Untuk bumi yang lestari

Surat dari Darmaga| 01 Oktober 2019

Eulogi untuk KPK

Eulogi untuk KPK, ketika akses terhadap sumber daya alam dibuka bersamaan dengan datangnya investor. Negara menyerahkan nasib rakyat kepada investor, sehingga selamanya hanya sebagai buruh.

korupsi sumber daya alam

DALAM Surat dari Darmaga edisi 27 Agustus 2019, berjudul Pangkal Soal Kerusakan Lingkungan, saya menulis saat perbincangan buku “Merangkai Stanza Lagu Kebangsaan” di Pulau Aru, Maluku. Saya pilih respons atas buku tersebut di beberapa lokasi pembahasan, seperti di Jakarta, Sumenep, Jayapura, Manokwari, Pulau Aru, Banjarmasin, dan Maluku. Respons itu saya pilih dan kaitkan dengan peristiwa beberapa rancangan undang-undang yang mengagetkan sebagian besar masyarakat akhir-akhir ini.

Pertama, pendidikan seharusnya tidak terbatas memberi pengetahuan, tetapi penguatan nilai-nilai (values) untuk mendorong empati dan melakukan tindakan. Pengetahuan mengenai fakta ekonomi politik di dunia nyata, termasuk maraknya korupsi, harus sebagai dasar pertimbangan, sehingga "tidak linier" dalam menentukan masalah, mengambil keputusan, maupun menjalankan kebijakan.

Kedua, untuk itu, harus ditegaskan bahwa ilmu bukan mencari pembenaran, tetapi mengeksplorasi kebenaran. Dasarnya kembali ke moralitas, pembelaan serta kontekstualisasi pemecahan masalah di dunia nyata. Ilmu bukan soal teknik-teknik belaka, tetapi harus menjawab masalah kemanusiaan dan ketidakadilan. Pengelolaan sumber daya alam yang sudah membuat kerusakan dan ketidakadilan sudah berjalan sendiri meninggalkan dasar moralitasnya.

Ketiga, apabila ditanya mengapa di negara merdeka rakyat yang terpapar sumber daya alam seperti belum merdeka? Buku ini menegaskan persoalannya ada dalam cengkeraman ekonomi politik. Situasi itu membawa, pada tataran praktik, lunturnya legitimasi negara yang diwakili birokrasi pemerintahan. Apakah birokrasi itu menggunakan konsep Weberian, Marxian, neo-sosialis dengan logikanya sendiri-sendiri, atau birokrasi sebagai sistem yang dipercaya sebagai mesin yang adaptif.

Keempat, perlu dipahami kondisi saat ini tidak baik-baik saja. Itu tergambar dalam buku ini, yang tidak hanya menyediakan pengetahuan tetapi juga nalar, kritik dan nilai-nilai yang diabaikan. Terjadinya akumulasi kerusakan sumber daya alam dan ketidakadilan di masa lalu yang belum terputus hingga hari ini, akibat dalamnya akar persoalan terutama korupsi. Namun, konflik kepentingan maupun korupsi, sering kali justru dianggap bagian lain dari upaya pemecahan masalah.

Kelima, stanza ketiga Indonesia Raya yang berbunyi: Slamatlah Rakyatnya, Slamatlah Putranya, Pulaunya, Lautnya, Semuanya…, tidak diwujudkan dengan kehadiran negara yang bersih untuk memberi dan membuka akses seluas-luasnya bagi masyarakat lokal dan adat. Akses itu hanya dapat dibuka bersamaan dengan datangnya investor. Negara menyerahkan nasib rakyat kepada investor, sehingga selamanya hanya sebagai buruh.

Keenam, pembangunan telah membiasakan penggunaan pemikiran umum yang tampak cocok dengan “nalar teknikalisasi” yang diawali dengan daftar masalah. Daftar masalah itu diselesaikan melalui solusi-solusi yang sudah tertentu dan tetap dari tahun ke tahun. Untuk itu, serangkaian diagnosa, resep, dan teknik sudah disediakan para ahli. “Teknikalisasi permasalahan” inilah yang kemudian bekerja sebagai penegas kepakaran, tanpa mendalami apa sesungguhnya yang terjadi di lapangan. Itulah fakta berjalannya kuasa pengetahuan yang bekerja dibalik ketimpangan, konflik maupun perusakan sumber daya alam.

Terhadap segenap hasil perbincangan itu, saat pembahasan buku di Sumenep pada Januari 2019, selain bincang-bincang sambil ngopi yang dihadiri pak Bupati Sumenep, disertai pula alunan lagu-lagu yang isinya dari buku itu oleh Imaginakal feat Cak Rus Sintong, serta dibacakan puisi "Doa Seorang Koruptor" karya almarhum M. Zamiel el-Muttaqien dari Bengkel Puisi Annuqayah, berikut ini:

Doa Seorang Koruptor

aku berlindung kepada matamu yang tiada terpejam
dari godaan rasa malu dan sesal yang mengancam,

hanya ke hadiratmu kutengadahkan kedua tanganku
yang selalu kau tolong dari kejinya hukum potong

wahai yang maha pemurah kepada setiap pendoa
yang maha pemaaf bagi setiap pendosa
jangan tutup kesempatanku untuk korupsi
dan selalu: ampunilah berulang kali

berilah hamba keluarga yang takut miskin
sebab kemiskinan akan membuat kami kafir
lapangkanlah dada kami agar bisa mensyukuri
harta yang kami curi dengan naik haji berulang kali

wahai tuhan yang maha penjaga
selamatkan kekayaan hamba dari kekejaman dan kerakusan kpk
agar segala yang najis senantiasa bisa hamba cuci
dengan air zamzam di tanah suci

segala puji bagimu rabbi
yang menciptakan banyak proyek untuk hamba korupsi
amin

Beberapa saat kemudian saya mendapat catatan tertulis dari mas Muhammad Faizi—santri senior di Sumenep, dengan judul “Buku yang Bikin Mules”. Ia menyebut: “…yang bikin perut mules itu makanan, misalnya, rujak petis buah kedondong di pagi hari, di kala perut masih kosong. Yang ini berbeda. Membaca bukulah yang bikin perut saya mules. Saat membaca salah satu bagian dari buku dengan tebal 374 halaman ini, lagi enak-enaknya ngopi, menikmati sensasi aroma dan rasa, perut saya mendadak ‘menyanyi’. Dugaan kuat, penyebabnya adalah karena saya mendadak tahu bagaimana mafia-mafia tanah, kekuatan kapital dan oligarki, dapat begitu leluasa menjarah harta kita tanpa disadari. Semua itu seolah berjalan benar di hadapan mata kita. Mereka merusak hutan, deforestasi besar-besaran, menghilangkan ruang hidup, dan kejahatan korupsi dalam bentuk perkebunan ilegal dengan santainya. Yang paling menakutkan adalah: orang-orang ini bisa menciptakan definisi “legal” sesuai aturan dan kehendak sendiri. Inilah yang membuat pelaku korupsi mendapatkan pembenaran sehingga mereka melakukan itu semua dengan santai, sesantai kita nongkrong di kafe.”

Merangkai Stanza Lagu Kebangsaan

Atas berita meninggalnya mas Muttaqien sebulan setelah bertemu di Sumenep, pada Februari 2019, dalam perjalanan dari Samarinda ke Jakarta saya mengingat kembali percakapan-percakapan dalam seluruh pembahasan buku saya itu. Tidak saya buat kalimat atau biasanya berupa artikel pendek, tetapi berbentuk puisi berikut ini. Puisi ini hanya menggenapi puisi yang telah dibuat almarhum, yang menjadi inti hancurnya nilai-nilai kemanusiaan. Anggap saja ada mafia penghancur, termasuk penghancur KPK saat ini, dan tidak sedang bersembunyi. Mungkin sering pula menyanyikan lagu Indonesia Raya. Tetapi pasti bukan tiga stanza;

Aku Mafia, Kutangkap Negara

betapa sesaknya kepala mereka dengan ilmu pengetahuan
yang tidak berguna membangkitkan kemakmuran
yang mudah kukalahkan dengan jabatan

betapa tingginya kejujuran berbalut kecerdasan
yang tidak berguna mendatangkan kebaikan
yang mudah kupatahkan dengan uang

betapa kuatnya pendirian dibungkus gelar-gelar
yang tidak berguna menghapus penderitaan
yang mudah kugilas dengan kenikmatan

aku mafia!
yang juga menyanyikan Indonesia Raya
yang juga berdoa
yang sedang menangkap negara.

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Guru Besar Kebijakan Kehutanan pada Fakultas Kehutanan dan Lingkungan serta fellow pada Center for Transdiciplinary and Sustainability Sciences, IPB.

Topik :

Bagikan

Komentar



Artikel Lain