sebesar Rp 20,7 triliun pada 2015 naik terus hingga Rp 70 triliun pada 2019. Pada 2017 dari Rp 60 triliun yang terserap 86%, sisanya harus dikembalikan oleh para kepala desa.

Perencanaan pemakaian dana desa memang jadi soal. Untuk menopang perencanaan, desa perlu memiliki satu peta agar program desa menjadi terarah. Undang-Undang Desa Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa juga memuat tentang hal ini, pada pasal 8 ayat 3. Hal ini juga selaras dengan program pemerintah saat ini yaitu dengan meluncurkan Geoportal Kebijakan Satu Peta (KSP).

Kajian-kajian yang perlu dilakukan selama pembuatan peta desa, meliputi: 1). Penyelarasan data desa seperti data sumber daya alam, sumber daya manusia, sumber daya pembangunan, sumber daya sosial dan budaya, 2). Penggalian gagasan warga. Penggalian gagasan warga ini harus mengutamakan tingkat partisipasi seluruh elemen warga desa. Penggalian partisipasi warga desa ini untuk menemukenali potensi dan peluang pendayagunaan sumber daya desa dan masalah yang dihadapi oleh desa.

Menurut Pusat Pengembangan Infrastruktur Data Spasial, peranan peta desa adalah 1) membantu dalam upaya mempertegas batas wilayah, 2) mengetahui aspek potensi dari produksi, distribusi dan fungsionalitas kawasan desa, 3) inventarisasi asset desa dan pengelolaan BUMDesa, 4) membantu perencanaan pembangunan infrastruktur desa dan kawasan pedesaan, 5) sebagai dasar informasi untuk integrasi spasial pembangunan wilayah.

Peta desa terdiri dari peta citra, peta sarana-prasarana, tutupan lahan dan tata guna lahan. Untuk mendukung keakuratan dan kemanfaatan dari sebuah peta, salah satu hal penting yang harus dilakukan adalah pemetaan partisipatif.

Hasil kajian yang tertuang dalam peta desa berbentuk tematik yang bisa menjadi atlas desa. Atlas desa ini berfungsi sebagai profil desa yang berisi peta- peta tematik yang menyajikan informasi potensi dan perencanaan program dalam desa.

Atlas desa akan sesuai dalam perencanaan karena memformulasikan tema per tema sebuah perencanaan. Misalnya tema data sumber daya alam, tema sumber daya manusia, tema sumber daya sosial, tema sarana dan prasarana, tema tutupan lahan, tema tata guna lahan tema status kawasan termasuk tema mitigasi bencana yang semuanya menjadi data “open menu” potensi desa.

Dalam Buku Pintar Dana Desa terlihat bahwa selama ini dana desa lebih banyak terpakai di bidang sarana dan prasarana infrastruktur desa. Apabila sarana dan prasarana publik masyarakat desa telah terpenuhi, tahapan selanjutnya adalah meningkatkan kualitas penggunaan dana desa melalui berbagai kegiatan pembangunan dan pemberdayaan masyarakat desa yang lebih inovatif, berwawasan jangka panjang dan peka terhadap kebutuhan masyarakat desa.

Untuk hal itu, aktor desa perlu membuka kembali atlas desa yang sudah dibuat sebagai acuan pengembangan inovasi desa, sehingga integrasi arahan program perencanaan dan penganggaran selaras dengan tata ruang wilayah desa.Peta adalah alat dan sarana informasi yang open menu yang bisa disajikan dalam memetakan potensi dan masalah juga mengkaji sebuah kebijakan.

Jika dikaitkan dengan kegiatan pendampingan di desa dan isu restorasi ekosistem hutan rawa gambut, isu-isu yang perlu ada dalam peta adalah:

1) Bencana secara umum, termasuk bencana kebakaran hutan dan lahan, banjir, serangan hama dan penyakit.

2) Pengelolaan dan rehabilitasi lahan gambut, termasuk pengelolaan hidrologis, rehabilitasi hutan dan penabatan.

3) Pengembangan masyarakat di kawasan hutan rawa gambut terkait hak atas akses (access tenure) dan hak atas tanah (land tenure), termasuk kesesuaian lahan setempat, sistem usaha pertanian warga, pengelolaan lahan dan air serta perikanan.

4) Sosial ekonomi, termasuk akses terhadap pasar, layanan Kesehatan, air bersih dan sanitasi serta infrastruktur perdesaan. 

Tugas besar bagi desa selanjutnya adalah bagaimana peta desa jadi alat memproyeksikan perencanaan (visi desa) untuk 10 sampai 15 tahun ke depan berdasarkan aspirasi, kebutuhan, dan cita-cita masyarakat untuk memperbaiki lingkungan, permukimannya, serta mendukung kesiap-siagaan masyarakat terhadap bencana.

Artikel ini terbit atas kerja sama Forest Digest dan Katingan-Mentaya Project.

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Staf pemberdayaan masyarakat desa hutan Katingan-Mentaya Project

Topik :

Bagikan

Terpopuler

Komentar



Artikel Lain