Untuk bumi yang lestari

Surat dari Darmaga| 13 Agustus 2020

10 Ancaman Omnibus Law Terhadap Lingkungan

Setidaknya ada 10 hal yang menjadi proteksi lingkungan dalam Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dihapus di omnibus law RUU Cipta Kerja. Bisa tak terkontrol.

SETELAH lebih 25 tahun Konferensi Tingkat Tinggi Bumi di Rio de Janeiro, Brazil, berlalu, kini muncul pertanyaan: mengapa pembangunan yang lestari gagal diwujudkan? Konferensi yang dihadiri 170 negara itu menghasilkan kesepakatan bahwa mereka yang hadir akan mewujudkan pembangunan berkelanjutan, melindungi keanekaragaman hayati, mencegah gangguan berbahaya perubahan iklim, dan melestarikan hutan.

Edisi 3 April 2017 Business Daily rupanya punya pertanyaan sama dan menganalisis 94 studi bagaimana keberlanjutan gagal di semua benua lewat artikel bertajuk “Why sustainable development plans have failed?” Tinjauan itu menemukan tiga faktor penyebab kegagalan mewujudkan pembangunan berkelanjutan, yaitu faktor ekonomi, politik, dan komunikasi.

Kegagalan ekonomi terjadi karena rupanya kegiatan-kegiatan yang merusak lingkungan justru mendapat penghargaan secara finansial. Artinya, kita tahu sebuah produk tak ramah lingkungan tapi ia tetap laku. Bahkan mendapatkan penghargaan di sana-sini. Hutan ditebang dan dikonversi karena memberikan nilai tambah besar dibanding jika hanya tegakan-tegakan pohon semata.

Kegagalan politik muncul akibat pemerintah tidak bisa atau tidak akan menjalankan kebijakan yang efektif. Hal itu sering terjadi karena industri ekstraktif besar menjadi pemain dominan dalam sistem ekonomi yang mengklaim menjadi pihak yang paling dirugikan jika pemerintah menegakkan aturan-aturan yang pro lingkungan hidup.

Kegagalan komunikasi terjadi karena para pelaksana kebijakan tak bisa mendelegasikan aturan tentang keberlanjutan kepada masyarakat. Keterlibatan masyarakat pun menjadi rendah dalam pembuatan kebijakan. Akibatnya, kebijakan menjadi tertutup dari masukan-masukan dan suara publik yang terpapar langsung pembangunan yang tak lestari. Ujung dari kegagalan ini adalah tumbuhnya oposisi dan merosotnya tingkat kepercayaan masyarakat kepada negara.

Tidak disebut dalam artikel tersebut apakah Indonesia termasuk ke dalam tinjauan studi Business Daily itu. Tapi kini kegagalan komunikasi, politik, maupun ekonomi, untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan tampak sedang terjadi. Isi dan proses penyusunan Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja, yang sudah diserahkan pemerintah kepada DPR, berpotensi menjadi penyebab kegagalan seperti itu.

Saya mengidentifikasi sepuluh perubahan pasal dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH) yang berpotensi dilemahkan. Identifikasi ini semata-mata saya ambil dan tafsirkan dari teks RUU Cipta Kerja secara apa adanya karena saya tak mengetahui diskusi dan perdebatan di balik lahirnya naskah Rancangan itu.

  1. Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup (UPL) tidak lagi diperlukan sebagai bagian dari proses pengambilan keputusan izin penyelenggaraan usaha, seperti tertera dalam pasal 1 angka 22.
  2. Pasal 1 angka 35 tentang kewajiban industri mendapatkan izin lingkungan dihapus dan diubah menjadi persetujuan lingkungan.
  3. Sembilan kriteria usaha yang berdampak penting dihapus (pasal 1 angka 35).
  4. Dalam perubahan pasal 24, selain menunjuk lembaga dan/atau ahli bersertifikat, pemerintah bisa melakukan sendiri uji kelayakan lingkungan hidup, yang didasarkan pada dokumen analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal), untuk menentukan kelayakan lingkungan hidup dalam penerbitan izin berusaha.
  5. Dalam penyusunan Amdal, masyarakat yang diizinkan terlibat dalam penyusunannya hanya mereka yang terdampak. Tak ada lagi pemerhati lingkungan hidup dan/atau masyarakat yang terpengaruh, seperti bunyi pasal 26 sebelum diubah.
  6. Menghapus pasal 29, 30, 31 mengenai Komisi Penilai Amdal. Untuk kegiatan yang wajib memenuhi standar UKL-UPL, pemerintah pusat langsung menerbitkan Perizinan Berusaha ketika sudah ada pernyataan kesanggupan korporasi mengelola lingkungan hidup.
  7. Tak ada lagi penegasan bahwa kelayakan lingkungan hidup harus diakses dengan mudah oleh masyarakat seperti pasal 39 UUPPLH.
  8. Pengawasan dan sanksi administratif seluruhnya dijalankan oleh pemerintah pusat, seperti perubahan Bab XII pasal 72 hingga 75.
  9. Jenis-jenis sanksi administratif ditiadakan dengan mengubah pasal 76. Delegasi kepada peraturan pemerintah hanya akan berisi tata cara pengenaan sanksi tersebut.
  10. Tak ada celah atau pintu masuk bagi warga negara menggugat lembaga lain yang merusak lingkungan seperti tercantum dalam pasal 93 UUPPLH, sebagai konsekuensi dihapusnya izin lingkungan.

Secara keseluruhan, ada tiga hal tambahan yang berpotensi melemahkan pengaturan lingkungan hidup ke depan:

Pertama, perubahan pasal-pasal di atas masih berpotensi menimbulkan perbedaan interpretasi karena tidak adanya penjelasan isi pasal-pasal tersebut.

Kedua, tidak ada norma dan arahan untuk pengaturan yang lebih operasional dari pasal-pasal tersebut terhadap aturan di bawahnya, misalnya dalam bentuk peraturan pemerintah.

Ketiga, dengan banyaknya kewenangan pemerintah pusat serta luasnya cakupan bidang lingkungan hidup, kapasitas pemerintah tidak memadai dengan tuntutan tanggung jawabnya yang sangat besar.

Di sisi lain, lingkungan hidup di daerah sepertinya tidak menjadi urusan wajib yang harus diatur secara rigid. Jika dugaan ini benar, potensi masalah institusionalnya sangat besar.

@ForestDigest

Dari berita di media yang saya baca, Presiden Joko Widodo mengatakan bahwa pemerintah sama sekali bukan ingin melemahkan lingkungan hidup atau melemahkan pengakuan hak asasi manusia, tapi pemerintah sedang memprioritaskan pembangunan ekonomi untuk menciptakan lapangan kerja. Sehingga, Presiden menyatakan harus ada fokus untuk mencapainya. Bentuknya adalah RUU Cipta Kerja ini.

Saya membaca berita itu minggu lalu sambil ngopi di dekat Pusat untuk Pengembangan Transdisiplin dan Ilmu Keberlanjutan, IPB. Sambil membaca Business Daily itu saya membayangkan cara Presiden menjalankan fokus tersebut, sementara ruang ekonomi, lingkungan hidup, dan hak asasi manusia dalam dunia nyata tidak bisa dipisahkan satu dengan lainnya.

Perbaikan 13 Agustus 2020 pada nomor Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Guru Besar Kebijakan Kehutanan pada Fakultas Kehutanan dan Lingkungan serta fellow pada Center for Transdiciplinary and Sustainability Sciences, IPB.

Topik :

Bagikan

Komentar



Artikel Lain