Untuk bumi yang lestari

Surat dari Darmaga| 27 Agustus 2019

Pangkal Soal Kerusakan Lingkungan

Pangkal soal kerusakan lingkungan bisa sejak dalam prinsip berpikir, sebelum soal jauhnya jarak sosial antara pengambil keputusan dengan objek yang diputuskan.

HAMA tanaman muncul bisa jadi karena hilangnya predator yang habis diburu manusia. Kita acap mengabaikan hal-hal kecil yang saling menopang cara kerja alam yang membentuk rantai dan siklus yang saling mendukung. Alam telah menyediakan skema perlindungan kepada keanekaragaman hayati untuk hidup kita secara gratis.

Dampak buruk kerusakan lingkungan tidak terjadi seketika terhadap manusia. Ada semacam kedekatan temporal (temporal immediacy) serta probabilitas pengaruh (probability of effect) sehingga kita cenderung mengabaikannya bencana tidak terjadi ketika kita menghabisi satu jenis fauna. Celakanya lagi, peluang dampak buruk itu tidak pasti sehingga, meski ilmu pengetahuan sudah memprediksi sekali pun, kita tetap mengabaikan. 

Apalagi, dalam setiap pengambilan keputusan yang menyangkut dampak lingkungan selalu ada analisis dampaknya. Sesuai peraturan-perundangan. Legal. Sah. Lalu apa lagi?

Dalam buku Ecocystem Services: Economic and Policy (2019), Stephen Muddiman menelusuri cara pengambilan keputusan, terutama dalam bisnis yang bersinggungan dengan lingkungan. Tesisnya dimulai dari sejumlah pertanyaan yang menohok, antara lain: apakah memulihkan fungsi alam benar-benar diperhatikan dalam logika investasi yang digantung oleh dalil-dalil keuangan dunia yang tidak stabil? Ketika sumber dana pembangunan bukan berasal dari kegiatan yang menguntungkan, melainkan dari pendanaan yang punya beban finansial atau bunga utang, apakah batasan-batasan sifat ekologis menjadi perhatian para investor?

Setelah menganalisis terhadap jawaban-jawaban atas pertanyaan itu, Muddiman membuat satu kesimpulan yang terwakili melalui kalimatnya ini: “manusia semakin berisiko hidup di bumi akibat banyaknya bencana-bencana dan hilangnya lahan-lahan subur untuk bahan pangan akibat fungsi alam dan lingkungan alam yang terus menurun. Manusia sebagai spesies telah mengambil risiko memutus jalur kehidupan vital yang menopang kita...”.

Dunia telah menderita akibat kita mengabaikan fungsi dan jasa lingkungan. Tapi, data acap tak cukup menggambarkannya secara akurat sehingga dari waktu-ke-waktu pengetahuan dan teori ekologi yang memastikan kerusakan tidak dipakai dalam pengambilan keputusan pembangunan ekonomi. Celakanya, dampak dianggap selesai ketika ada manfaat-manfaat ekonomi dari perusakan lingkungan dan terlihat adanya keberlangsungan investasi.

Siapa datang, siapa hilang

Artikel ini saya tulis di Dobo, Pulau Aru, Maluku. Di sini ada perbincangan mengenai buku saya “Merangkai Stanza Lagu Kebangsaan” yang mengupas bagaimana pengetahuan menjadi sumber kuasa, politik pengelolaan sumber daya alam maupun problematika kebijakan. Di Aru nyata terlihat eksklusi masyarakat akibat investasi usaha-usaha besar dan perkembangan lingkungan hidup yang semakin memburuk di pulau-pulau kecil di wilayah ini.

Dalam buku Stephen Muddiman itu dijelaskan bahwa ekonomi yang diukur berdasarkan pendapatan domestik bruto (PDB) yang dikembangkan ekonom Rusia, Simon Kuznets—dan digunakan sejak 1937—secara agregat sesungguhnya kontra produktif terhadap upaya pelestarian lingkungan. Artinya, akumulasi "kemajuan" ekonomi turut berkontribusi membenarkan yang salah, karena efisiensi dan produktivitas ekonomi dianggap mampu mengompensasi dampak buruk lingkungan. Padahal faktanya bertolak belakang.

Mungkin benar produktivitas dan nilai ekonomi bisa mengompensasi kerusakan lingkungan pada kasus-kasus tertentu. Muddiman menyebut “...ukuran ekonomi itu hanyalah stimulus ilusi, karena dapat dianggap sebagai kalibrasi hanya untuk tujuan akuntansi, tetapi tidak menjadi stimulus aktual yang menguntungkan masyarakat dunia...”. Bahkan bila timbul polusi, misalnya, akan menaikkan nilai PDB karena menunjukkan beroperasinya sejumlah ukuran pertumbuhan, seperti bekerjanya mesin dan aktivitas manusia. Bahkan biaya pembersihan melibatkan transaksi keuangan yang menjadi nilai positif dalam PDB.

Pangkal soalnya, menurut Muddiman, karena pikiran manusia yang berhubungan dengan data yang tidak lengkap dengan pengetahuan yang tidak sempurna, setelah mendapat informasi pengetahuan baru pun, tak berusaha mengganti prinsip berpikir. Akibatnya hubungan ekologi-ekonomi dalam lingkungan menjadi cacat informasi.

Pandangan Stephen Muddiman itu sejalan dengan apa yang terjadi di pulau Aru. Dominasi cara pikir ekonomi tanpa mempertimbangkan karakteristik dan keterbatasan sumber daya alam yang diterapkan di pulau sini, terbukti tidak membawa stabilitas sosial-politik. Yang datang membawa “berkah” ekonomi daerah maupun nasional, diikuti oleh yang pergi, yaitu berupa hilangnya kekayaan sosial budaya dan keanekaragaman hayati maupun kemandirian masyarakat. 

Pulau yang semula menjadi habitat rusa di area savana yang luas dengan siklus kehidupan hayati yang khas, kini sedang menuju monokultur pertanian seperti tebu dan ternak sapi. Selain itu di pulai ini juga sedang marak kegiatan pembalakan liar, terutama untuk spesies pohon mahal seperti Merbau (Instia bijuga).

Dari kondisi Aru dan penjelasan buku Muddiman, bisa kita simpulkan bahwa sebenarnya kita belum menjalankan sistem kerja yang bisa memelihara jasa lingkungan. Hal ini bisa juga terjadi akibat jauhnya jarak sosial antara kampung-kampung kecil di pulau Aru dengan para pengambil keputusan di ruang-ruang pemerintahan di Jakarta.

BERSAMA MELESTARIKAN BUMI

Ketika informasi makin marak, peristiwa-peristiwa tak lagi berjarak, jurnalisme kian penting untuk memberikan perspektif dan mendudukkan soal-soal. Forest Digest memproduksi berita dan analisis untuk memberikan perspektif di balik berita-berita tentang hutan dan lingkungan secara umum.

Redaksi bekerja secara voluntari karena sebagian besar adalah mahasiswa dan alumni Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang bekerja di banyak profesi. Dengan visi "untuk bumi yang lestari" kami ingin mendorong pengelolaan hutan dan lingkungan yang adil dan berkelanjutan.

Dukung kami mewujudkan visi dan misi itu dengan berdonasi atau berlangganan melalui deposit Rp 50.000.




Guru Besar Kebijakan Kehutanan pada Fakultas Kehutanan dan Lingkungan serta fellow pada Center for Transdiciplinary and Sustainability Sciences, IPB.

Topik :

Bagikan

Komentar



Artikel Lain